Masa kuliah S1, saya kembali bersekolah di Perguruan Katolik, yaitu Universitas Katolik Parahyangan. Di sini yang kuliah bukan hanya mahasiswa beragama Katolik, tapi dari berbagai agama. Selama kuliah kami sangat rukun dan saling menyayangi sebagai sesama mahasiswa. Pada saat itu, masih banyak Pastor yang menjadi dosen. Kami tak pernah terhalang oleh perbedaan SARA selama kuliah, bahkan sampai kami menjadi alumni selama puluhan tahun.
Namun kerukunan yang terbina sejak SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa seakan sirna saat politik identitas SARA mulai bergaung. Dahulu, tidak ada peringatan Hari Lahir Pancasila, tapi kami begitu rukun dan memahami serta menghayati semua sila dari Pancasila, bahkan hingga ke 36 butir Pancasila tersebut. Kami begitu memahami makna dari Bhineka Tungal Ika.
Karena gaung politik identitas yang semakin bergema, dan ada pihak-pihak yang seakan-akan mengadu domba bangsa ini, maka rakyat pun mulai terbelah-belah. Mulai saling curiga antar kelompok atau golongan, mulai meributkan masalah ras dan suku, dan saling menghujat antar keyakinan dan agama orang lain.
Rasanya, saat ini, akibat gaung politik identitas, orang-orang tak perlu hapal dan memahami sila-sila dan butir-butir Pancasila, tetapi cukup teriak-teriak "Saya Indonesia, Saya Pancasila", sementara suka mengumpat dan menghujat orang lain yang tidak sepemahaman bahkan tidak sama pilihan politiknya, lebih dianggap Pancasilais dibandingkan orang-orang yang hapal, memahami, dan menghayati sila-sila Pancasila itu sendiri. Sila-sila Pancasila seperti sudah kehilangan makna, dan butir-butir Pancasila seakan-akan menjadi butiran pasir di pantai yang berterbangan kala angin datang menerpa...
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H