Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mahabharata: Hukuman Mati Menyelamatkan Jiwa Pendosa

24 Agustus 2014   00:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:44 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320705" align="aligncenter" width="491" caption="Hukuman Mati Bagi Tikus Negara *luwuraya"][/caption]


Masih ingat dengan kisah Shri Krisnha memenggal kepala Sisupala?

Sisupalamerupakan putra Damagosa dan Srutasrawa dari kerajaan Chedi, kerabat Vasudewa, sepupu Shri Kresna. Kitab Bhagawatapurana menjelaskan bahwa Sisupala merupakan penitisan dari Jaya dan Wijaya, penjaga gerbang Waikuntha, kahyangan dewa Wisnu.

Menurut kitab Mahabharata, Sisupala lahir dengan tiga mata dan empat lengan. Orangtuanya berniat untuk membuangnya, namun sabda dari langit mencegah mereka untuk melakukan hal tersebut sebab Sisupala ditakdirkan untuk hidup sampai dewasa. Sabda tersebut mengatakan bahwa tubuh Sisupala dapat menjadi normal jika dipangku oleh seseorang yang istimewa, yaitu seorang titisan Wisnu, dan kematian Sisupala juga berada di tangan orang yang sama.

Ketika keluarga Basudewa menjenguk Srutasrawa, Kresna turut hadir. Saat Kresna memangku Sisupala, mata dan lengan tambahan di tubuh Sisupala langsung menghilang. Mengetahui hal tersebut, orangtua Sisupala sadar bahwa kematian Sisupala juga berada di tangan Kresna. Mereka memohon agar Kresna mau bersabar dan mengampuni kesalahan yang diperbuat Sisupala apabila anak tersebut sudah dewasa. Kresna berjanji bahwa ia akan menahan kemarahannya. Ia menambahkan, apabila Sisupala sudah menghinanya lebih dari 100 kali, dan penghinaan itu dilakukan di hadapan orang banyak, maka Kresna berjanji bahwa ia tidak akan segan untuk membunuh Sisupala.

Setelah Jarasanda dari Magadha dibunuh oleh Bima dalam sebuah pertarungan, kerajaan Magadha tunduk pada kerajaan Kuru. Untuk menegakkan dharma di daratan Bharatawarsha, Yudistira dari Indraprastha menyelenggarakan upacara Rajasuya. Para raja dari kerajaan di penjuru Bharatawarsha menghadiri aula Indraprastha, termasuk Sisupala dari Chedi. Ketika Yudistira bingung memutuskan siapa yang akan menerima hadiah terlebih dulu, Bisma—kakek Yudistira yang merupakan sesepuh Dinasti Kuru—berkata bahwa Kresna paling layak mendapatkannya. Mengetahui hal tersebut, Sisupala menjadi dengki lalu menghina Kresna bertubi-tubi.

Sambil menghina Kresna, Sisupala menantangnya untuk bertarung. Karena Sisupala telah menghina Kresna bertubi-tubi dan dilakukan di hadapan banyak orang, maka Kresna memenuhi tantangan Sisupala. Dalam pertempuran, Sisupala tidak berhasil melukai Kresna. Sebaliknya, Kresna menebas leher Sisupala dengan Cakra Sudarsana. [dikutip dari wikipedia].

Setelah Sisupala terbunuh, salah satu peserta sidang protes, dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh memberikan hukuman melampui atau melebihi dari perbuatan yang dilakukan seseorang, dan tidak boleh menjatuhkan hukuman sebelum raja yang memberikan hukuman. Sri Kresna menanggapi bahwa hukuman bagi seseorang sebagai pembersih racun bagi diri sang pendosa (penebus dosa pelaku kejahatan). Dengan hukuman, pelaku kejahatan dapat dihentikan dari perbuatan kejahatan (dosa) berulang-ulang. Dan Sri Kresna memenggal kepala Sisupala setelah Maharaja Yudistira menjatuhkan hukuman mati, sehingga Sri Kresna dikatakan tidak melanggar dharma (hukum).

Hukuman mati, saat ini dianggap melanggar ham, terutama hak untuk hidup. Menurut hemat saya, logika ini sangat fatal. Seseorang yang telah melakukan perampasan terhadap hak-hak seseorang maka pelaku kejahatan pun harus dirampas haknya. Misalnya, seorang pembunuh harus dihukum mati, karena telah merampas hak hidup seseorang. Pemahaman lebih dalam lagi, tanpa memberikan hukuman yang setimpal terhadap pelaku kejahatan, akibatnya roh pelaku kejahatan akan tersiksa di neraka untuk menebus dosanya, dan akan dilahirkan kembali ke dunia sebagai mahkluk menderita, dan besar kemungkinan akan melakukan kejahatan berulang yang lebih kejam [jika tidak bertobat setelah menjelma]. Akan tetapi, dengan hukuman yang setimpal, roh dari pelaku kejahatan dibersihkan dari dosanya, dan masuk surga dan dilahirkan kembali menjadi mahkluk yang lebih beradab, lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

Jika kita cermati, pandangan hukuman mati sebagai pelanggaran ham akan menjadi benar jika hanya melihat dari sisi hukum duniawi (hukum modern), sebaliknya menjadi bukan kebenaran jika dilihat dari sudut pandang hukum agama yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian (surga-neraka).

Dengan kata lain, hukuman mati sebenarnya masih relevan diterapkan, terlebih lagi masyarakat Hindu meyakini hukum karma. Dalam ajaran Veda, hukuman dikatakan sebagai penebus dosa. Pelaku kejahatan kelas berat, terutama pembunuh dihukum dengan dibunuh maka atmanya terbebas dari dosa. Sedangkan apabila pembunuh tidak dihukum mati maka pembunuh ini akan menjelma, dan kelak akan mati terbunuh (demikian terjadi terus berulang kali). Dalam hukum Islam pembalasan seperti itu (misalnya pembunuh dengan dibunuh) disebut Qisas.

Ada yang berlogika, bahwa jika seseorang dihukum mati maka yang menghukum mati akan dibunuh pada penjelmaan berikutnya karena telah melakukan perbuatan membunuh. Ini logika yang fatal. Menurut ajaran Hindu, jika seseorang melakukan perbuatan atas nama, misalnya atas nama negara, seseorang tidak berdosa, inilah perbuatan yang dikatakan “berbuat sebagai tidak berbuat” dan dalam hukum modern pun dikenal asas seperti itu. Baca juga: Arti Sebuah Doa [Pesan Bijak Mahabharata on TV]

Terkait hukuman mati, kejahatan yang pantas dipidana mati dalam pandangan hukum Hindu adalah orang yang melakukan perbuatan kejam atau kejahatan kelas berat. Merujuk pada kisah Mahbharata tersebut, seseorang yang dapat dipidana mati adalah orang yang melakukan perbuatan dosa atau kejahatan berulang-ulang (residivis).

Ada enam kejahatan yang digolongkan kedalam perbuatan kejam, yang disebut sad atatayi. Kitab Slokantara menyebutkan “Orang yang membakar rumah, suka meracuni, dukun jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat, keenam ini dimasukan dalam golongan “Atatayi”. {Slokantara 71 (32)}.

“….Keenam pekerjaan ini jangan dilakukan oleh manusia waras, karena sudah pasti perbuatan seperti itu akan menyeretnya ke lembah neraka dan akan dianiaya berat oleh Dewa Yama. Jika ia hidup, ia akan disakiti dan disiksa oleh budak-budaknya sendiri. Demikian kata kitab suci. Setelah mereka dimasak hidup-hidup dalam api neraka, mereka akan diserahkan ke permukaan bumi ini seperti menyerahkan serabut remuk. Akhirnya mereka akan bertebaran disana-sini. Mereka yang bersifat dan berlaksana demikian adalah kelahiran neraka” Terjemahan Bahasa Jawa Kuno (Slokantara Halaman 235).

Dalam kitab Kutara Manawa Agama (Kitab Perundang-undangan Majapahit), ada tiga jenis kejahatan dari delapan jenis kejahatan (asta dusta) yang jika dilakukan seseorang dapat dipidana mati.

Perincian astadusta dalam kitab “Kutaramanawa Agama” (disertasi Dr. Jonker) yang berbunyi:

Yang masuk kedalam astadusta dikatakan : orang yang membunuh orang tak berdosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai orang tanpa dosa, makan bersama-sama dengan pembunuh, sehilir semudik dengan pembunuh, berkawan dengan pembunuh, memberi tempat perlindungan kepada pembunuh, menolong pembunuh.

Selanjutnya dinyatakan:

“Itulah semuanya astadusta. Yang tiga dosa jiwa, yang lima dosa harta. Membunuh orang tanpa dosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai parah orang tanpa dosa, itu semuanya tiga dosa. Jika dosanya terbukti ketiga-tiganya, orangnya harus dihukum mati karena ketiganya itu dosa yang harus dibayar dengan jiwa”.

Hukuman mati bukan hanya sebatas untuk memuaskan hati masyarakat yang merasa dirugikan, lebih dari itu hukuman mati adalah sebagai penebus dosa akibat perbuatannya, sehingga ia bebas dari reaksi dosa, “… orang-orang yang telah melakukan pidana dan telah pula dihukum oleh raja akan pergi ke surga karena telah bersih seperti halnya mereka yang telah melakukan perbuatan yang bajik (Manawa Dharmasastra VIII.318).

Pernyataan serupa terdapat pula dalam purana; “Setelah menempuh cara-cara tertentu untuk menebus dosa, maka sang pendosa akan terbebas dari ketakutan. Tidak diragukan lagi, dengan memiliki rasa penyesalan seorang pendosa akan mencapai pembebasan” (Siva Purana Mahatmyam IV.7). Bhagavad Gita menyatakan hukuman itu sebagai aspek-Nya. Seperti dinyatakan dalam Bhagavad Gita 10.38, “Di antara segala cara untuk melarang pelanggaran hukum, Aku adalah hukuman…”. Itulah sebabnya hukuman dikatakan sebagai penebus dosa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun