[caption id="attachment_190363" align="aligncenter" width="448" caption="Nilai-nilai Universal Deklarasi HAM,"][/caption]
Tulisan ini serpihan dari artikel Ide yang Tidak Disampaikan Adalah Racun, Seperti tulisan sebelumnya, Tulisan ini juga merupakan tanggapan atas pernyataan seseorang di jejaring social (social networking). Inilah pernyataannya "saya masih belum paham benar, apakah saudara termasuk orang yang universal? Ataukah mengelompokkan diri dalam golongan tertentu (misal kedalam salah satu 5 agama besar di Indonesia)" , pernyataan tersebut mungkin timbul karena tertarik membaca tulisan-tulisan dan status saya di jejaring social yang terkadang mengkritik kedalam agama sendiri dan sering pula mengkritik agama lain dengan sinis dan penuh SARA. Dengan pernyataan tersebut saya mencoba memberikan tanggapan sederhana sbb:
Saya berani taruhan jika ada orang yang seumuran dengan saya sudah bisa berpikir universal tanpa membeda-bedakan SARA, bisa terlepas oleh rasa suka dan tidak suka terhadap suatu agama. Pastilah orang yang masih muda akan dipengaruhi oleh rasa suka terhadap yang satu dan rasa tidak suka terhadap yang lain. Seseorang membutuhkan waktu untuk bisa membebaskan dari rasa suka dan duka, benci dan suka, senang dan sedih, penderitaan dan kebahagian. Jiwa muda pasti bergejolak dengan kedua hal yang berbeda itu (suka dan benci). Banyak orang tidak berani memberikan pandangan ekstream terhadap apa yang tidak disukainya ataupun yang "dibencinya" , padahal menurut saya untuk bisa bebas dari rasa benci kita harus mengeluarkannya terlebih dahulu rasa yang dimiliki, maka nanti kelak harapannya bisa netral alias universal. Jadi wajarlah saya yang masih muda tidak bisa atau belum mampu berpikir universal. Sehingga dalam menulis sering melontarkan isu-isu atau tulisan controversial penuh dengan SARA.
Dalam ajaran agama , Tuhan mengasihi orang-orang yang tidak memihak , bebas dari rasa suka dan benci, penderitaan dan kebahagian. Seperti sloka didalam Bhagavad Gita sebagai Berikut:
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
"(Seseorang) yang bersikap sama terhadap seorang teman atau seorang musuh, sama terhadap dingin dan panas, terhadap kenikmatan dan penderitaan, bebas dari keterikatan "(BG.XII.18) .
"Menerima secara sama rata pujian dan fitnah, bersikap diam, merasa cukup dengan apa yang diterimanya, tak memiliki rumah, berpikiran stabil, ia pemujaKu yang setia, adalah orang yangKu kasihi" (BG.XII.19).
Andaikan seseorang bersikap sama terhadap semua kejadian yang menimpanya, seperti senang dan susah, pujian atau hinaan, panas atau dingin, dan merasa semua itu sama saja kadarnya, dan selalu merasa cukup dengan apa yang melandanya dan apa yang diterimanya dan menganggapnya sebagai pemberianNya jua, maka orang suci semacam ini adalah orang yang dikasihiNya. Andaikan ia tenang dan damai dalam menghadapi segala sesuatu dan menyebarkan kedamaian ini pada orang-orang di sekitarnya dan pada dirinya secara senantiasa, maka jadilah ia seorang mauni (yang tenang dan damai secara lahir dan batin). Andaikan ia merasa tak memiliki rumah atau tempat-tinggal (aniketah), yaitu dengan kata lain berarti ia merasa dunia ini bukan milik atau rumahnya yang sejati, tetapi ia hanya seorang musafir yang sedang melakukan perjalanannya (yatra) demi suatu kewajiban yang disandangnya demi Yang Maha Esa, dan merasa bahwa rumah atau tempat-tinggalnya yang abadi ada di dalam Yang Maha Esa, maka jadilah ia seorang yang paling dikasihi oleh Yang Maha Pengasih, dan manusia suci semacam ini selalu tersenyum penuh arti dalam segala tindakannya; ia selalu bersikap tenang-tenang saja penuh arti.
Untuk menjadi apa yang diperintahkan agama bukanlah hal mudah namun dengan usaha keras dan niat yang tulus pastilah akan tercapai meski baru dalam angan-angan, karena sesungguhnya pikiran itu ajaib, ia bisa menjadikan kenyataan apa yang sebelumnya hanya terlintas dalam pikiran. Pikiran bisa menjadikan apa yang tidak terlihat menjadi terlihat, apa yang jauh menjadi dekat. Tidak percaya? Coba kita kembali kepada masa lalu, dahulu tidak ada TV, tidak ada yang mengetahui bagaimana bentuk Televisi . John Logie Baird Tercatat sebagi orang yang pertama kali menemukan televisi. Dengan kecerdasan pikiran yang ia miliki kita bisa mengetahui dan melihat apa yang tidak bisa dilihat.
Dengan televisi apa yang jauh menjadi terasa dekat, masih ragu? Coba bayangkan jika tanpa ada televisi atau yang sejenisnya yang dapat menyiarkan suatu acara atau event besar seperti sepak bola. Untuk menonton sepak bola jika tidak ada televisi bisa jadi kita harus datang ke eropa untuk menonton liga eropa. Semua itu bermula dari pikiran yang Mahadahsyat. Kita ambil contoh lain 'yang tidak terdengar menjadi terdengar' , dengan kemajuan teknologi seseorang bisa mengobrol lintas Negara dengan handphone .
Kesimpulannya bahwa sikap universal yang dimiliki seseorang itu terjadi melalui proses yang bertahap dan memerlukan waktu untuk mencapai sikap itu. Dengan usaha dan niat yang tulus menjadi lebih mudah mencapai atas apa yang dikehendaki.