Kata "bekerja" dalam ayat-ayat Al Qur'an mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa (Qhardawi, 1977).Â
Kerja atau melakukan usaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.
Dalam beberapa ayat di Al Qur'an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah Al-Jumu'ah ayat 10, dinyatakan; "Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
Surah At-Taubah Ayat 105 juga memerintahkan hambahNya untuk bekerja dengan menyatakan, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda: "Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada." (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: "Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri." (H.R. Bukhari)
Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang bekerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: "Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak......" (QS. an-Nisa':100)
Bahkan, hadits Rasulullah SAW menyebutkan bahwa apabila seorang yang meninggal dalam perantauannya akan sangat dihargai. Untuk itu, ia akan mendapatkan pahala di surga sebanding dengan jarak antara tempat kelahirannya dengan tempat kematiannya.
Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, "Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri." (H.R. Muslim)
Ajaran Islam, memberikan peringatan keras dalam masalah minta-meminta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul'alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.
Tindakan zalim terhadap hak Rabbul'alamin artinya meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan.Â
Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya.Â
Jika orang itu terpaksa memenuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa kesal. Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama makhluk. Ia menjual kesabaran, ketawakalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada orang lain.
Dalam mengentaskan kemiskinan, Islam tidak memecahkan masalah dengan cara memberikan bantuan materi untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi berusaha melibatkan si miskin mengatasi kesulitannya secara aktif di samping memberikan solusi yang manjur. Islam menuntun si miskin untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya.
Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain.Â
Islam membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan.
Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan.
Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya. Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya.
Kesalahpahaman terhadap ajaran motivasi Islam, dinilai para ahli sebagai hal yang membawa kemunduran dalam kehidupan umat Islam. Menurut Chapra (2001), kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan, pemberontakan-pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, serta faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16.Â
Puncak kemunduran tersebut terjadi pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi, sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut.
Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu, bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan guna menghentikan kemunduran itu. Faktor utama untuk menghindari kemunduran adalah dengan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.Â
Tugas ini adalah tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang peduli terhadap keluarga kita umat Islam di seluruh jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat "duduk sama rendah berdiri sama tinggi" dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu kita sadari, bahwa Rasullullah telah memberikan tauladan terhadap prinsip-prinsip kehidupan yang dapat kita jalankan dalam kehidupan kita semua hingga akhir masa menjelang.
Firman Allah SWT:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." Â (QS.33/ Al-Ahzab: 21)
Penulis,
Merza Gamal
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H