Maka, seseorang harus bisa membiasakan diri untuk berbahagia ketika sendirian dengan Allah, karena akan ada waktu yang panjang di mana ia akan sendirian di alam barzakh. Jika dia telah terbiasa berbahagia tatkala sendirian dan berduaan dengan Allah, maka akan mudah baginya untuk merasakan kebahagiaan di alam tersebut.
Demikianlah hakikat dari iktikaf, yaitu fokus kepada Allah. Hal ini senada dengan perkataan yang diucapkan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambalirahimahullah,
"(hakikat iktikaf adalah) memutuskan hubungan dari makhluk-makhluk, untuk berhubungan dengan sang Khalik."
Sebelas bulan lebih kita telah sibuk berinteraksi dengan banyaknya orang, baik itu terhadap istri, anak-anak, teman bergaul, rekan kerja, dan yang lainnya. Maka, sudah sepantasnya di sepuluh hari tersebut (akhir Ramadan) seseorang hendaknya mengkhususkan waktunya untuk fokus kepada Allah dan memaksimalkan ibadah kepada-Nya.
Jika kita perhatikan, maka kita akan menjumpai bahwasanya Nabi Muhammad SAW dahulu sangat serius dalam beriktikaf. Bahkan, beliau sampai membuat kemah di masjid yang di mana mayoritas waktunya dihabiskan di sana. Hal ini menunjukkan bagaimana perhatian beliau yang sangat besar dalam beriktikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Sangat disayangkan ketika iktikaf di zaman ini menjadi sebuah sunah yang kurang disukai oleh sebagian orang. Mereka tidak merasa bahagia dengan beriktikaf karena merasa harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan, seperti kebiasaan berbahagia bersama orang lain, tempat tidurnya yang nyaman, rumahnya yang lapang, suasana yang ia rasakan, semua itu harus berubah agar ia dapat fokus berduaan dengan Allah di tempat yang terbaik yaitu masjid. Oleh karenanya, ketika seseorang justru fokus beriktikaf dan bahagia dengan berduaan dengan Allah, maka sungguh dia akan mendapatkan kebaikan-kebaikan yang sangat banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H