Seremonial Hari Rayo Anam/Onam diawali dengan melakukan ziarah dan berdoa bersama keluarga masing-masing kaum setelah selesai melakukan puasa enam di bulan Syawal. Masyarakat akan melakukan doa bersama dan kaum ibu akan membawa dulang yang berisikan makanan.
Setiap rumah membawa bekal dengan talam ke pemakaman. Di dalam talam berisikan berbagai macam makanan untuk dibagikan kepada masyarakat yang hadir, mulai dari anak-anak hingga tokoh masyarakat dan para perantau.Â
Dan, juga mereka melakukan makan bajamba (makan bersama-sama dari satu dulang). Puncaknya, warga yang berkumpul melakukan tahlil dan zikir bersama yang mereka namakan Ratik Tagak atau tahlilan sambil berdiri.
Bagi masyarakat Riau (terutama daerah Kampar & Kuansing) dan Sumatera Barat (terutama Luhak nan Tigo) dahulu Hari Rayo Anam lebih meriah jika dibandingkan dengan hari raya Idul Fitri.Â
Karena pada Hari Rayo Anam ini, seluruh anak kemenakan sasuku, baik yang tinggal di kampung halaman maupun di perantauan akan pulang kampung dan berkumpul semuanya.
Makna Hari Rayo Anam jika dilihat dalam segi keagamaan tentunya dapat melakukan ziarah dan mengirimkan do'a kepada arwah dari keluarga yang telah meninggal dunia dengan harapan agar mereka diberi ketenangan di alam sana dan dijauhkan dari siksaan dan azab kubur.
Tradisi Hari Rayo Anam ini juga sebagai ladang amal bagi masyarakat, menambah keyakinan dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT, sebagai ketentraman jiwa bagi masyarakat yang melaksanakan tradisi tersebut, serta membuka mata bahwasanya kita hidup di dunia ini hanya untuk sementara dan suatu saat kita pasti akan kembali kepada-Nya.Â
Untuk itu kita sebagai umat muslim harus lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan semua perintahnya dan meninggalkan segala larangannya.
Dari segi budaya makna tradisi Hari Rayo Anam ini adalah sebagai jembatan untuk menjalin silaturahmi dalam kehidupan masyarakat.Â