Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kewajiban Zakat: Di Antara Perintah Sholat dan Larangan Riba

28 Januari 2022   07:22 Diperbarui: 28 Januari 2022   07:32 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: "Zakat" merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam caption. (File by Merza Gamal)

"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 42)

Sebagai pemegang amanah "kekayaan" Allah di muka bumi, maka Al Quran, yang merupakan pedoman hidup orang Islam, secara tegas telah memerintahkan pelaksanaan zakat, dan sebagai seorang Muslim telah diwajibkan melakukan sholat lima waktu sehari semalam. Menurut catatan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dalam bukunya Pedoman Zakat, terdapat 30 kali penyebutan kata zakat  secara ma'rifah di dalam Al Quran, dan  penjelasan kewajiban zakat bergandengan dengan perintah sholat terdapat pada 28 ayat Al Quran. Dengan demikian, menurut sebagian ulama besar, jika sholat adalah tiang agama, maka zakat adalah mercusuar agama atau dengan kata lain sholat merupakan ibadah jasmaniah yang paling mulia, sedangkan zakat dipandang sebagai ibadah hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.

Beberapa pandangan ulama besar, menyatakan, bergandengannya kewajiban zakat dan perintah sholat dalam Al Quran menyiratkan bahwa semestinya Allah tidak akan menerima salah satu, dari sholat atau zakat, tanpa kehadiran yang lain. Pada dasarnya, kepentingan ibadah sholat tidak dimaksudkan untuk mengurangi arti penting zakat, karena sholat merupakan wakil dari jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama manusia. Namun demikian, bukan berarti kewajiban zakat lepas dari dimensi ke-Tuhan-an, karena sesuai dengan Surah Fushshilat ayat 6-7 dinyatakan bahwa seorang mukmin yang tidak mengeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan orang musyrik. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, zakat dapat berfungsi sebagai pembeda antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan, serta antara ketaqwaan dan kedurhakaan.

Di dalam Al Quran, zakat mepunyai beberapa istilah, yakni zakat, shadaqah, haq, nafaqah, dan afuw. Namun yang berkembang pada masyarakat adalah istilah "zakat" digunakan untuk shadaqah wajib, sedangkan kata "sedekah" digunakan untuk shadaqah sunah.

Harta yang dikeluarkan untuk zakat  dimaksudkan untuk mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa, serta untuk menyuburkan harta atau memperbanyak pahala bagi mereka yang mengeluarkannya, karena zakat itu menunjukkan kebenaran iman. Harta yang dizakatkan akan dipelihara oleh Allah SWT, dan dapat diturunkan kepada anak cucu dengan memperoleh keberkahan dan kesucian serta perlindungan dari Allah yang Maha Kuasa. Sedangkan harta yang tidak dikeluarkan zakat, tidak akan mendapat perlindungan dari Allah, sebab harta itu akan lenyap dari kepemilikan melalui bencana yang beraneka ragam. Harta tidak akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi pemiliknya di "akhirat" kelak.

Zakat merupakan manifestasi dari kegotong-royongan antara orang kaya dengan fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Sedangkan, lembaga "zakat" merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosial-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk  memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, sebagaimana yang dilaksanakan dalam system sosialisme dan negara kesejahteraan modern (welfare state).

Pembahasan Al Quran tentang zakat sebagai doktrin sosial-ekonomi Islam sering dikaitkan secara bersamaan dengan "riba", seperti dalam  Surah Al Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba, setelah pada ayat sebelumnya menyatakan keutamaan membelanjakan harta di jalan yang benar. Kemudian pada ayat berikutnya, yakni Surah Al Baqarah ayat 276 dengan tegas Allah menyatakan bahwa: "Allah menghapuskan (berkah) riba dan menyuburkan (berkah) sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran lagi berbuat dosa." 

Dalam ayat tersebut Al Quran dengan jelas mempertentangkan riba dan shadaqah, dan kemudian dalam ayat berikutnya secara lebih tegas muncul konsep zakat sebagai solusi alternatif, yakni: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan yang akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan berduka cita."

Faktor  yang menghubungkan antara "zakat" dengan "riba" adalah pengertian kunci di sekitar berkah dalam konotasi kontradiktif, yakni "zakat" sangat terkait dengan system penyediaan dana dan system pemanfaatan dana dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan pemerataan untuk mencapai keadilan sosial, sedangkan "riba" hanya dilandasi prinsip materialisme dan hedonisme sehingga menjadi salah satu factor utama timbulnya konsentrasi kekayaan pada satu orang atau kelompok.

Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit (adam al-haraj) dan keadilan (al-'adalah) yang mencakup keadilan sosial, maka doktrin zakat harus dipahami sebagai satu kesatuan system yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of justice) seperti yang diungkapkan Al Quran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

Menurut beberapa ulama dan ahli sejarah, zakat adalah suatu system jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia, yang selalu berhadapan dengan system riba. Hal ini berlangsung secara efektif & efisien, karena zakat langsung dikelola oleh pemerintah yang alim dan adil. Namun, kemudian terjadi pemisahan wilayah kekuasaan internal Islam antara penguasa dan ulama, maka lembaga "zakat" menjadi tidak seefektif sebelumnya. Sebagai institusi keagamaan, lembaga "zakat" kemudian dipegang oleh ulama saja, sehingga fungsi sebagai jaminan sosial menjadi tidak kentara, dan lama kelamaan berubah menjadi semacam aktivitas bantuan sementara (temporary action) yang hanya dipungut dalam waktu bersamaan dengan pelaksanaan zakat fitrah. Akibatnya, pendayagunaan zakat hanya mengambil bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat (temporary relief), yakni diberikan kepada fakir-miskin, anak yatim-piatu, hadiah tahunan untuk guru agama atau da'i. Sehingga, saat ini, perlu rasanya mendiskusikan kembali doktrin zakat sebagai sub-sistem Ekonomi Islam dalam rangka mempertegas substansi zakat yang sangat terpaut dengan hajat hidup dunia akhirat.

Berdasarkan uraian singkat di atas, bahwa kewajiban zakat di dalam Al Quran seringkali dikaitkan dengan perintah sholat dan larangan riba, maka dapat kita simpulkan bahwa zakat dan sholat adalah dua ibadah utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sholat adalah ibadah utama hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah ibadah utama dalam hubungan sesama manusia tanpa lepas dari dimensi ke-Tuhan-an. Dan kaitan kewajiban zakat dengan larangan riba adalah zakat merupakan alat distribusi harta kekayaan antara si kaya dan si miskin, sedangkan riba adalah instrumen utama yang melahirkan konsentrasi kekayaan di sekelompok orang.

Neal Robinson, Guru Besar pada University of Leeds, menyatakan bahwa zakat mempunyai fungsi sosial ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya larangan riba. Zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta, namun malahan akan merangsang investasi untuk alat produksi atau perdagangan. Demikian pula, Umer Chapra berpendapat, bahwa zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi, sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.

Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan harta dan kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar. Di samping itu, apabila lembaga "zakat" dapat dijalankan sesuai dengan yang telah diatur dalam Al Quran yang bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial, maka dana zakat akan membantu kas negara untuk menciptakan lingkungan ekonomi umat atau kerakyatan yang memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi yang menggalakkan industri kecil dan mikro yang kemudian akan berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Penulis: MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun