Mohon tunggu...
Mery Indriana
Mery Indriana Mohon Tunggu... Administrasi - swasta

penyuka senja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saling Mengingatkan Berujar di Medsos

30 Januari 2019   09:13 Diperbarui: 30 Januari 2019   09:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum teknologi berkembang seperti sekarang ini, masa tahun 1990 an, komunikasi jarak jauh berlangsung tak mudah. Pada masa itu, telepon hanya ada di rumah-rumah, telepon umum di jalan-jalan dan di kantor-kantor. Telepon genggam belum ada.

Komunikasi bermediapun berlangsung cukup sulit karena belum ada internet. Komputerpun baru ada pada masa itu, tetapi masih jarang. Sehingga komunikasi bermedia  harus melalui surat yang butuh waktu sampai berhari-hari untuk sampai ke yang dituju, atau melalui telegram (tulis) yang hanya bisa mengantarkan pesan beberapa kata dengan cepat. Telegam ini relative mahal karena dihitung perhuruf, sehingga dimanfaatkan masyarakat untuk mengantarkan kabar kematian, mialnya.

Begitu pula dengan media massa . Jaman itu koran atau media cetak menjadi hal terpenting dari seluruh media massa yang ada. Karena internet belum ada, maka media online juga belum ada.

Karena situasi seperti itu maka pemegang isu terpenting adalah media massa. Mereka mempengaruhi masyarakat dengan kekuatannya. Karena itu pemerintah Orde Baru mengawasi media cetak, radio dan televisi dengan ketat. Jika sedikit melenceng, maka tak segan memberangusnya dengan meberidel. Contoh nyata atas kasus ini adalah majalah Tempo.

Karena itu media massa dan beberapa tokoh yang sering diwawancarai,  terlatih mengatur narasi sehingga mereka tak menabrak aturan. Mereka memiliki filter berjenjang dalam menulis suatu berita. Mulai dari reporter, redaksur sampai pada pemimpin redaksi. Atau trkadang, jika mereka harus menyampaikan kritik penting, maka dikemas sebegitu rupa sehingga bisa telewat dari penguasa.

Aturan berjenjang itu menjadikan narasi begitu tertata dan tidak melanggar aturan. Karena masing-masing jenjang mengetahui aturan yang tak boleh dilanggar. Aturan itu juga berlangsung di banyak Negara. Tentu dengan beberapa perbedaan yang disesuaikan dengan budaya dan sistem poitik negara itu. Jadi bukan hanya di Indonesia.

Masa berganti dan sekarang semua orang bisa memproduksi berita tanpa ada media massa dan tanpa filter ketat. Komunikasi bermedia seperti wa dan sosial media mempermudah hubungan dengan orang lain. 

Semua orang bisa menyuarakan apa saja kepada pihak lain, secara real time. Seperti seseorang alami kecelakaan di jalan. Lalu politikus A atau B terjerat hukum karena tertangkap tangan sedang menyuap dll. Itu semua bisa menyebar dengan seketika dengan jempol tangan yang menggerakkan ponsel kita.

Di sisi lain, masyarakat belum sepenuhnya paham bagaimana mempergunakan  sosial media dengan baik. Sisi literasi media digital masyarakat timpang. Sehingga yang terjadi adalah masyarakat banyak memperoduksi konten yang tidak layak untuk disampaikan kepada pihak lain. 

Ucapan mencerca, memaki dan lain-lain menjadi hal yang biasa bagi mereka. Dan sering itu tak berhubungan dengan jenjang pendidikan.

Karena itu pernah kita saksikan, seorang yang berprofesi dokter diperiksa polisi karena ujaran kebencian yang dituliskannya di media sosial.  Beberapa kasus lain yang mirip dengan itu misalnya ibu-ibu rumah tangga , politikus, dokter dll juga terjerat pada pelanggaran yang sama.  Terbaru adalah artis Ahmad Dani yang dijerat UU ITE karena ujaran kebenciannya melalui twitter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun