Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tinjauan Yuridis Galian C di Songan

5 Desember 2012   02:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:10 1896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bevel: I Ketut Mertamupu www.kompasiana.com/mertamupu.co.id

[caption id="attachment_212843" align="aligncenter" width="576" caption="Kaldera Gunung Batur (sumber/bali-travel-life.com)"][/caption]

Perusakan alam tampaknya semakin merajalela dimana-mana; pembalakan liar, pembakaran hutan, perusakan dan pencemaran lingkungan dan lain sebagainya.  Salah satu dari sekian banyak perusakan alam, khususnya penambangan adalah adanya galian C yang tak berizin seperti yang terjadi di desa Songan.

Desa Songan berada di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten bangli. "Sutan Takdir Alisjahbana pernah memimpikan desa ini akan menjadi pusat seni di masa depan"  (Sakti Soediro, 2012: www.akarumput.com). Desa ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk hidup di hari ini dan masa depan. Bentang alam yang menakjubkan, ladang-ladang pertanian yang terhampar, pemandian air panas, hingga karamba jaring apung.

Masyarakat desa Songan sebagian besar sebagai petani holticultura. Letak desa ini di dataran tinggi vulkanik beriklim pegunungan yang sejuk membuat Songan menjadi ladang subur bagi tanaman buah dan sayuran. Hasil pertanian masyarakat setempat menjadi salah satu sumber pasokan ke pasar-pasar di Bali.

Selain sebagai petani, warga songan berprofesi sebagai wiraswasta dan ada pula sebagai penambang pasir  "Galian C" atau dalam bahasa baku disebut penambang bahan Galian golongan C. {Bahan Galian Golongan C adalah bahan galian yang tidak termasuk bahan galian golongan a (strategis) dan bahan galian golongan b (vital), sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980}.

Gunung Batur yang hingga saat ini masih aktif dan melahirkan jutaan kubik pasir, menjadi salah satu sumber utama pasir di Bali. Akibat dari penambangan pasir yang tak terkendali hingga menyebabkan kerusakan lingkungan.

Kondisi galian C Kintamani, khususnya di Dusun tabu Desa Songan sudah teramat memprihatinkan. Kubangan besar di bagian utara Gunung Batur menganga dimana-mana. Sementara persoalan ada tidaknya ijin dikeluarkan pemerintah soal hal itu masih saru gremeng (Bali Post, 2009).

Peninjauan lokasi penggalian di Dusun Tabu ini, dulunya sudah sempat masuk ke ranah meja wakil rakyat Bangli periode sebelumnya. Ketika para wakil rakyat Bangli hendak melakukan peninjauan lokasi, justru mendapat respon keras masyarakat setempat (Bali Post, Loc.Cit).

Entah oleh karena "kekeliruan" masyarakat ataukah pemerintah Bangli kurang tegas dalam mengambil sikap. Terlebih lagi Gunung Batur  telah ditetapkan sebagai Global Geopark Network (GGN) oleh badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan (UNESCO) pada The 11th European Geoparks Conference di Arouca, Portugal pada 20 September 2012. Dalam pandangan saya, tampaknya pemerintah kabupaten Bangli kurang tegas dalam mengambil tindakan untuk menutup Galian C di Songan, padahal Galian C di Songan melanggar  perundang-undangan bahkan Undang-undang Dasar.

Berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Isi ayat pada pasal tersebut bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya pasir beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritorial NKRI berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah dengan segenap lembaga pengelolanya untuk dipergunakan untuk kemakmuran atau kensejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.

Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945 diperjelas lagi didalam Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa "Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah".

Dari kedua ketentuan pasal tersebut diatas, bahwa galian C (dalam hal ini pasir) yang terkandung didalam bumi menjadi milik Negara bukan milik perorangan meski berada di tanah mililk warga. Warga tidak berhak untuk menggali atau menambang pasir yang terkandung didalamnya tanpa persetujuan pemerintah, kecuali untuk kepentingan membangun rumah pribadi.

Penggalian tanahpun sebenarnya dilarang kecuali pengggalian untuk kepentingan umum seperti penggalian lubang tiang listrik, penggalian lubang tiang telpon. Namun yang jelas bahwa penggalian dan pengambilan bahan golongan C dibenarkan apabila pengambilan bahan galian golongan C sudah memiliki izin dari pemerintah dan apabila nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk dimanfaatkan secara ekonomis "diperjual-belikan".

Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah Galian C di Songan sudah memiliki izin dari pemerintah kabupaten Bangli? Sampai saat ini, setahu saya Galian C di Songan belum memiliki izin. Bahkan lucunya setiap sopir truk pengangkut galian C dipungut biaya "uang sisihan" (di portal). Hal ini jelas melanggar undang-undang. Bisa dikatakan hal ini disebut sebagai pungutan liar.

Lebih tragis lagi, pungutan ini juga dilakukan oleh pemerintah Bangli "lucu bin menggelikan".  Padahal pemungutan pajak tidak boleh dipungut melalui sopir truk dengan "uang sisihan" di portal, pemungutan pajak seharusnya dipungut dari pemilik lahan galian C sebesar 10%.

Menurut Koran Bali post (28 Nopember 2012) "dari 110 sopir truk yang masuk organisasi, hanya enam yang tidak mau bayar uang sisihan. Sementara, sisanya tetap bayar dan tidak ada yang protes". Ternyata dari 110 sopir truk hanya 6 orang yang mau menegakan hukum. Yang lainnya berlaku hukum ikan.

Andai saja sejak awal pemerintah kabupaten Bangli berani mengambil tindakan tegas maka hal itu tidak akan pernah terjadi. Pemerintah tampaknya tidak bertaring dalam menegakan hukum. Pemerintah seharusnya berani bertindak tegas sesuai perintah Undang-undang, seperti bunyi pasal 25 ayat (1) Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi "Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang".

Demikian ulasan singkat tentang galian C di desa Songan yang kebetulan desa saya sendiri. Apabila terjadi kekeliruan, mohon dikoreksi. Maklum baru mengenal sedikit tentang hukum agraria.

Akhir kata saya kutipkan sanksi pidana terhadap pelanggaran atas perusakan lingkungan, yang berbunyi "Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus jutarupiah)". Pasal 41 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997.

Tulisan sebelumnya  Sandal yang Baik Mengangkat Martabat Pemakainya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun