Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan Anak, menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Selanjutnya ayat (2) menyebutkan, ”Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Undang-Undang Perlindungan Anak ini juga bisa menjerat seseorang yang pacaran kebablasan. Misalnya seorang lelaki pacaran dengan gadis di bawah umur, saling mencintai, suka sama suka, lalu melakukan hubungan seksual. Jika seorang lelaki ketahuan pacaran hingga pernah bersetubuh dengan gadis di bawah umur, berusia di bawah 18 tahun, maka lelaki dapat dipidanakan oleh pihak terkait yang merasa dirugikan, terutama oleh orang tua.
Demikian juga halnya apabila seorang gadis di bawah umur merasa dirugikan oleh sang pacar (setelah berhubungan seks), maka dapat melaporkan sang pacar kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum. Dengan kata lain, lelaki yang telah diajak berhubungan seks dapat dipidanakan, meski berhubungan seks atas dasar suka sama suka.
Korban (dalam hal ini sang gadis) akan dijaga kerahasiaannya, terlebih bila diminta korban. Pasal 17 ayat (2) menyebutkan “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. Korban juga berhak mendapat bantuan hukum dari negara (dalam hal ini lembaga perlindungan anak), pasal 18 UU Perlindungan Anak berbunyi, “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Umumnya, anak di bawah umur merasa takut melaporkan pelecehan/kekerasan seksual yang dialaminya, karena merasa sulit mencari bukti. Sebenarnya, pembuktian dapat dilakukan dengan ‘visum’. Visum dapat dilakukan setelah ada keterangan dari pihak kepolisian, visum tidak dapat dilakukan sebelum ada keterangan dari pihak berwajib.
Demikian ulasan singkat saya atas keprihatinan pernikahan dini, pernikahan diluar ketentuan hukum. Kekurangan dan kesalahannya, mohon masukan dan kritikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H