Berada di halaman rumah, tinggal berdua dengan gadis yang pernah mengabaikanku  dulu waktu abg, meski ingat pernah mencintainya namun saya lupa namanya. Lalu dia menempel denganku duduk berdampingan. Saya bergairah memandang kecantikannya. Lalu mendekatkan tubuhku padanya, memeluknya mesra. Tak kubiarkan kesempatan emas lewat, saya kecup pangkal lehernya di bawah telinga. Itu rumusku kecup gadis muda agar diingat seumur hidupnya. Bahkan bisa membuatnya ketagihan.
Ada perasaan canggung akibat ulah itu, takut bila dia illfeel. Lalu saya menceramahi gadis itu tentang pemujaan di rumah. "Di pekarangan rumah, pada dasarnya ada dua jenis palinggih untuk pemujaan, yaitu dewa raksa dan kala raksa. Di tugun karang/kala raksa tak boleh nyumbah, hanya boleh ngayabang. Hanya di palinggih dewa raksalah boleh nyumbah." ujarku menceramahinya.
Tiba-tiba melihat seseorang, seakan diri sendiri menyembah di Tugun Karang, akan tetapi posisi tangan berada di depan dahi atau kening dan saya teringat tak pernah sembahyang di Tugun Karang. Tak lama kemudian, saya dan gadis itu beranjak dari tempat duduk dan hendak pergi.
Saya pun tersadar dari mimpi dan merasa kaget dengan mimpi itu. Setelah melihat kalender, mimpi tersebut bertepatan dengan Saniscara Kaliwon atau tumpek, nuju Paniron. Digali dengan tenung tanya lara, uripnya 25 dibagi 4: sisa 1. Sisa 1 artinya dewa alit. Dalam konteks mimpi di atas maka dewa alit yang dimaksud adalah dewan karang atau dewan umah, dewanya rumah.
Bagian awal, mimpi tersebut melambangkan pemalinan. Sebagaimana diketahui, mimpi mesra melambangkan pemali. Ternyata yang menjadi pemali adalah pohon bunga di luar pekarangan akarnya masuk ke tembok pagar rumah hingga pagarnya retak. Selain itu mimpi di atas erat kaitannya dengan petunjuk alam gaib agar selalu ingat sembahyang atau menghaturkan persembahan pada hari-hari sakral. Meski dalam mimpi menceramahi orang lain namun maksud sebenarnya menasehati diri sendiri agar ingat sembahyang di palinggih tersebut.
Semenjak dua bulan dilinggihkan kembali (pemugaran) Tugun Karang, saya tak pernah sembahyang disana, termasuk pada saat hari sakral. Bapak saya yang rutin mempersembahkan canang sari sebagai persembahan harian, sedangkan pada Kajeng Kaliwon Wudan mempersembahkan caru segehan manca dan pelengkapnya. Sedangkan saya biasanya hanya sembahyang di Kamulan. Di rumah orang Bali apabila tidak terdapat Kamulan, biasanya hanya didirikan palinggih ke surya (tergolong palinggih Dewa Raksa). Sedangkan pelinggih Tugun Karang tergolong palinggih Kala Raksa.
Saya pernah membaca ceramah seorang Sulinggih. Katanya tidak boleh nyumbah di Tugun Karang. Namun entah kenapa dalam mimpi seakan dibolehkan ‘nyumbah’ hanya saja posisi tangan di atas hidungatau berada di kening, tak seperti pemujaan kepada dewa dimana posisi tangan di atas kepala. Menurut hemat saya cara penerapannya yaitu apabila menghaturkan segehan atau canang sari di Tugun Karang maka yang dilakukan 'ngayabang', sedangkan bila mau bepergian jauh, mepamit, maka nyumbah tetapi posisi tangan di kening.
Beberapa bulan kemudian, saya membaca lontar Sunari Tiga yang menjelaskan aturan nyumbah, ternyata begini aturannya:
Iti tingkahing pangebaktian :
 1. Yan sira ngebakti ring wong urip, ayua sira saluwiring irung.
 2. Yan sira anembah wong wus pejah, ayua sira anembah ring siwa duara, ring biyoma siwa ungguania.
 3. Yan sira nembah, arca, candi, pajenengan, pada betara sinuwun, ika wenang sira nembah ring siwa duara.
Bunyi lontar tersebut dapat dimaknai bahwa apabila menghormati atau menyembah orang yang masih hidup, hendaklah mencakupkan tangan tidak sampai di atas hidung. Jadi seperti dalam mengucapkan salam panganjali. Bilamana memuliakan atau menyembah orang yang telah tiada, seperti dewa Hyang (leluhur), maka posisi cakupan telapak tangan ada di dahi atau kening, jangan diletakan di ubun-ubun. Sedangkan dalam pemujaan untuk dewa-dewi (sesuunan), baik dalam perwujudaannya arca, candi, pajenengan ataupun memuja nama-Nya hendaklah cakupan telapak tangan di atas ubun-ubun atau Siwa Dwara. Bisa juga diangkat setinggi-tingginya sebagaimana disebutkan dalam kitab Siva Purana. Perbedaan posisi cakupan telapak tangan saat melakukan persembahyangan ini ketika sembah ketiga dalam kramaning sembah, dimana pada pemujaan ini kita menyembah yang diagungkan sedang dihaturkan pujawali.
Dalam literatur Veda, secara sederhana terdapat tiga cara dalam mengagungkan atau memuliakan yang patut dipuja yaitu dengan terlentang (menyembah dengan rebah terlentang, rebah seperti tombak diletakan di lantai), bersujud (menyembah dengan meletakan dahi di tanah atau lantai kuil, mirip umat muslim), dan dengan mencakupkan telapak tangan atau nyumbah. Di nusantara hanya Nyumbah yang dipraktekan.