Salah satu kata yang paling sering muncul akhir-akhir ini adalah kata toleransi. Seringnya muncul kata ini, tentu bukan tanpa sebab. Seiring semakin masifnya ujaran kebencian di media sosial, semakin sering pula kata toleransi ini muncul. Toleransi merupakan solusi atas maraknya pandangan yang menolak keberagaman di Indonesia.Â
Toleransi juga merupakan solusi atas mulai terkikisnya rasa saling menghormati, saling menghargai dan tolong menolong antar sesama. Hampir semua suku yang ada di negeri ini, mempunyai tradisi saling menghormati dan menghargai.Â
Tidak ada satupun tradisi di Indonesia yang memeliraha kebencian, merasa paling benar sendiri ataupun menganggap pihak yang berbeda sebagai pihak yang salah. Berkat toleransi antar sesama, membuat keberagaman di negeri ini tetap terjaga.
Kemarin, umat Nasrani baru saja merayakan hari raya natal. Perayaan Natal tahun ini memang berjalan dengan aman, tenang, dan bebas dari ancaman teror seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun masih ada pemandangan serupa di seberang istana negara. Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, kembali melakukan misa Natal, di depan Istana Merdeka.Â
Aktifitas ini dilakukan sudah yang kelima kalinya sejak 2012 lalu. Kedua jemaat gereja ini melakukan ibadah di pinggir jalan, karena tempat ibadah mereka disegel secara sepihak oleh kelompok intoleran. Padahal, para jemaat mengantongi putusan dari tingkat pengadilan ke MA, yang memberikan izin kepada para jemaat untuk beraktifitas di dalam gerejanya.Â
Meski putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, kelompok intoleran tetap melarang dan polisi hanya sebatas diam. Terbukti sudah hampir 6 tahun, mereka masih tetap beribadah dipinggir jalan.
Apa yang dirasakan oleh jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia menjadi bukti, bahwa ancaman intoleransi itu masih saja ada. Betul Indonesia dikenal sebagai negara yang toleran. Tapi faktanya, kenapa hukum yang telah inkrah bisa dikalahkan oleh desakan kelompok intoleran, yang berujung hilangnya hak para jemaat.Â
Padahal, negeri ini menganut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita bisa mengerti dan memahami nilai ini, seharusnya kita bisa memanusiakan manusia. Tidak akan ada kebencian dan amarah. Bersikap adil tidak harus ditunjukkan oleh masyarakat, tapi juga harus ditunjukkan oleh pemimpinnya.Â
Jika masih ada praktek intoleran, apakah pemimpin berani bersikap tegas? Atau justru sebaliknya. Dan jika nilai kemanusiaan itu sudah terpatri, maka segala ucapan dan tindakannya pun akan jauh lebih beradab.
Ingat, kita tinggal di negara kesatuan republik Indonesia. Sebuah negara dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Mari kita lihat setiap kearifan lokal yang melekat di masing-masing suku.Â
Tidak ada satupun yang menganjurkan untuk saling membenci, saling menghujat ataupun saling melakukan persekusi. Tiap suku justru menjunjung tinggi nilai toleransi antar masyarakat.Â