Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Air Mata di Hari Valentine (17+)

12 Februari 2015   05:09 Diperbarui: 20 Agustus 2015   21:01 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

[caption id="attachment_350675" align="aligncenter" width="546" caption="Setangkai Bunga Mawar, Bukti Cintaku Hanya Untukmu /koleksi pribadi"][/caption]

Cinta Yang Agung

Adalah ketika kamu menitikkan air mata

Dan masih peduli terhadapnya

Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu

Dan kamu masih menunggunya dengan setia.

(Kahlil Gibran)

------

Sofa di kamar empuk sekali, dua gadis manis duduk termangu. Dua pasang mata menatapku, matanya bersinar bagai samudra memantulkan cahaya sang Surya. Tanpa sepengetahuanku, kedua gadis itu menyelusup masuk ke lorong pintu agak gelap. Aku mendekatinya, yang lebih dewasa pergi menjauh, meringsek menuju pintu belakang. Sedangkan gadis yang lebih muda, kulitnya putih mulus mendekatiku dengan senyum manisnya. Gadis berbaju singlet itu menyentuh jemariku, lalu menarik tanganku. Pinggangku yang agak ramping dipeluknya dengan mesra. Payudaranya yang montok menyentuh dadaku, terasa hangat. Gairah bangkit, nafas tak beraturan. Perlahan wajah kami saling berdekatan, mulut bertemu mulut, gadis abg itu melumat bibirku.

Ya Tuhan, kenapa aku mimpi seperti itu, apa yang akan terjadi padaku? Duuh Hyang Widhi, semoga tidak terjadi yang tak diinginkan.

Terbangun dari mimpi, aku tersadar sedang tidur di dalam mobil, menunggu ibu belanja di pasar. Firasatku, sesuatu tak menyenangkan akan terjadi. Hati gelisah dibuatnya, kawatir bila hal buruk menimpaku. Aku ingin buang sial dengan potong kuku jari tangan dan kuku kaki sesuai titah agama, tetapi aku tak jadi melakukannya, aku anggap ini hanya bunga tidur pagi bermendung. Meski sudah sering terbukti, mimpi indah bersama wanita, dalam kenyataannya adalah kebalikannya, terlebih melihat bagian terlarang barang wanita.

Jarum jam tersudut menunjukan pukul 08:30, masih lama menunggu ibu. Tadi tertidur setelah cuci mata, mencari penyejuk hati kesepian, tiada henti mata tertuju pada gadis-gadis daun muda jalan kaki, pergi sekolah, sedap dipandang mata. Curi pandang sambil lalu menjelajahi negeri maya, membaca berita terupdate via mobile.

Terlintas dalam benakku, wajah cantik pujaan hati. Jangan-jangan bidadariku menolak kado Valentine yang aku titipkan pada teman sekolahnya. Tak apa bila itu terjadi, aku sudah siap dengan resiko, kirim kado teruntuk si doi yang pernah menolak cintaku. Hal lucu bagi orang lain, tetapi tidak bagi cowok Kumbha, cowok Aqurius sepertiku. Tak ada kata menyerah untuk meraih hati si dia, mengejarnya mati-matian. Tak akan berhenti berjuang sebelum rintangan terberat menghadang, hingga meradang. Sang Ayu Widya Pujayanti nama gadis ABG yang baru mekar itu. Ia berulang kali mencampakkanku, mungkin ia belum mengerti apa itu cinta yang sebenarnya.

Jam tiga sore baru pulang dari Singaraja, perjalanan lintas tiga kabupaten. Sang Ayu Widya Pujayanti tak terlihat di rumahnya. Barangkali sedang les di sekolahnya. Pikiranku mencoba menerka-nerka, semoga kado titipanku sudah diterima. Kado special hari kasih sayang, valentine day. Tinggi harapanku bisa membuatnya tersenyum, meski kecil harapan itu. Aku positif thinking, berharap semuanya baik-baik saja, diterima dengan senyuman, karena senyumnya adalah bahagiaku.

***

 

Apa maksud kamu? sudah sampai segitunya tante ngomong sama kamu, tetapi kamu tak bisa diajak baik-baik. Kalau anakku cinta sama kamu biar sekarang menikah. Sampai di rumah tadi dia menangis, sedih. Menangis karena kamu mempermalukannya dengan mengirimi surat cinta dan kado valentine apa namanya tuh.

Menurut tante, anakku belum sepenuhnya mencintaimu, apa sebabnya demikian? kalau dia sayang, masak dia menyampaikannya pada orang tuanya? apa perlu suamiku mengembalikan surat kamu? jikalau sudah saling mencintai, silahkan menikah! Lagian banyak yang menikah pada usia muda. Kamu harus sadar, kalau anakku masih SMP!.

Coba berkaca pada diri, jika adikmu yang masih sekolah diperlakukan seperti itu, bagaimana perasaanmu? sudah sampai segitunya tante minta sama kamu, tetapi masih saja nekat. Waktu ini, tante dan suamiku sudah jaga perasaan untuk menghindari masalah ini. Kalau tak diambil surat itu besok, tante sama omm yang datang ke rumahmu.

Sedang asyik facebookan di negeri maya, aku kaget, ada sms dari ibunya. Tanganku gemeteran membaca sms itu. Tubuhku terasa lunglai, sedih bercampur takut. Aku mencoba memahami smsnya. Ada getar yang berbeda ditimbulkan sms itu, tubuhku menggigil. Aku menarik nafas panjang, lalu mendesah mengelus dada. Tak disangka begini jadinya.

Beberapa minggu sebelumnya, menjelang malam ibunya pernah menelponku untuk datang ke rumahnya. Tak menyangka, ternyata urusan cinta, cinta antara aku dengan anak gadisnya. Tante itu melarangku untuk mendekati anak gadisnya. Menurutnya anaknya masih kecil, belum layak untuk dicintai. Mendengar nasehatnya aku sadar, aku salah, akan tetapi aku tulus menyayanginya. Rasanya air mataku ingin berlabuh ke tepian, menyapa rindu pada pujaan hati. Hampir aku menangis dihadapan ibunya. Sungguh aku tak mengerti dengan rasa sayang yang aku milikki, kenapa aku mencintai gadis SMP? cintaku tulus sebening embun, dalam sedalam lautan. Tak mau dilihat hendak menangis, aku memalingkan pandangan ke gelapan malam. Aku pun pergi dari rumahnya. Namun kali ini, sms yang dijadikan komunikasi.

“Tidak perlu tante.. biarlah besok aku sendiri mengambil surat itu” balasku kawatir, jantungku berdebar-debar menunggu balasan.

“Memalukan diri sendiri jadinya kalau begitu caramu. Kalau sudah saling mencintai, tante tak akan melarangnya. Sepertinya Wi belum bisa mencintaimu”

“Tidak penting Wi itu sayang atau tidak sama saya, yang terpenting dia mengijinkan aku menyayanginya, itu saja cukup. Mungkin menurut tante caraku salah, tetapi bagi saya, tidak. Saya menyayangi Wi bukan ingin mengajaknya menikah. Tante, saya tahu batasan usia menikah, saya belajar hukum kok tante..”

Merasa terpojok, tertekan, sedih, seakan aku selalu salah. Tak menyangka berani mengutarakan isi hatiku sejujurnya. Aku pasrah, resah, gelisah. Terbayang-bayang bagaimana jadinya jika kedua orang tuanya datang ke rumahku, menakutkan!

“Jahattttt….” aku titip pesan singkat, aku kirim sms untuk Sang Ayu. Sebelumnya, aku sudah menasehatinya supaya tak memberitahu ibunya, kalau aku hadir kembali dalam hidupnya.

“Ahh Biarin, habis tak bisa diberitahu sama ibu..”

“Sampaikan dah kesana-kemari, Wi! biar semua tahu. Kakak tidak takut, sudah terlanjur basah. Nyawa pun kakak berani pertaruhkan”

“Terserah!! EGP…”

“Ini balasan kamu terhadap rasa sayang kakak? Kakak sumpahin, suatu saat kamu akan menderita karena cinta. Ingat itu baik-baik! tak sampai lima tahun ke depan, Wi akan merasakan sumpahku. Saat itu terjadi, kamu akan ingat denganku, kecuali kamu mati”

“Ya.. gak apa-apa, aku lagi tiga tahun sudah mati”

“Biar Wi tahu, sampai dua hari nyiapin kado untukmu, tetapi dengan mudahnya kau campakkan. Kau tak tahu diri, sombong! Biar kamu tahu juga, uang yang dipakai itu, uang tabungan sendiri. Mentang-mentang kamu merasa kaya, seenaknya mencampakkan pemberian lelaki yang mencintaimu setulus hati”

Membaca sms dia dan sms ibunya, tak terasa bulir-bulir air mata membasuh pipi, berlinang terpecik bagaikan rintik air hujan, menyibak kebisuan malam. Rasa lapar seketika hilang, meski hari telah malam. Bulan purnama bersinar terang, berteman embusan angin ribut, menggoyang pepohonan, berlenggak-lenggok, berjoged di kegelapan malam. Hatiku buram, seburam langit berkabut, ditutupi abu vulkanik gunung meletus.

“Aku gak pernah minta apa-apa, sudah tahu aku takan menerimanya, kenapa berikan aku sesuatu?”

“Cinta tulus datang tanpa diminta, demikian pula pemberian. Memberi bukan karena diminta. Suatu saat Wi akan tahu apa arti cinta tulus. Kakak mohon, jaga apa yang kakak berikan. Cukuplah Wi hancurkan perasaanku. Kakak rela jika Wi menghinaku, tetapi kakak mohon jangan hina pemberian kakak”

Hatiku lebih hancur, berkeping-keping, tak terpatri bila symbol kasih sayang dicampakkan, dihinakan. Aku masih terima jika dia menghinaku, aku masih bisa menjadikan hinaan sebagai lelucon. Akan tetapi aku tak terima jika symbol cinta, pemberian itu dicampakkan. Aku mencoba membangun prinsip, mencintai pemberian seperti mencintai dirinya, pujaan hati. Ketika pemberian dihinakan, seiring perjalanan waktu, akan berakibat buruk kemudian. Barangkali karma setimpal akan menimpanya, dihina oleh orang lain, orang yang disayangi.

“Makasih Wi, sudah mau balas sms kakak. Tahu gak? tadi kakak smsan sambil menangis, sekarang sudah gak, kakak bahagia kamu mau balas sms kakak. Tapi kakak menangis baca sms ibumu”

Kadang aku heran, jika dia sudah mau balas sms aku, hati terasa tenang, damai, bahagia. Sekalipun sms-nya marah-marah, caci maki, tetapi aku tetap senang bacanya, bahkan tertawa. Entahlah, aku mencintai semua tentangnya. Aku mencintai kekurangannya sekaligus kelebihannya.

Hingga larut malam, mata tak jua terpejam, tiada kantuk, perut terasa kenyang walau dari tadi sore tak mendapat asupan sesuap nasi. Aku termangu dalam kegelapan malam, menyesal menyumpahi pujaan hati, sumpah serapah itu semoga tidak menimpa tambatan hati. Aku tak rela bila suatu saat dia menderita karena cinta sepertiku.

Tuhan.. maafkan daku! jadikan dia orang yang bahagia, aku tak ingin melihatnya bersedih hati, bahagianya adalah bahagiaku juga. Deritaku bukanlah deritanya, tetapi deritanya adalah sedihku juga. Tuhanku, ijinkan aku mencintainya. Disini aku selalu merindukannya.

Suara jangkrik berdecik, angin berhembus kencang, gerimis bertaburan. Aku melirik foto copyan surat cinta yang aku kirim. Mengungkap asa yang terpendam, tertuang dalam secarik kertas, kegalauan hati tiada teredam. Hingga larut malam tak mampu memejamkan mata, tubuhku meriang, batuk-batuk menyerang.

Hari berganti..

Seperti janji aku kemarin pada ibunya, aku datang ke rumahnya, meski aku sakit batuk-batuk dan tubuh panas dingin. Aku datang menjelang malam, aku sudah siap dengan segala resiko. Aku datang tak bawa kendaraan, jalan kaki, tubuh terasa terguncang ketika kaki menginjak halaman rumahnya, terlihat sepi.

Tak aku sadari, ternyata ibunya berada di dapur di depan rumahnya. Ibunya menyapaku, dan memanggil Sang Ayu untuk mengambilkan kado dan surat cinta yang aku berikan. Ibunya sibuk membersihkan perabotan. Aku hanya merunduk lesu, mencoba melawan tangis dalam hati.

Sang Ayu terlihat membuka pintu, lalu ia menggeletakkan kado valentine pemberianku. Betapa aku malu dihadapkan pada kenyataan seperti ini. Bagaimana mungkin aku dihina seperti ini?

Ibunya memintaku mengambil kado itu, untuk dibawa pulang. Air mataku tak terbendung, mengalir membasuh pipi, aku tak tahan dengan penghinaan ini. Aku menutupi wajahku dengan baju jaket, menyembunyikan tangis lelaki yang telah mereka hina, dihina orang yang aku sayang, yang aku dambakan. Hati getir, tubuh lunglai, aku mengambil kado itu.

“Makasih tante..” ujarku sendu mendayu, aku berlari pergi dari rumahnya. Aku melemparkannya ke seberang jalan. Mungkin mereka melihatnya.

Sampai di rumah, aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, memeluk bantal, menangis menjerit seperti anak ayam kehilangan iduknya, bulir bening air mata kembali membasuh pipi.

Tuhan, kenapa aku diperlakukan seperti ini oleh orang yang aku sayang, apa dosaku? aku merasa terhina dengan sikap Sang Ayu dan ibunya. Tetapi entah kenapa, sikapnya itu belum bisa membuatku benci padanya.

 

***

Keluarga Sang Ayu sedang pesta pora, dalam rangka upacara tiga bulanan anaknya, adik Sang Ayu. Aku tak peduli dengan acara mereka, meski warga masyarakat berdatangan kesana, ikut meramaikan. Di dekat rumahnya, diadakan judi sambung ayam. Tokoh-tokoh judi dari berbagai desa diundang.

“Ada intel..” bisik seorang penjudi. Salah satu tokoh judi menyapa intelijen yang menyamar sebagai masyarakat biasa. Para penjudi mendadak panik berhamburan, pergi berlarian, tak mau ditangkap polisi. Ada yang melompati sengkedan, ada yang menabrak motor diparkir hingga sepeda motor berjatuhan bertumpuk-tumpuk. Hanya beberapa orang yang berani diam di tempat judi ‘tajen’ itu.

Polisi yang berjumlah 7 orang, mengamankan barang bukti dengan membawa beberapa ayam jago, kurungan ayam, taji, menangkap penyelenggara judi tajen ini. Ayah Sang Ayu ditahan, digelandang ke kantor polisi.

Mendengar cerita omku, om dari ibu, aku kaget, sedih. Seharusnya aku senang, bahagia bisa menyaksikan penderitaan Sang Ayu dan ibunya. Tiga hari yang lalu, dengan entengnya menghina lelaki yang menyayangi anaknya. Kadang aku berpikir, mencampakkan pemberian seseorang bisa berakibat buruk dikemudian hari, meski pemberiannya tak berharga dimata seseorang, tetapi berharga dimata sang pemberi. Aku sering melihat fakta seperti itu.

Setelah penangkapan ayah Sang Ayu, dari dalam rumahnya, aku sering mendengar tangisan ibunya, tangisannya membuat iba orang yang mendengarkan, menggugah rasa, memilukan hati. Setiap aku lewat di rumahnya, Sang Ayu selalu terlihat murung, tak ada kecerian yang muncul dari raut wajahnya. Kesedihannya menambah kesedihanku. Bagaimana pun juga, aku tak bisa melihat keluarganya hancur dalam waktu singkat. Ditangkap dan dalam tahanan polisi, dianggap memalukan di mata masyarakat.

Sudah dua minggu berlalu, aku tak sempat menjenguk ayahnya. Ingin rasanya menjenguknya tetapi tak kesampaian, hanya doa yang bisa aku titipkan, agar Sang Ayu, ibunya, ayahnya, tabah menghadapi getirnya kenyataan hidup yang tak terduga.

Meski sudah berkali-kali dihina orang yang aku sayangi, ketika penderitan menimpa keluarganya, tiada dendam yang muncul dalan pikiranku. Aku menasehati Sang Ayu via sms, agar tabah menghadapi cobaan. Aku minta maaf belum sempat bisa jenguk ayahnya di tahanan.

Saat aku sms dia, meski tak dibalas, hatiku sedih, tanpa terasa bulir-bulir air mata menetes. Aku merasakan penderitaan yang dihadapi keluarga Sang Ayu. Sejak mencintai Sang Ayu, aku merasa semakin cengeng. Aku akui, soal cinta aku mudah meneteskan air mata, dan mudah iba melihat orang yang aku sayangi menderita, meski dia tak peduli dengan kebahagianku.

Ayah Sang Ayu belum juga disidang, namun minggu ketiga dilakukan penangguhan. Ayahnya bisa menghirup udara segar selama penangguhan.

Hari pertama pulang dari tahanan, aku disuruh datang ke rumah dia sama ibuku, aku menolak. Kakak dan ibuku sudah kesana, baik semasih di tahanan maupun setelah pulang dari tahanan. Hanya aku dan ayahku yang belum sempat menjenguknya. Ibu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku, Sang Ayu, dan ibunya. Andai ibu tahu penghinaan itu, mungkin ibu tak berani menyuruhku datang ke rumahnya.

Perhatian ibuku pada keluarga sang Ayu seperti perhatian pada keluarga sendiri. Itu terjadi ketika ibuku tahu kalau aku mencintai Sang Ayu. Entah kenapa ibu merestui hubungan yang seharusnya tak terjadi, mahasiswa mencintai gadis SMP.

Penghinaan itu hanya kakakku dan iparku yang mengetahuinya. Saat aku cerita kepadanya, kakakku marah dan kecewa dengan keluarga Sang Ayu. Mentang-mentang mereka merasa kaya, seenaknya menghina adiknya yang tulus mencintai Sang Ayu.

***

 

Jarum jam tersudut menunjukan pukul delapan malam, ayahku mengajakku ke rumah Sang Ayu, aku tak berani menolak. Tak ada alasan untuk menolak ajakannya, lagi pula aku memang ingin menjenguk ayahnya, dan aku merindukan Sang Ayu. Aku ingin melihat senyumnya, melihat keceriaannya.

Aku bahagia bisa duduk dekat ayahnya di kamar tamu keluarganya, bercerita tentang apa yang telah terjadi, bagaimana perlakuan polisi selama di tahanan. Semua diceritakan. Tiada cerita yang tersisa, membuat sedih mereka yang mendengarnya.

Sesekali mataku tertuju pada Sang Ayu, pujaan hati terlihat semakin kurus. Dia tak berani menatapku. Hanya sesekali memandangku. Ketika ayahku sedang berbicara dengan ayah sang Ayu, diam-diam aku memperhatikan tambatan hati, dia terlihat bahagia. Tak sengaja pandangan mata bertemu, saling pandang, dia tersenyum. Aku bahagia melihat keceriaannya telah kembali.

----Mungkin ini takdirku, tak bisa bersamamu. Akan coba bertahan, meski perih ku rasa, tulus hatiku tak berbalas. Jalan kita telah berbeda, semua telah menjadi nyata. Ku pasrahkan semua, agar engkau bahagia. Ku kan tetap cinta, dan selalu menunggu. (Tetap Cinta; Langlang Buana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun