Mohon tunggu...
Merta Triyadi
Merta Triyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Politik Hukum

Menaruh minat pada tulisan terkait sejarah, politik & hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Ada Cinta Buta dalam Dukung-Mendukung (Calon) Presiden

13 Februari 2024   23:46 Diperbarui: 14 Februari 2024   03:41 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gerakan serentak dari guru besar dan civitas akademica di puluhan kampus yang hampir tersebar di seluruh indonesia menjadi sinyal alarm bahwa krisis demokrasi dan krisis sikap negarawan di negeri ini sudah ada ditahap yang cukup mengkhawatirkan.

Ada tudingan yang mengatakan bahwa tindakan guru besar itu dikendalikan oleh partai politik/pihak tertentu, sulit rasanya untuk diterima karena tidak didukung oleh bukti dan argumen yg kuat, yang terjadi malah kebalikannya bukti bahwa dugaan kecurangan pemilu itu terjadi ketika ada penggunaan Lembaga negara untuk "memerintahkan" rektor guna membuat video tentang keberhasilan pemerintah di masa presiden Jokowi.

Contoh yg sangat baik dari Prof. Damayanti Buchori (Guru Besar Ekologi dan Konservasi Serangga IPB) yang menganalogikan Gerakan deklarasi dari guru besar dan civitas akademica ini dengan migrasi yang dilakukan serangga, sekelompok serangga tidak tiba-tiba melakukan migrasi namun ada momentum yang mendorong mereka untuk bergerak melakukan migrasi, contohnya perubahan suhu yang membuat mereka melakukan migrasi secara bersamaan, hal ini juga yang terjadi pada sivitas akademica.

Para Guru besar dan sivitas akademica bukan ujug-ujug menentang, tetapi sudah mulai keras mengkritik sejak isu presiden 3 periode, perpanjangan masa jabatan presiden, lalu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang akhirnya menjadi landasan Gibran Rakabuming Raka yang notabene merupakan anak dari presiden yang saat ini sedang berkuasa bisa maju menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto, serta saya mengira puncaknya saat presiden mengatakan bahwa presiden boleh melakukan kampanye, dan ini merupakan kekeliruan besar lainnya yang dilakukan oleh Jokowi.

Karena dalam ilmu hukum Teknik dalam menafsirkan pasal dalam suatau Undang-undang tidak bisa hanya ditafsirkan secara pasal per pasal atau tidak secara utuh, namun harus melihat juga maksud, tujuan dan konteks dari pengaturan suatu pasal dalam suatu Undang-undang dalam hal ini UU pemilu tersebut, terlebih tindakan ini berbahaya karena seakan bisa menjadi alasan pembenar bagi para pembantunnya dalam hal ini Para Menteri dan ketua Lembaga negara serta para Kepala Daerah untuk bersikap tidak netral.

Tidak ada yang abadi dalam politik kecuali kepentingan. Tidak menutup kemungkinan pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta partai pengusungnya yang saat ini keras mengkritik pemerintah, di kemudian hari akan berkoalisi dengan pasangan calon yang patut diduga didukung pemerintah dan terindikasi ada kecurangan

Ingin rasanya menagih janji bila antara pasangan calon (paslon) yang keras mengkritik pemerintah tersebut yang menang dikemudian hari, akan memperbaiki sistem penegakan hukum dan pelaksanaan demokrasi dengan lebih baik dari saat ini, atau pun jika mereka belum mendapat mandat pada periode ini akan teguh untuk berdiri menjadi oposisi guna menjadi penyeimbang jalannya roda pemerintahan, sehingga janji tersebut tidak hanya menjadi janji manis sesaat saat pemilu.

Karena sekarang rasanya paslon beserta partai politik pengusungnya yang keras mengkritik pemerintah tersebut hanya keras mengkritik pemerintah secara verbal, nyaris tak terlihat dalam tindakan, jadi yang terasa hanya gaduh dan bising ditelinga tanpa ada tindakan nyata untuk coba menghentikan indikasi kecurangan atau setidaknya dugaan intervensi pemerintah dalam politisasi kebijakan guna kepentingan salah satu paslon.

Karena sejatinya yang bisa secara konstitusional menghentikan dugaan tidakan kecurangan yang dilakukan pemerintah ini adalah DPR, mereka dapat mengajukan hak interpelasi guna mempertanyakan dugaan politisasi kebijakan pemerintah khususnya yang berkaitan dengan pesta politik lima tahunan ini.

Namun karena sulit rasanya untuk berharap pada parpol agar segara bertindak, maka semoga masyarakat sekarang berkenan untuk menjadikan pemilu saat ini sebagai sarana guna menghukum pasangan calon yang mengotak atik aturan demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Kedepan perlu rasanya untuk segera merivisi UU Pemilu, khususnya guna mengatur pelemahan kewenangan presiden dalam pelaksaan pemilu, mengutip konsep limp duck (bebek pincang) yang dipaparkan oleh Zainal Arifin Mochtar dalam Podcast Lanturan di Channel Youtube Kompas TV, seorang presiden menjelang pemilu harus di pincangkan, karena sangat power full dalam system Presidensial, contoh potensi penyalahgunaan kewenangan presiden dalam pelaksanaan pemilu yaitu bila ia maju dalam putaran kedua sangat mungkin menggunakan kekuasaannya agar terpilih lagi,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun