Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Simalakama Industri Rokok di Indonesia

20 Februari 2022   06:30 Diperbarui: 20 Februari 2022   06:32 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Persentase anak merokok di Indonesia (File by Merza Gamal)

Data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa pada 1990-an usia awal merokok pada anak-anak dimulai saat usia menginjak 15 tahun namun pada 2004 diperkirakan usia awal merokok pada anak-anak dimulai pada saat 7 tahun.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2018, Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam hal konsumsi rokok setelah China dan India. 38,3 persen penduduk Indonesia adalah perokok dan sekitar 20 persen di antaranya adalah remaja usia 13 sampai 15 tahun.

Persentase perokok usia 10 sampai 18 tahun terus mengalami peningkatan dari 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen di 2018. Di antara perokok anak, 1,5 persen perokok mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5 sampai 9 tahun sehingga Indonesia mendapat julukan baby smoker country. 56,9 persen perokok mulai merokok pada usia 15 sampai 19 tahun menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013).

Iklan, promosi dan sponsor rokok memang dinilai berperan penting dalam menciptakan budaya merokok pada remaja. Berdasarkan penelitian dampak keterpajangan iklan dan sponsor rokok terhadap kognitif, afeksi dan perilaku merokok remaja yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2007 tercatat 46,3 persen menunjukkan pengaruh besar iklan dan sponsor rokok untuk memulai merokok.

Berbagai studi menunjukkan terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka 2007 menunjukkan, 46,3% remaja mengaku iklan rokok mempengaruhi mereka untuk mulai merokok. Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009).

Hasil monitoring iklan rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak, SFA dan YPMA di 5 kota pada 2015 menemukan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Pemantauan yang dilakukan Forum Anak di 10 kota pada 2017 menunjukkan ada 2.868 iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Di satu sisi anak dan remaja dikepung iklan, promosi dan sponsor rokok yang massif, di sisi yang lain peraturan yang melindungi anak dari rokok sangat lemah.

Semakin sering remaja dan anak-anak menyaksikan iklan rokok yang bernilai miliaran rupiah per tahunnya dan berorientasi mengajak generasi muda merokok, maka peluang mereka untuk mulai merokok pun meningkat. Upaya imbauan dan pembatasan iklan rokok yang baru hanya menjangkau 5 persen populasi dunia hampir dipastikan tidak dapat bersaing dengan usaha gencar perusahaan-perusahaan tembakau untuk terus saja mempromosikan rokok sebagai komoditi yang identik dengan glamor, energi, dan ketertarikan seksual.

Pada setiap bungkus rokok dan dalam setiap iklan rokok dicantumkan kalimat peringatan "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin". Namun, sepertinya orang tidak pernah takut dengan peringatan tersebut meski menyadari bahwa rokok tersebut merupakan racun yang akan membahayakan dirinya.

Berbeda dengan sejumlah racun lainnya, puluhan jenis racun yang terkandung dalam satu batang rokok memang tidak bekerja secara langsung, antara lain gas karbon monoksida, nitrogen, hidrosianiada dan ammonia begitu juga dengan 43 jenis zat penyebab kanker yang dapat terhirup perokok pasif dan tentu saja aktif. Sifat puluhan racun yang bekerja perlahan-lahan itu juga yang membuat sebagian besar --jika tidak dapat dikatakan seluruh-- perokok tidak mempedulikan bahaya rokok sekalipun mengetahuinya.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012. Pemerintah diminta memberikan sanksi tegas, namun hal itu tidak ada dalam PP 109/2012.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2019, sebanyak 19,20% pelajar adalah perokok aktif, dan sebanyak 65,2% pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan. Di samping itu, ada 60,9% pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, ada 56,8% pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan sebanyak 36,2% pelajar melihat iklan rokok di internet. Yang menyedihkan, ada sebanyak 60,6% pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok, dan ada 71% pelajar membeli rokok batangan.

Pemerintah sejatinya tidak berpangku tangan menghadapi kegagalan meredam kenaikan perokok anak. Pada Februari 2020, Presiden sudah mengeluarkan Perpres No. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024. Di mana strategi dan arah kebijakan RPJMN 2020-2024 adalah melarang total iklan dan promosi rokok untuk menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada 2024.

Meskipun rokok ditengarai telah membunuh jutaan manusia, tetapi pemerintah tidak dapat mengadili penyebab pembunuh tersebut. Pemerintah diuntungkan oleh pendapatan negara yang sangat besar dari sumber pembunuh tersebut. Disadari atau tidak, pemerintah terkesan enggan melepas keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari industri rokok, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga pajak.

Jika selama ini pajak yang telah disumbangkan oleh perusahaan rokok di Indonesia memang benar digunakan untuk membiayai pembangunan --salah satunya mungkin pembangunan rumah sakit kanker dan jantung-- maka jangan-jangan rakyat Indonesia harus berterima kasih pada jutaan perokok di Indonesia yang sudah rela mengorbankan kesehatannya demi kelangsungan industri rokok dan pajak dari mereka.

Jangan-jangan pula para perokok tersebut layak mendapat julukan pahlawan pembangunan karena rela mengorbankan kesejahteraan keluarganya untuk tetap menghisap rokok yang jelas-jelas sudah mereka ketahui akibat buruknya.Tapi, satu yang jelas diuntungkan tentu saja para taipan rokok yang menduduki deretan 10 orang terkaya di Indonesia. Simalakama industri rokok itu terpotret jelas dalam film satir unggulan Golden Globe Award 2006 karya Jason Reitman yang berjudul Thank You for Smoking.

Penulis: MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun