Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia dengan latar belakang sejarah Kerajaan Sriwijaya (Abad VI-XII) yang merupakan kerajaan Maritim terbesar pada jamannya. Letak yang strategis menjadikan Palembang sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi di jaman klasik pada wilayah Asia Tenggara.
Beberapa kawasan di tepian Sungai Musi masih menunjukkan peningalan arsitektur yang menarik. Beragam gaya arsitektur masih terlihat dengan jelas sampai saat ini. Beragamnya peninggalan arsitektur tersebut menjadikan kawasan sepanjang tepian Sungai Musi merupakan area yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya di Kawasan Ulu 10.
Kawasan 10 Ulu dahulu untuk pertama kalinya bukanlah didiami oleh penduduk asli Palembang, tetapi oleh pendatang. Penduduk pendatang yang datang, bertujuan untuk berdagang. Mereka berasal dari Arab, Persia,Cina, dan akhirnya tinggal dan menetap. Pada mulanya para pedagang ini tinggal di rumah rakit yang kemudian lambat laun akhirnya pindah ke rumah di atas tiang. Hidup berkelompok membentuk kampung dengan mempertahankan tradisi kebudayaan asal. Hal ini terlihat dari bangunan bangunan lama yang masih ada.
Pemukiman untuk etnis Tiongha sebagian besar terletak di sekitar Vihara Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong). Vihara ini lebih dikenal dengan Klenteng Dewi Kwan Im. Palembang merupakan satu dari beberapa kota di Indonesia yang memiliki akulturasi budaya lokal dengan budaya Tionghoa cukup kental.
Boleh dibilang klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) merupakan klenteng yang tertua di Palembang. Klenteng Dewi Kwan Im ini dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda, pada 1733. Â Dibandingkan klenteng lainnya, klenteng Dewi Kwan Im lebih ramai didatangi. Berbagai prosesi ibadah masyarakat Tionghoa di Palembang digelar di sini.
Menurut sejarah, pembangunan klenteng kampung 10 Ulu karena di kampung tersebut terdapat makam seorang panglima Palembang keturunan Tionghoa bernama Ju Sin Kong atau biasa disebut Apek Tulong. Dia beragama Islam.