Mohon tunggu...
I Ketut Mertamupu
I Ketut Mertamupu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang mahasiswa hukum, agama dan budaya . Pengamat sosial yang berpikir blak-blakan . Tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Situs Resmi : www.hukumhindu.or.id . blog : www.mertamupu.blogspot.com , FB:facebook.com/mertamupu\r\nContact person: merta_mupu@yahoo.com , Phone Number +6281916665553 , +6281246085553 . Motto gue dalam menulis "free think about everything".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ritual Nyadran Berasal Dari Tradisi Veda

10 Juli 2012   05:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:07 3513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_187087" align="aligncenter" width="522" caption="Nyadran ke tempat Keramat. Sumber : www.kabarmagelang.com"][/caption]

Adakalanya suatu tradisi dianggap sebagai bagian dari ritual agama tertentu, yang sejatinya berasal dari agama lain (Hindu), misalnya ritual Nyadran. Nyadran adalah tradisi lama yang sampai saat ini masih sering dilakukan masyarakat , khususnya masyarakat Jawa . Di tengah era modern dan teknologi informasi yang sangat pesat, tradisi Nyadran masih tetap eksis .

Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah (de-kill.blogspot.com, 2009). Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya.

Dalam padangan agama mayoritas di negeri ini , ritual nyadran masih pro dan kontra , antara sejalan dengan ajaran Islam atau tidak sejalan dengan ajaran Islam. Apa mau dikata masyarakat tetap melaksanakan tradisi nenek moyangnya.

Seorang ahli menyatakan bahwa tradisi nyadran mempunyai kemiripan dengan sraddha pada masa kerajaan Majapahit. Kemiripan tersebut terlihat pada kegiatan manusia “berinteraksi” dengan leluhur yang telah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan terhadap yang sudah meninggal (Fandy Hutary, www.goodreads.com, 2010).

Menurut wikiepedia ritual Nyadran merupakan berasal dari tradisi Hindu yaitu Upacara Sraddha , “Upacara sraddha adalah upacara umat Hindu di pulau Jawa zaman dahulu kala untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal. Bentuk reminisensi upacara ini, masih ada sekarang dan disebut sadran dengan bentuk verba aktif nyadran”. Pada dasarnya upacara Sraddha didalam tradisi veda yaitu bertujuan untuk memuja leluhur. Di Bali sampai sekarang pemujaan leluhur masih sangat eksis yang disebut Pitra Yadnya. di Bali barat upacara sraddha ini dilakukan pada Tumpek Kuningan dengan mempersembahkan ritual di kuburan. Istilah yang serupa yang juga mirip dengan ritual Nyadran di India diesebut Upacara Sraddha, Pindaan, dan Tarpana . demikian pula halnya di Bali disebut Tarpana.

Tradisi sraddha bersumberkan dari kitab-kitab Hindu , seperti : Manu Smerti (Manawa Dharmasastra), Garuda Purana, Yama Smerti, Atharva Veda dan markandeya Purana, dll. Didalam Brahmapurana dikatakan bahwa pada bulan mati Ashvin, Yama (bhatara Yama) membebaskan semua jiwa sehingga mereka bisa mengunjungi anak-anak mereka untuk menerima makanan yang ditawarkan dalam upacara sraddha. Mereka yang tidak mempersembahkan makanan kepada leluhur mereka selama periode ini akan mendapatkan kutukan dari leluhur . generasi berikutnya mungkin akan menderita karena kesalahan ini. Uapcara sraddha juga biasanya dilaksanakan pada hari peringatan kematian seseorang (donder, 2010:428).

Didalam Manawa dharmasastra diuraikan secara panjang lebar tentang aturan upacara sraddha tersebut, termasuk pula larangang-larangan, misalnya pada sloka 249 Trityo dyayah (Manu Smerti 3.249) yang berbunyi;

Sraddham bhuktvaya ucchi-stam vrsalaya prayhacchati, sa mudho narakam yati kala sutram avaksirah.

Artinya: orang bodoh yang setelah makan makanan sraddha,memberikan sisanya kepada seorang sudra (pelayan), jatuh kedalam neraka kala sutra (Pudja,2004:153)

Pahala melaksanakan upacara sraddha sangat mulia. didalam Garuda Purana dikatakan : “Bila sraddha dilaksanakan dengan memuaskan, yang meninggal akan menganuggerahkan keturunannya dengan usia panjang, anak laki-laki, ketenaran, pembebasan, surga, keagungan, stabilitas, kekuatan, kemakmuran, ternak, kebahagiaan, uang, pertumbuhan, dan berkah abadi”

Oleh karena itu hendaknya ritual nyadran tetap dipelihara sebagai praktek keagamaan yang merupakan pengamalan ajaran veda.

Masih banyak lagi tradisi yang berasal dari veda sudah dianggap bagian dari ritual keagamaan yang mereka anut, misalnya "selametan" didalam ajaran veda disebut "Samskara" yg terdiri dari 16 jenis ritual. Mulai dari upacara bayi dalam kandungan sampai upacara sang anak kejenjang pernikahan. Bahkan lucunya model pendidikan Islam di indonesia juga diadopsi dari pendidikan Hindu yaitu Gurukula yang dalam islam di indoensia disebut pesantren..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun