Dua pekan belakangan ini terjadi gonjang-ganjing dalam dunia investasi Indonesia. Merger Gojek dan Tokopedia, dua startup papan atas Indonesia, menjadi GoTo pada pada 17 Mei 2021 membawa angin segar dan harapan besar bagi banyak investor. Ketika GoTo menjadi perusahaan publik dengan menjual sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI), terjadi sambutan luar biasa, para investor berebut untuk mendapatkan bagian saham.
GoTo resmi melantai di bursa pada 11 April 2022 dengan melepas 40,6 miliar saham setara dengan 3,43% dari modal ditempatkan dan disetor penuh di harga Rp 338/unit. Namun hanya dalam hitungan sebulan, kondisi seakan berbalik. Saham GoTo mengalami penurunan yang sangat dalam.
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 17 Mei 2022 menempatkan saham GoTo dalam daftar saham yang bergerak di luar kewajaran atau unusual market activity (UMA) dengan alasan terjadi penurunan saham GoTo yang dinilai di luar kewajaran. Dalam 8 hari perdagangan sebelumnya, saham GoTo anjlok berturut-turut hingga menyentuh batas paling bawah dalam sehari sekitar 6% lebih setiap harinya. Artinya saham GoTo selama 7 hari beruntun mengalami Auto Reject Bawah (ARB).
Sebelum gonjang ganjing berita anjloknya saham GoTo, sejumlah startup sedang dilanda gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Seperti yang dilakukan oleh beberapa startup ternama di Indonesia yakni: Zenius, LinkAja, Zomato dan terbaru, perusahaan e-commerce JD.ID dikabarkan juga melakukan tindakan yang sama.
Sebelumnya, sejak krisis akibat pandemi Covid-19 tahun 2020, beberapa startup di Indonesia, juga telah melakukan PHK, yakni: Sorabel menutup layanan e-commerce fesyen pada 23 Juli 2020; Gojek memberhentikan 430 orang karyawannya pada 23 Juni 2020 karena merger dengan Tokopedia; Airy Rooms menutup layanannya pada 5 Juli 2020; Â Stoqo tutup pada 25April 2020; Akulaku melakukan PHK pada 15 April 2020, dengan jumlah 100 orang; SweetEscape (fotografi travel) memangkas 30% pegawainya pada 15 April 2020; Traveloka melakukan PHK di awal pandemi (3 April 2020 dengan merumahkan 100 orang.
Pandemi Covid-19 jelas meruntuhkan ekonomi di berbagai negara termasuk di Indonesia, dan berdampak terhadap banyak startup yang akhirnya melakukan PHK bahkan tutup.
Kejadian ini menimpa startup selama dua tahun terakhir saat pandemi menyebar di seantero dunia. Laman layoffs.fyi menyediakan laporan startup mana saja yang melakukan pemangkasan jumlah karyawan. Terdapat 669 Startup melakukan PHK kepada 91.706 pekerjanya. Berikut adalah daftar 15 PHK terbesar yang dilakukan oleh startup sejak 11 Maret 2020 hingga 1 Juni 2022. (lihat Image -01)
Mengapa startup gagal?
CB Insights melakukan penelitian kepada 111 post-mortem sejak 2018 dan mengidentifikasi 12 alasan utama kegagalan startup. Kegagalan startup bukan bertumpu pada salah satu alasan, tetapi mencakup beberapa alsan dari 12 alasan kegagalan utama tersebut. (lihat Image-02)
Banyak pelajaran yang sangat relevan bagi siapa pun di ekosistem kewirausahaan dari penelitian CB Insights tersebut. Perlu dicatat bahwa jenis analisis berbasis data ini tidak akan mungkin terjadi tanpa sejumlah pendiri yang cukup berani untuk berbagi cerita tentang kehancuran startup mereka kepada dunia.
Adapun 12 alasan utama kegagal startup adalah sebagai berikut:
1. Kehabisan uang/gagal menambah modal baru
Uang dan waktu terbatas dan perlu dialokasikan dengan bijaksana. Untuk perusahaan statup, kehabisan uang tunai yang terkait dengan ketidakmampuan untuk mengamankan pembiayaan/bunga investor merupakan alasan utama atas kegagalan mereka.
2. Segmentasi pasar tidak jelas
Mengatasi masalah yang menarik untuk dipecahkan daripada yang melayani kebutuhan pasar disebut-sebut sebagai alasan kegagalan terbesar kedua setelah kehabisan modal, yakni tercatat dalam 35% kasus. Studi CB Insights menunjukkan bahwa gagal melakukan segementasi pasar merupakan kegagalan total dari perusahaan startup tersebut.
3. Mengalahkan persaingan
Terdapat mitos bahwa startup seharusnya tidak memperhatikan persaingan, namun kenyataannya adalah begitu sebuah ide menjadi panas atau mendapat validasi pasar, orang lain mungkin mencoba memanfaatkan peluang tersebut. Dan meskipun terobsesi dengan kompetisi itu tidak sehat, mengabaikannya juga merupakan resep kegagalan dalam 20% kegagalan startup.
4. Model bisnis yang cacat
Sebagian besar pendiri yang gagal setuju bahwa model bisnis itu penting dan tetap terikat pada satu saluran atau gagal menemukan cara untuk menghasilkan uang dalam skala besar membuat investor ragu-ragu dan pendiri tidak dapat memanfaatkan daya tarik yang diperoleh.
5. Tantangan regulasi/hukum
Terkadang sebuah startup dapat berkembang dari ide sederhana dan memasuki dunia dengan kompleksitas hukum yang pada akhirnya dapat mematikannya.
6. Masalah harga/biaya
Penetapan harga adalah seni gelap dalam hal kesuksesan startup, dan post-mortem startup menyoroti kesulitan dalam menentukan harga produk yang cukup tinggi untuk akhirnya menutupi biaya tetapi cukup rendah untuk mendatangkan pelanggan.
7. Bukan tim yang tepat
Sebuah tim yang beragam dengan keahlian yang berbeda sering disebut sebagai hal yang penting bagi keberhasilan sebuah perusahaan. Post-mortem kegagalan sering mengeluhkan bahwa "Saya berharap kami memiliki CTO sejak awal" atau berharap bahwa startup memiliki "pendiri yang menyukai aspek bisnis."
8. Produk salah waktu
Saat startup merilis produk terlalu dini, pengguna mungkin menganggapnya tidak cukup baik, dan mendapatkan mereka kembali mungkin sulit jika kesan pertama mereka tentang brand startup negatif. Dan jika terlambat merilis produk, mungkin akan kehilangan jendela peluang di pasar.
9. Produk buruk
Semua bisnis bermuara pada produk, dan produk yang cacat sudah cukup untuk menenggelamkan perusahaan dalam 8% kasus.
10. Ketidakharmonisan antar tim/investor
Perselisihan dengan salah satu pendiri adalah masalah fatal bagi perusahaan post-mortem startup. Namun, kepahitan tidak terbatas pada tim pendiri, dan ketika keadaan memburuk dengan BOD atau investor, bisa menjadi pemicu hal buruk dengan cepat.
11. Pivot menjadi buruk
Pivot seperti Burbn ke Instagram atau ThePoint to Groupon bisa berjalan dengan sangat baik. Akan tetapi, bisa terjadi sebaliknya ketika startup memulai di jalan yang salah.
12. Lelah/kurang semangat
Work-life balance bukanlah hal yang sering didapatkan oleh para pendiri startup, sehingga risiko burn out (kelelahan) sangat tinggi. Burnout diberikan sebagai alasan kegagalan 5% dari waktu. Kemampuan untuk memotong kerugian jika perlu dan mengarahkan kembali upaya perusahaan ketika terlihat jalan buntu, atau kurang gairah untuk domain, dianggap penting untuk berhasil dan menghindari kelelahan, seperti memiliki tim yang solid, beragam, dan didorong sehingga tanggung jawab dapat dibagikan.
Sumber Bacaan:
https://www.cbinsights.com/research/startup-failure-reasons-top/
https://www.investopedia.com/articles/personal-finance/040915/how-many-startups-fail-and-why.asp
https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-6081304/bei-awasi-ketat-saham-goto-ada-apa
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H