Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berjuang untuk Mengalah

28 Februari 2022   12:25 Diperbarui: 28 Februari 2022   12:35 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Merza Gamal (Suatu pagi di Commuter Line Bintaro-Tanah Abang sebelum Pandemi)

Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala ketika aku melemparkan sebuah pertanyaan kepadanya, "Berjuang untuk mengalah?"

Suatu pagi hari di tahun 2004, dalam salah satu sarana transportasi menuju pusat kota Jakarta. Matahari pagi yang mulai menggeliat menampakkan warnanya di balik kepulan awan, kini semakin membimbing hari untuk meninggalkan pagi.

"Ini memang kondisinya yang sepert ini Pak, dimana saya harus bisa memposisikan diri seperti ketika saat-saat sebelumnya. Saat ini mau tidak mau posisi saya memang menjadi satu-satunya yang berjuang untuk bisa menafkahi keluarga di sana," ujarnya saat itu.

Dia, seorang anak muda yang penuh semangat, kini menghirup nafas panjang. Mungkin ada sesak dalam nafasnya. Namun seketika, justru sebuah senyum ketulusan yang aku temui daripadanya.

Sekitar enam bulan yang lalu, kondisi bapaknya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja lebih banyak. Saudara-saudara yang lainnya pun demikian tak beda. Predikat pendidikan yang lagi-lagi menjadikan mereka tidak mampu berbuat banyak selain bekerja serabutan di sana. Sementara masih ada tiga adiknya yang membutuhkan biaya.

Akhirnya, tentu seperti ungkapan dia tadi, dia yang harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Hanya dia yang dapat menyelesaikan pendidikan berkat beasiswa yang diperolehnya sejak sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Dan dia ingin adik-adiknya juga dapat mengecap pendidikan seperti dirinya.

Tadinya, ketika kutanyakan kepadanya apakah kondisi itu sama halnya seperti dia yang berjuang hanya untuk mengalah, aku kira karena justru banyak keinginan dan cita-citanya yang terbengkalai untuk hal itu, dia akan menyambut dengan anggukan pasti. Tapi, ternyata tidak.

"Berjuang untuk bisa menjadi jalan bahagia bagi keluarga, bukan berarti bahwa itu berjuang untuk mengalah, namun justru berjuang untuk menjadikan diri merasa lebih tenang dan merasakan hal yang lebih dari hanya sekedar bahagia."

"Coba bayangkan, ketika kita melihat raut-raut bahagia dari mereka, atau ketika kita merasakan rona-rona suka cita dari wajah mereka. Tentunya seakan hilang segala kekecewaan yang pernah terbayangkan," lanjutnya.

Ternyata memang betul, bukankah ketika kita mengejar begitu banyak cita-cita, maka terminal akhir dari segalanya adalah membuat mereka, orang-orang yang kita sayangi, merasakan bahagia? Untuk itu, ketika memang kebahagiaan itu lebih awal datang untuk mereka dengan harus mengesampingkan kebahagiaan bagi diri kita sendiri, itu hanya satu masalah kecil saja tentang waktu. Semua akan berjalan pada saat yang tepat, dengan pilihan Allah yang terbaik bagi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun