Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahaya Mengabaikan Nasehat Teman

16 November 2014   18:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_335750" align="aligncenter" width="514" caption="Kura-Kura Terjatuh (SakuraKidz)"][/caption]

Pada era post modern seperti saat ini, kehidupan bermasyarakat semakin mengarah pada kehidupan ‘Individualisme’, kehidupan yang mengedepankan kepentingan pribadi, mementingkan diri sendiri. “Seorang individualis akan melanjutkan percapaian dan kehendak pribadi. Mereka menentang intervensi dari masyarakat, negara dan setiap badan atau kelompok atas pilihan pribadi mereka” (Wikipedia).

Pemikiran individualisme bertentangan dengan teori (pemikiran) Aristoteles yang menganggap manusia sebagai ‘Zoon politicon’, mahkluk yang berpolitik, mahkluk sosial. “Dalam pendapat ini, Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain” (Wikipedia).

Seiring kemajuan jaman, sikap individualisme semakin meningkat. Sikap seperti itu disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya faktor dalam diri yaitu sifat ego, merasa mampu hidup sendiri dengan kekayaan yang dimiliki. Asalkan memiliki uang, apapun bisa dilakukan, sehingga merasa dirinya mampu membayar orang untuk melakukan apa yang diinginkan, tak lagi mempedulikan keberadaan orang lain.

Pemikiran-pemikiran invidualisme sering kali muncul dikalangan orang kaya. Akan hal ini, terdapat sebuah kisah di dalam Panca Tantra, buku pertama tentang ‘Perselisihan di Antara Sahabat[1].

“Persahabatan kokoh telah terjadi di hutan, antara singa dan banteng, namun persahabatan itu dihancurkan oleh srigala yang jahat dan tamak.”.

Beginilah cerita ini berlangsung.

Di kota Mahilaropyam, India selatan, hiduplah seorang anak pedagang yang kaya raya. Namanya Vardamanaka. Suatu malam, ketika ia berbaring di tempat tidur, pikirannya amat terganggu. Apa yang sedang ia pikirkan? “Apabila seseorang memiliki banyak uang, maka akan lebih baik baginya untuk selalu berusaha mengumpulkan uang lebih banyak lagi,” begitulah pikirnya. Ada serentetan kalimat yang selalu melekat dalam benaknya:

Tidak ada sesuatu dalam hidup ini yang tidak bisa dicapai dengan uang. Dan orang bijaksana semestinya cenderung menambah kekayaannya. Jika seseorang mempunyai uang, ia mempunyai teman. Apabila ia mempunyai uang ia diakui keluarganya. Di dunia ini orang asing pun menjadi sanak keluarga bila memiliki uang. Sedangkan orang miskin akan dijauhi bahkan oleh sanak keluarganya sendiri. Seseorang yang memiliki uang dianggap seorang sarjana. Uang membuat orang yang sudah tua menjadi muda. Namun orang muda menjadi tua karena menginginkan uang. (Panca Tantra, Buku Pertama, hal 4).

Sikap invidualisme sering memunculkan penolakan-penolakan atas anjuran-anjran atau nasehat orang lain. Sering kali kita mendengar ungkapan, “Urus saja diri sendiri, ngapain urus orang lain?” Pernyataan yang serupa seperti itu acap kali membuat orang lain takut untuk memberikan nasehat pada temannya, meski agama mengajarkan kepada kita untuk saling mengingatkan. Dalam ajaran yang lebih halus kita mengenal konsep ‘Saling asah, saling asih, saling asuh’. Seorang teman yang sejati tak akan pernah malu untuk memberi nasehat temannya, sepanjang dianggapnya untuk kebaikan temannya.

Umumnya, orang yang ego, yang mementingkan diri sendiri, cenderung mengabaikan nasehat baik dari sahabat baiknya. Sikap seperti itu, menurut ajaran agama dianggap sebagai sikap orang bodoh, tidak bijaksana. Akan hal ini, dalam Panca Tantra terdapat sebuah kisah tentang ‘Kura-Kura Jatuh dari Sebuah Ranting[2]’:

Di sebuah danau, hiduplah seekor kura-kura, bernama Kambugriva. Dia mempunyai sahabat karib yakni dua ekor angsa bernama Sakata dan Vikata.

Setip hari, mereka bertiga pergi ke pinggir danau. Mereka acapkali berbincang-bincang tentang kehidupan orang-orang suci dan pertapa. Mereka pulang ketika matahari sudah terbenam.

Beberapa tahun kemudian, di kawasan danau tersebut tidak pernah turun hujan. Musim kemarau ternyata sangat panjang, sehingga kawasan itu menjadi kering. Daun pepohonan menjadi cepat menguning dan berguguran. Begitu pula air danau sedikit demi sedikit menyurut.

Kedua angsa itu menjadi kawatir akan bahaya yang akan mengancam. “Danau ini akan kering dan yang tinggal hanya lumpur. Kami merasa cemas. Karena bagaimana mungkin kita akan bisa hidup di sini tanpa air.”

Teman-temanku,” jawab kura-kura itu. “Memang benar sekali bahwa kita tidak mungkin bisa hidup layak di sini bila tanpa air. Tapi kita tak usah cemas dan putus asa. Sebagaimana dikatakan:

Meskipun dalam keadaan buruk, seseorang tidak boleh kehilangan harapan, karena dengan berusaha, orang itu pasti dapat menemukan pemecahannya.

Jadi, pertama-tama carilah sebuah danau yang penuh dengan air. Kemudian carilah sebuah tongkat kuat atau seutas tali di mana saja. Aku akan memegang kuat-kuat pertengahan tongkat itu dengan mulutku dan kedua ujung ranting itu kalian yang memegangnya dan terbangkanlah aku dengan cara ini ke danau baru itu.”

“Temanku,” jawab angsa itu, “Kami akan bertindak sesuai dengan arahanmu. Tetapi selama dalam penerbangan, sama sekali engkau tidak boleh berbicara.”

Kedua angsa dan kura-kura itu kemudian mengadakan persiapan. Setelah mendapatkan sebuah ranting, mereka memulai mengadakan penerbangan. Sesudah terbang beberapa saat, kura-kura melihat sebuah kota di bawah. Penduduk kota melihat sesuatu yang ganjil di angkasa. Tentu saja mereka gempar sekaligus kagum melihat benda yang melintas di angkasa.

Seorang penduduk berkata, “Lihatlah itu! burung itu sedang menerbangkan sebuah benda bulat yang ajaib.”

Ketika mendengar suara yang gaduh itu, kura-kura hendak bertanya “Suara gaduh apa itu semua?” tentu saja, begitu dia membuka mulut untuk berbicara, jatuhlah dia ke bumi. Maka penduduk kota segera mencincang tubuhnya. Kura-kura itu akhirnya menjadi santapan penduduk.

“Begitulah, ” lanjut burung rawa-rawa betina mengakhiri ceritanya. Makanya dengarlah ini:

Orang yang menolak nasehat teman yang ingin membuatnya selamat, akan menderita, seperti kura-kura bodoh yang jatuh dari sebuah tongkat. Dan, orang yang mengambil tindakan baik sebelum maupun ketika masalah itu terjadi, akan selamat. Tetapi orang yang hanya bergantung kepada nasib akan hancur, seperti Yadbhavishya dibinasakan oleh para nelayan.”

“Bagaimana ceritanya?” tanya burung rawa-rawa jantan itu. Dan istrinya menceritakan.

Kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk selalu memecahkan masalah bersama, dengan persatuan kita menjadi kuat. Akan tetapi hendaknya kita tidak boleh mengabaikan nasehat-nasehat baik dari seorang teman baik.

Dalam buku ‘Candapinggala’ yang merupakan saduran dari Tantri Kamandaka, ceritanya sedikit berbeda. Kura-kura terjatuh saat marah akibat dikatakan seonggokan tahi yang menggantung oleh sekawanan Srigala. Dan kura-kura pun menjadi santapan Srigala.

Banyak kita temui kisah serupa yang mengajarkan kepada kita untuk tidak mengabaikan nasehat seorang teman baik. Misalnya kisah Tinggi (titih) dengan Tuma yang menggigit raja saat tertidur, dibunuh oleh anak buah raja akibat Titih tak sabar untuk menghisap darah raja, meski sebelumnya Tuma telah menasehati agar Tinggi tidak menghisap darah raja sebelum raja tertidur pulas..

[1] [Kisah ini merupakan awal kisah tentang persahabatan Nandaka, Sapi jantan dengan raja hutan, Singa. Kisah dongeng yang mendongeng ini di Bali dikenal dengan kisah Ni Tantri, namun sedikit berbeda dengan aslinya (Panca Tantra), dan di Jawa dikenal kisah Tantri Kamandaka, fabel India rasa Indonesia. Selain Panca Tantra, di India dikenal pula Hitopadesha yang tak jauh isinya dengan Panca Tantra].

[2] Kisah ini juga ditemukan dalam relief candi mendut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun