Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sengsaranya Gaya Hidup Maksimalis Penghasilan Minimalis

14 Juli 2022   15:54 Diperbarui: 14 Juli 2022   16:23 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kolumnis, Ellen Goodman (dalam Korten, 1999), menggambarkan bagaimana tingkah laku orang-orang (pekerja) yang dianggap normal akibat era baru kapitalisme.

Para pekerja memakai pakaian yang dibeli untuk bekerja dan berkendaraan melalui jalanan dengan mobil kreditan guna mencapai tempat pekerjaan yang dibutuhkan. Karena pekerjaan tersebut, mereka dapat membayar pakaian, mobil, dan rumah yang dibiarkan kosong sepanjang hari, agar dapat tinggal di dalam rumah tersebut.

Para pekerja keren tersebut memiliki kartu kredit lebih dari satu dan menggunakan semuanya. Untuk membayar tagihan dan mendapatkan kepentingan yang konvensional, mereka menjadi semakin terperosok ke dalam tekanan karir pada korporasi tempat mereka bekerja. Semakin banyak yang mereka peroleh, maka semakin banyak pula yang mereka belanjakan, dan semakin keras pula mereka harus bekerja untuk  membayar semua itu agar bisa bergaya hidup maksimalis yang akan dipandang kagum oleh lingkungannya.

Seiring perubahan gaya perekonomian, yang meningkatkan konsumsi untuk pamer dan bergaya hidup maksimalis, membuat profesi pekerja yang selama ini sangat jarang menjadi debitur perbankan menjadi sasaran penyaluran kredit konsumtif bank-bank. Saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani.

Kaum pekerja terlibat pinjam meminjam dengan pihak bank, bukan hanya sekedar untuk pembiayaan investasi pokok seperti rumah dan mobil, namun sebagian telah terjerumus dalam perlombaan meraih mimpi-mimpi konsumerisme sebagai seorang modernist yang tiada garis akhir dalam gaya hidup maksimalis, sementara penghasilan menjadi minimalis.

Gaya hidup maksimalis bisa mengantarkan pelakunya menjadi sengsara atau celaka. Memiliki segala kekayaan untuk bisa bergaya hidup maksimalis, maka sehari-hari mereka hanya memikirkan kekayaannya, khawatir berkurang atau hilang. Bekerja sehari-hari bukan untuk dirinya melainkan untuk kekayaannya. 

Kekayaan yang diperoleh demi gaya hidup maksimalis justru menjadi beban. Belum lagi, dengan kekayaannya, ternyata bisa menjadikan orang lain menjauh dan memusuhi, atau bahkan merampok dan membunuhnya. Kekayaan demi gaya hidup maksimalis memiliki potensi menyengsarakan, mengancam, dan bahkan benar-benar membinasakan pelakunya.

Memang menjadi mulia dan dipuja-puji orang adalah naluri setiap manusia, namun tidak setiap manusia mau memahami tentang hakikat kemuliaan tersebut.

Kemulian seseorang sebenarnya bukan dari puja-puji orang terhadap penampilan dan kekayan yang dia miliki, tetapi terletak pada ketaatannya menjalankan ibadah kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta sebagai seorang hamba Tuhan.

Kekuatan seorang hamba Tuhan terletak pada rasa tawakkalnya kepada Allah; Rasa qanaah (berkecukupannya) yang terletak pada keistiqamahannya berdoa memohon semua hajatnya kepada Allah; Keselamatannya, terletak pada baiknya kualitas ibadah (shalat) yang ditunaikan; Bagusnya kesudahan, terletak pada ketakwaannya kepada Allah; Kelapangan dada atau kebahagiannya, terletak pada patuh dan baktinya kepada orang tua, silaturrahmi, dan berbuat baik kepada makhluk. Ketenangan hatinya, terletak pada dzikirnya kepada Allah Yang Maha Pemberi Nikmat. Keteraturan dan keistiqamahan mereka, terletak pada ketaatan menjalankan syariah dan meninggalkan yang diharamkan, seraya menyerahkan semua perkara kepada Sang Pencipta yang Maha Mengatur, dan menyelesaikan perkerjaan tepat waktu, tidak menunda dan bermalasan

Sebaliknya, kerugian serta kehinaan seorang hamba yang memaksakandirinya bergaya hidup maksimalis, terletak pada kecondongan dan kecintaannya kepada dunia secara berlebihan sehingga memaksa dirinya, lupa terhadap kehidupan akhirat, serta berpaling dan tidak melaksanakan ibadah kepada Allah, sebagaimana Allah berfirman,"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. Yunus: 7-8)

Semoga Allah mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menjaga kemuliaan diri untuk meraih ridha-Nya, tak tergoda untuk bergaya hidup maksimalis dengan penghasilan minimalis. Aamiin Ya Rabb...!!!

Wallahua'lam bishawab...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun