Juga dilarang memarahi, memberi kata-kata kotor pada orang sedang hamil, terutama pada saat makan. Jangan pula orang hamil (dan keluarganya) berkata-kata kasar pada orang lain hingga menyebabkan orang lain sakit hati. Sebab sanghyang urip sedang beryoga padanya. Dikatakan sangat buruk akibatnya. Sanghyang urip tidak suka. Bisa menimbulkan marabahaya pada bayi yang dikandungnya. Juga akan menimbulkan penderitaan. Anak yang lahir kelak menjadi anak durhaka, galak, hidupnya sengsara.Â
Dari sudut pandang medis, seseorang yang sedang hamil mentalnya tidak boleh tertekan, jiwa tergunjang, seperti misalnya terkejut akibat mendengar kabar buruk, atau akibat dimarahi. Hal ini akan berakibat buruk terhadap perkembangan kecerdasan (mental) sang anak.Â
Seorang yang menjaga orang hamil juga diwajibakan setiap jumat wage, purnama-tilem, melakukan upacara pabersihan (panyucian), matepungtawar-tawar, mahening-hening (memohon keseimbangan pikiran), memohon tirta penglukatan (penyucian) di kamulan, dan juga membuat obat sarab, panglukat kehamilan, pangurip manik, memohon perlindungan dengan mantra weda. Suami istri memohon keselamatan dengan membuat persembahan untuk saudara empat, nyama catur.
Dalam ajaran Veda sebelum kehamilan seseorang sudah diupacarai atau didoakan, hingga anak lahir. Upacara bayi dalam kandungan dalam ajaran Veda disebut Garbhadana Samskara. Demikian juga tradisi di Bali  terdapat upacara magedong-gedongan (barangkali serupa dengan upacara Mitoni di Jawa), yaitu upacara ketika bayi dalam kandungan telah sempurna, bayi dan atman/roh telah menyatu, sekira kehamilan umur enam atau tujuh bulan.Â
Apabila ibunya (orang yang hamil) sakit harus segera diobati. Sebab bila orang yang sedang hamil sakit maka bayi yang dikandungnya juga akan sakit, demikan sebaliknya jika bayi dalam kandungan sedang sakit maka ibunya juga akan sakit. Bila tidak segera diobati janin bisa meninggal di dalam kandungan atau keguguran, besar kemungkinannya bisa menyebabkan ibunya ikut meninggal. Ada beberapa ciri-ciri apabila bayi sedang sakit, seperti ibunya gemetar terutama pada bagian leher, kulit ibunya kotor dan matanya kekuningan, beteg seluruh tubuhnya. Segeralah diobati dengan tamba tiwang. Jangan takut, obat yang demikian tidak akan mencelakai bayi dalam kandungan.Â
Perlu juga diperhatikan, apabila sedang marah berhubungan seksual, jika terbuahi maka buruk akibatnya; banyak penderitaannya, bermacam-macam penyakit, durhaka kepada orang tuanya kelak. Apabila salah satu sakit hati saat bersanggama dan terbuahi maka anaknya akan keras kepala, kesakitan. Apabila teringat dengan selingkuhannya saat berhubungan seks maka akan sering ‘manak salah’, buruk akibatnya. Demikian juga berlaku pada saat wanita hamil, seseorang sangat dilarang berselingkuh, baik suami maupun istri. Sangat buruk akibatnya terhadap anak, hidupnya kelak akan sering menderita.Â
Oleh sebab itu berhubungan seksual hendaklah atas dasar saling mencintai, saling menyayangi, saling setia, untuk meperoleh keselamatan dan kebahagiaan bagi anak yang akan dilahirkan, dewa selalu dekat padanya. Sabda bhatara;
Duh yayi sira kalih, iki rasa rasane pitutur ingsun. Yan ana wong arabi pada satia, tresna pada tresna, rahayu patemunia sanghyang semarika wenang amanggih luwih ika, manusa pakertiin dewa, ping siu turunania kapanggih, anging arang manemu kaya ika aketi ala ayu tunggal, baliknia, batara Kala muang batari Durga ika batara Siwa, batari uma, mangun barata yasa.
Dianjurkan juga apabila istri hamil dibuatkan ‘pematuh belingan’ agar anaknya lahir pada hari baik, agar lahir dibawah pengaruh perbintangan yang dianggap membawa keberuntungan dan kebaikan.Â
Berkaitan dengan pola makan, seorang yang sedang hamil sangat dilarang makan makanan yang dilarang agama sebab orang sedang hamil dianggap ‘pingit’, sangat sensitif, baik secara alam gaib maupun berkaitan dengan kesehatan fisiknya.Â
Makanan yang wajib dihindari yaitu makanan cuntaka atau tidak suci. Yang dimaksud makanan cuntaka yaitu; sisa persembahan dari banten matelah-telah, gelah wong sebel (makanan yang berada di rumah orang yang cuntaka, seperti ada kematian, akibat kelahiran), banten bus baya, banten meseh lawang, banten makala dengen. Pada intinya sisa upacara yang diperuntukan persembahan ke ‘teben’; buta kala. Dalam tradisi di Bali, juga dilarang seorang yang hamil ‘nyulubin bangke’, berjalan di bawah mayat. Walaupun yang meninggal adalah kerabat dekat, hindari nyulubin bangke, cukuplah hanya ngaturang sembah, walaupun itu nenek ataupun kakek sendiri yang meninggal.Â