Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sungkeman Dalam Tradisi Veda

19 Oktober 2014   03:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:31 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang teman beragama Hindu di media sosial mengatakan bahwa dia ingin seperti Raffi Ahmad,Sungkeman saat pernikahannya. Ia juga menambahkan bahwa ritual Sungkeman sangat baik dilaksanakan sebagai wujud penghormatan kepada orang tua, yang berasal dari agama tetangga dan patut ditiru. (Mungkin yang dimaksud agama tetangga adalah agama Islam).

Saya pun tertarik menanggapinya. Saya menjelaskan bahwa di Balisungkeman’ tidak dikenal, tetapi yang ada adalah ‘Nyumbah’, merupakan ritual menyembah orang tua dan leluhur ketika dilaksanakan upacara pernikahan, berdekatan dengan upacara 'mepamit'. Tujuannya untuk memberi penghormatan kepada orang tua sebagai guru rupaka. Maknanya sama dengan ritual Sungkeman, hanya berbeda kulit luar.

Kenapa ‘Nyumbah’, kenapa bukan bersujud? hal ini terjadi karena yang diajarkan di Bali dalam memuja yang lebih mulia, lebih agung dengan sembah bukan dengan bersujud, meski di dalam ajaran Veda dikenal memuja Tuhan dengan bersujud. Di Bali Memuja Tuhan dengan Sembah (Kramaning sembah), demikian pula memuja leluhur, orang tua, dan guru (guru nabe, guru kerohanian). [baca juga: Bersujud dalam Tradisi Veda].

Sungkeman di dalam Veda dikenal dengan istilah ‘Pada Sevanam’ [Pada artinya kaki, sedangkan Sevanam artinya pelayanan]. Dalam Bhagavata Purana, Pada sevanam dijelaskan sebagai bentuk sembah kepada Tuhan dengan bersujud pada kaki padma beliau.

Pada Sevanam juga berlaku untuk menghormati orang tua dan guru. Dalam kitab suci Bhagavad Gita diberikan penjelasan yang boleh dipuja yaitu Tuhan, guru kerohanian, orang tua (termasuk leluhur serta dewa-dewi), dan Brahmana. Hal ini disebut sebagai pertapaan jasmani.

Shri Bhagavan bersabda, “Pertapaan jasmani terdiri dari sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, para brahmana, guru kerohanian dan atasan seperti ayah dan ibu, dan kebersihan, kesederhanaan, berpantang hubungan suami isteri dan tidak melakukan kekerasan” (Bhagavad Gita 17.14).

Pemujaan kepada orang tua juga dijelaskan dalam kitab Siva purana, diuraikan dalam kisah perlombaan dewa Ganesha dan dewa Kartikeya mengelilingi bumi.

Suatu ketika, Mahadewa dan Mahadewi mendiskusikan akan menikahkan putra-putra-Nya. Dewa Ganesha dan dewa Kartikeya mengetahui hal itu, mereka pun amat bahagia. Keduanya kemudian sering bertengkar untuk menikah lebih dulu. Oleh karena hal itu, Mahadewa mengadakan perlombaan untuk mencari siapa yang berhak menikah terlebih dahulu. Ketentuannya, siapa yang sampai terlebih dulu, maka Ia akan menjadi pemenangnya. Setelah persyaratan ditentukan maka perlombaan pun dimulai.

Dewa Kumara dengan segala kesaktian dan kemampuannya terbang mengelilingi bumi, seperti yang telah ditentukan. Hal yang berbeda dilakukan dewa Ganesha. Ia melakukan ritual permandian dan mempersiapkan Singgasana untuk kedua orang tuanya. Ia mempersilahkan orang tuanya untuk duduk di Singgasana yang telah disediakan. Mahadewa dan Parvati menerima pemujaan dari putra-Nya. Mereka berdua dipuja dan dewa Ganesha kemudian mengelilingi kedua orang tuanya sebanyak tujuh kali. Dengan menyatukan tangan penuh hormat dan memuja kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan dan kasih sayang, secara berulang-ulang. Setelah itu dewa Ganesha meminta melangsungkan pernikahannya. Mahadewa menolaknya dan meminta dewa Ganesha untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan dewa Kumara.

Menurut dewa Ganesha, Ia telah menang, tidak hanya mengelilingi bumi satu kali tetapi telah mengelilinginya tujuh kali. Dewa Siva dan Parvati pun mempertanyakan kapan dewa Ganesha telah mengelilingi bumi yang terdiri dari tujuh benua dan samudra yang membentang dengan hutan – hutannya yang sangat luas. Dewa Ganesha pun menjawabnya.

Ganesha berkata:

“Dengan memuja Anda, Parvati dan Siva, maka aku telah mengelilingi bumi yang terbentang luas dengan samudranya” (Siva Purana, Rudra Samitha, Kumara Khanda XIX.37).

“Ia yang memuja dan memutari orang tuanya, akan mendapatkan pahala sama seperti mengelilingi seluruh bumi. Sedangkan ia yang meninggalkan orang tuanya di rumah dan kemudian melakukan perjalanan suci ke tempat suci akan melakukan dosa pembunuhan” (Siva Purana, Rudra Samitha, Kumara Khanda XIX.39-40).

“Tempat suci bagi seorang anak adalah kaki Padma orang tuanya. Sedangkan tempat suci lainnya bisa dijangkau dengan melakukan perjalanan jauh. Tempat suci ini begitu dekat, dengan mudah bisa dicapai dengan sebuah alat yang berupa kebajikan. Untuk seorang anak dan istri, tempat suci yang paling bertuah adalah rumah itu sendiri” (Siva Purana, Rudra Samitha, Kumara Khanda XIX.41-42).

Dengan alasan itu, maka Ganesha dinyatakan sebagai pemenangnya, Ia dinikah dengan Siddhi dan Budhi putri dari Prajapati Visvarupa. Siddhi melahirkan Ksema, dan Buddhi melahirkan Labha.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa ‘Sungkeman’ berasal dari tradisi Veda, meski dalam praktek di Bali dalam bentuk sembah. Namun, dalam Tradisi India adalah bersujud di kaki orang tua. Demikian juga halnya ketika pamitan atau pun baru pulang ke rumah, seorang anak memberi hormat kepada orang tua dengan menyentuh kakinya (perhatikan juga film Mahabharata ketika para Pandawa menyentuh kaki ibunya, dewi Kunti).

Tradisi ‘Sungkeman’ ternyata masih melekat dalam budaya Jawa, dan anehnya masyarakat Hindu menganggap tradisi ini berasal dari ajaran Islam, padahal dalam pandangan kaum intelektual Islam bahwa tradisi Sungkeman dianggap bidah (bertentangan dengan hukum Islam), meski beberapa orang Islam berpandangan bahwa sungkeman sesuai dengan hadist riwayat, namun tradisi Sungkeman tidak dikenal dalam tradisi masyarakat dimana agama Islam berasal (?).

Catatan: Kisah perlombaan mengelilingi bumi, diceritakan kembali dari isi Siva Purana, bukan berdasarkan film Mahadewa, yang agak berbeda sedikit, karena film Mahadewa diambil dari berbagai sumber kitab purana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun