Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Arti Keadilan dalam Perekonomian

22 November 2021   07:12 Diperbarui: 22 November 2021   07:16 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Keadilan Dalam Perkonomian (Ilustrasi oleh Merza Gamal)

Menurut Chapra (2000), setiap perekonomian dapat dikatakan telah mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang akan datang.

Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau tatanan moral dari masyarakat.

Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. 

Di samping itu juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan usaha.

Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. 

Para Ekonom, sebelumnya berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan distribusi pendapatan. Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti output per kapita yang lebih besar.

Keadilan menurut Qardhawi (1994) adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat), antara komunitas dengan komunitas. 

Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan tersebut tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia.

Dengan demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai dengan batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.

Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta mengakui perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut.

Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya.

Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002). Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas.

Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.

Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa, mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez Faire Laissez Fasser). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan motivasi dan kepribadian.

Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut "masyarakat", yang tercermin dalam "Negara". Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 1995).

Oleh karena itu, perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini, para ahli Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil.

Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab Al Qur'an.

Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.

Guna mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem harga di dalam memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya materi lainnya. 

Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran komplementer (Chapra, 2000). 

Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif.

Oleh karena itu, telah dirasakan bahwa system ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian, maka memahami model dinamika sosial ekonomi Syariah yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun pada abad ke 14 menjadi relevan dalam aplikasi pembangunan pada saat ini.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995), bahwa perlu disadari, kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia dengan memasukkan nilai-nilai Syariah bukan suatu hal yang irrelevant.

Penulis: MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun