Kita baru saja meninggalkan Ramadhan dua hari berselang, dan memasuki Syawal. Bagaimana kita sejatinya memahami Ramadhan dan Syawal tersebut dikaitkan dengan kehidupan kita?
Apabila kita mengandaikan sebuah perusahaan atau organisasi, maka bulan Ramadhan dapat dikatakan sebagai bulan pelatihan besar-besaran bagi para insan perusahaan, dan Syawal adalah bulan peningkatan kinerja setelah mendapatkan pelatihan yang intensif.
Pelatihan Ramadhan yang dimaksud adalah suatu ibadah yang berfungsi untuk memperbaiki dan mengembangkan iman, ibadah, dan akhlak orang-orang yang berpuasa agar sesuai dengan kehendak Allah.
Pelatihan Ramadhan merupakan proses sistematis dari lima rukun Islam : syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Kemudian dirangkai dengan Rukun Iman yang enam : iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir. Serta dirangkai dengan Ihsan, yakni : beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya, maka Allah Maha Melihat.
Maka, hadits menyebutkan "iimaanan wahtisaaban," dengan penuh keimanan dan pengharapan akan ridha Allah.
Ketiganya, Islam, Iman, dan Ihsan, tidak dapat dipisahkan, sebagaimana diajarkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam suatu mejelis para sahabat. (HR Muslim dari Umar).
Sama halnya dengan pelatihan perusahaan, Ramadhan sebagai bulan puasa pun bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kompetensi, produktivitas, dan performance keimanan seseorang naik ke level tertinggi, yaitu takwa (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Sehingga dengan standar takwa itu, menjadikan seseorang memperoleh derajat mulia di sisi Allah (QS Al-Hujurat [49] 13). Di dalam istilah perusahaan bulan Ramadhan ini bagaikan sebuah moment Great Training. Setelah menjalani traning yang intensif, maka tahap selanjutnya adalah Continuous Improvement dalam meningkat kinerja. Tahapan itu terjadi pada bulan Syawal.
Secara etimologi, arti kata syawal adalah peningkatan. Hal itu merupakan target ibadah puasa. Pasca-Ramadan diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat ketakwaan, seorang Muslim yang terlahir kembali kepada fitrahnya, sehingga di bulan Syawal ini kualitas keimanannya mengalami peningkatan. Tidak hanya kualitas ibadah, tetapi juga kualitas pribadinya, yang selama di bulan Ramadan dilatih secara lahir batin.
Makna dan semangat peningkatan amal ini dapat dilihat dari perintah puasa di bulan ini, walaupun hukumnya sunah, tetapi sangat dianjurkan (sunnah muakkad). Setelah berlebaran pada 1 Syawal, kaum Muslim dianjurkan agar berpuasa dalam bulan Syawal selama enam hari, tidak mesti berturut-turut. Sebab, puasa tersebut amat besar pahalanya. Rasulullah bersabda,"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan lalu berpuasa lagi enam hari di bulan Syawal, maka ia seolah-olah berpuasa selama satu tahun."
Namun tidak demikian yang terjadi di masyarakat, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Syawal, seakan-akan bulan yang ditunggu-tunggu agar terlepas dari belenggu dan bebas melakukan kegiatan apa saja seperti sedia kala. Indikatornya yang sangat jelas, antara lain adanya perayaan Idul Fitri dengan pesta atau dengan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islam-an, dibukanya kembali tempat-tempat hiburan yang sebulan sebelumnya ditutup.
Kemaksiatan seperti itu justru langsung ramai sejak hari petama bulan Syawal. Na'udzubillah! Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jemaah shalat lima waktu. Lantunan ayat suci Al Quran juga tidak lagi terdengar. Umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali membudaya. Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan bersih kembali penuh noda?
Dengan demikian, Idul Fitri dan Syawal sesungguhnya mengandung semangat peningkatan ibadah dan amal saleh. Oleh sebab itu, sayang rasanya apabila di antara kaum Muslim pasca-Ramadan, malah kembali melakukan dosa-dosa dan berpaling dari petunjuk Allah. Memang, pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari berbuat salah dan dosa. Tetapi, hendaknya kita berusaha untuk meminimalkannya agar tidak larut dalam hal tersebut.
Begitu pula, kesucian diri kita harus dijaga dan dipelihara sepanjang waktu, sesuai dengan prinsip istiqamah yang diajarkan oleh Islam. Jika kita ibaratkan pada perusahaan, artinya kita harus dapat kesucian yang diperoleh dari great training selama Ramadhan secara sustainable pada Syawal dengan continuous impprovement.
Sikap istiqamah dalam beribadah dan berbuat baik harus kita jaga sampai malaikat maut mencabut nyawa kita. Semakin hari, seharusnya kita semakin giat lagi dalam beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT, karena usia kita tidak ada yang mengetahui, kecuali Allah SWT.
Wallahua'lam bisshowab.
Terus Semangat!!!
Tetap Semangat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H