Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala ketika aku melemparkan sebuah pertanyaan kepadanya, "Berjuang untuk mengalah?"
Suatu pagi hari di tahun 2004, dalam salah satu sarana transportasi menuju pusat kota Jakarta. Matahari pagi yang mulai menggeliat menampakkan warnanya di balik kepulan awan, kini semakin membimbing hari untuk meninggalkan pagi.
"Ini memang kondisinya yang sepert ini Pak, dimana saya harus bisa memposisikan diri seperti ketika saat-saat sebelumnya. Saat ini mau tidak mau posisi saya memang menjadi satu-satunya yang berjuang untuk bisa menafkahi keluarga di sana," ujarnya saat itu.
Dia, seorang anak muda yang penuh semangat, kini menghirup nafas panjang. Mungkin ada sesak dalam nafasnya. Namun seketika, justru sebuah senyum ketulusan yang aku temui daripadanya.
Sekitar enam bulan yang lalu, kondisi bapaknya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja lebih banyak. Saudara-saudara yang lainnya pun demikian tak beda. Predikat pendidikan yang lagi-lagi menjadikan mereka tidak mampu berbuat banyak selain bekerja serabutan di sana. Sementara masih ada tiga adiknya yang membutuhkan biaya.
Akhirnya, tentu seperti ungkapan dia tadi, dia yang harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Hanya dia yang dapat menyelesaikan pendidikan berkat beasiswa yang diperolehnya sejak sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Dan dia ingin adik-adiknya juga dapat mengecap pendidikan seperti dirinya.
Tadinya, ketika kutanyakan kepadanya apakah kondisi itu sama halnya seperti dia yang berjuang hanya untuk mengalah, aku kira karena justru banyak keinginan dan cita-citanya yang terbengkalai untuk hal itu, dia akan menyambut dengan anggukan pasti. Tapi, ternyata tidak.
"Berjuang untuk bisa menjadi jalan bahagia bagi keluarga, bukan berarti bahwa itu berjuang untuk mengalah, namun justru berjuang untuk menjadikan diri merasa lebih tenang dan merasakan hal yang lebih dari hanya sekedar bahagia."
"Coba bayangkan, ketika kita melihat raut-raut bahagia dari mereka, atau ketika kita merasakan rona-rona suka cita dari wajah mereka. Tentunya seakan hilang segala kekecewaan yang pernah terbayangkan," lanjutnya.
Ternyata memang betul, bukankah ketika kita mengejar begitu banyak cita-cita, maka terminal akhir dari segalanya adalah membuat mereka, orang-orang yang kita sayangi, merasakan bahagia? Untuk itu, ketika memang kebahagiaan itu lebih awal datang untuk mereka dengan harus mengesampingkan kebahagiaan bagi diri kita sendiri, itu hanya satu masalah kecil saja tentang waktu. Semua akan berjalan pada saat yang tepat, dengan pilihan Allah yang terbaik bagi kita.
Aku tersenyum, hari ini bertambah lagi kesyukuranku.Â
Terimakasih untuk segalanya.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H