Sebuah tulisan  lama Merza Gamal untuk mengenang kepergian Ibunda ke haribaanNya, hari ini 14 tahun yang lalu.
Persahabatan adalah sebuah kondisi dimana antara kita dengan teman kita terbuka untuk saling berbagi di kala kita membutuhkan seseorang untuk mendengarkan apa yang sulit untuk diungkapkan secara terbuka kepada orang lain. Aku memiliki seorang sahabat yang telah menjadi orang "sukses" dan "penting" saat ini.Â
Kami sering berbagi cerita kehidupan yang membuat kami dapat saling bercermin dan menjadikan bahan pelajaran dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Cerita-cerita masa lalu kami sebagai anak ataupun cerita-cerita masa kini kami sebagai orangtua, seringkali mewarnai pertemuan kami.
Sahabatku itu sangat sayang kepada almarhumah ibunya. Dia menganggap ibunya yang paling berjasa mengantarkan kehidupannya seperti saat ini. Aku selalu penuh perhatian jika mendengarkan cerita sahabatku,Â
"Jika bukan karena aku takut melukai tangan ibuku, akan kubiarkan beliau memukul punggungku sampai puas karena aku membolos sekolah. Aku takut membuat susah hati ibuku karena akan dipanggil kepala sekolah untuk melunasi biaya SPP yang hampir 4 bulan belum terbayar. Membolos adalah satu-satunya jalan bagiku untuk mencari tambahan rezeki membantu ibu." Tergenang air di kelopak mata sahabatku itu ketika menceritakan masa kecilnya yang penuh liku.
Kisahnya bertolakbelakang 180 derajat dengan kisahku yang tidak pernah merasakan kerasnya kehidupan, namun aku sulit untuk mensyukuri semua nikmat yang kuperoleh dariNya, sementara sahabatku yang mengalami kerasnya kehidupan dari kecil ternyata jauh lebih bersyukur daripadaku.
Sahabatku itu dulu sering menangis di setiap shalat, bukan karena ketidakikhlasan menerima takdir yang Allah tetapkan untuknya, tetapi ia menangis agar diberi kesabaran supaya tidak berburuk sangka kepada Allah terhadap jalan hidupnya.Â
Dari kecil dia hidup sangat sederhana, dilanjutkan dengan awal-awal karirnya yang begitu berliku, seakan kesulitan tidak pernah lepas dari kehidupannya. Namun semua telah terbayar karena dia sekarang memegang posisi penting pada sebuah institusi besar di Indonesia.
Dia memang berbeda denganku. Jika dia begitu ikhlas, sementara aku baru mendapat sedikit masalah saja sudah langsung menuduh Allah tidak sayang kepadaku. Dari sahabatku ini, aku jadi mengerti mengapa kita harus ikhlas dalam menjalankan kehidupan karena tiada yang tahu kedalaman samudera pengetahuan Allah.Â
Kita sebenarnya berjalan dari ketidaktahuan lama menuju ketidaktahuan baru. Jika hari yang lalu, kita tidak tahu apa yang dilakukan hari ini, maka hari ini kita tidak tahu apa yang kan kita kerjakan esok hari.Â