Mohon tunggu...
mertamerdeka
mertamerdeka Mohon Tunggu... Buruh - jalan(g)raya

Aku mengawini puisi dengan luka juga Amor Fati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menenun Hujan

17 Oktober 2023   04:24 Diperbarui: 17 Oktober 2023   04:34 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain keberanian, tertawa juga bisa  menular. Selain hujan, yang bisa menutupi air mata yang mengalir deras di pipi, apakah diam bisa menjadi perenungan paling dalam diantara sunyi ?. Maret 2015 adalah puncak, dimana rindu akan lahir meski tanpa seorang ayah, tanpa nama, tanpa sambutan dan tanpa pelukan. Jika luka adalah tempat rindu beranak pinak apakah kita siap untuk terluka sepanjang hari,

"Bertahan sampai kapan, kopi menjadi alat untuk kita orang-orang, bisa bercakap satu sama lain, disela-sela kesibukan mereka", kau memberanikan diri untuk membuka percakapan. "Hahaha, sebagai seorang Militer, kau masih mahir untuk berpuitis ia, aku kira, kebiasaan itu akan hilang darimu, semenjak kau mendapati sumpah". "Aku  tetap menyempatkan diri untuk menulis, disela-sela kesulitanku untuk memegang sebatang pulpen dan sebuah buku, Ara". "Baguslah, aku berharap kebiasaan itu tidak pernah hilang". "Karena menulis, adalah menciptakan keabadian". (Kita ucapkan itu bersama-sama). "Hahahahahaha", (Aku dan kau tertawa kegirangan). Angin petang saat itu, sangat indah. Menjadi miniature tidak terkalahkan sebagai pelengkap senja. Sekali lagi, kita meneguk kopi yang tidak lama lagi habis oleh keserakahan kata-kata.

Kota yang menjadi pundak keluh kesah akan diriku dan sekaligus saksi bagaimana rindu yang terus aku lahirkan , yang sedang diguyur hujan, sepanjang jalan, orang -- orang berkendara roda dua, menepi di sela -- sela halte dan di bawah pohon rindang. Diantara merekalah aku menunggu sosok dirimu.

Sore itu, sore itu, Han. Kau menjemputku dengan roda dua kesayanganmu, tanpa ada pemberitahuan, kau menggandeng tanganku untuk mengisi lahan kosong ditempat duduk belakangmu. Sore itu, Han. Angin menuntun kita pada cakrawala, kita sama -- sama memandangi senja. Saling mendengarkan dalam diam, diantara riak ombak, kita menanam sunyi. Sore itu, Han. Kita berdua menjadi manusia bodoh dengan menahan tertawa.  

Angin dimana lagi yang kau peluk malam ini Han ?, berani jatuh cinta, haruspun berani kecewa, itulah pepatah orang dewasa yang sering aku dengar. Jika malam ini, ditengah deras hujan kau datang memenuhi undangan yang aku tulis melalui pesan singkat telegrammu. Aku merasa puas dengan segala konsekuensi keberanianku.

Lihatlah Han, apa yang aku temukan di antara keramaian orang-orang berlarian karena takut basah dan kedinginan. Padahal hujan, bisa meyembunyikan kesedihan, padahal dingin bisa menyejukan perasaan. Jam di layar handphone menunjukan pukul delapan malam. Orang -- orang yang bosan menunggu reda, memilih menembus badai. Tapi aku, bertahan. Semenjak aku melukis puisi di punggungmu, Han. Aku terbiasa menunggu, menunggu rindu yang tidak pernah kau jemput karena terbakar waktu. Bahkan, menunggu selama enam tahun lamanya, agar aku bisa memberanikan diri untuk bisa menyerahkan rindu yang terus lahir didalam tubuhku.

Sekali lagi, aku melintasi ingatan perihal, menerima. Karena, jika aku berani untuk jatuh hati, aku harus menerima masa lalu dan jawaban masa depan seseorang yang aku cintai. Aku menerima, melihat dia mencintai seseorang, aku menerima, butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menyampaikan segala bentuk perasaan.

Malam semakin dingin Han, bukan gelap yang aku khawatirkan, tapi ketidakhadiranmu yang aku cemaskan. Satu puntung rokok yang aku punya, mengisyaratkan bahwa aku duduk sendirian di sebuah halte, tempat yang aku janjikan. Hujan tidak juga reda Han, ponselku berdering, aku senang itu pesan darimu. "w dalam perjalanan".

Tidak pernah terpikirkan olehku, bahwa menyayangi bisa melahirkan kecewa dan luka. Menerima bagian dari bersenggama dengan luka. Kau datang di hadapanku, aku deg -- degan. Perasaan apa ini Tuhan.

Kita duduk berdampingan, hujan tetap turun. Menyembunyikan rasa gemetarku akan kehadiranmu. Jalanan mulai sepi, tapi lampu -- lampu jalan semakin terang. Entah karena langit semakin gelap, atau memang Dinas Tata Kota sudah menggantinya dengan yang baru.

Semua yang aku utarakan yang kau utarakan, telah berlayar menembus hujan dan keramaian Kota. Semua yang aku dengar yang kau dengar, telah berlayar menembus sunyi dan angin malam. Semua yang kita diamkan tanpa kata -- kata telah disaksikan oleh halte di Kota perjuangan. Semua cukup untuk direlakan, karena pengharapan memiliki tempatnya masing -- masing. Begitupun, harapanku tentang kita, yang sempat aku ingin perjuangkan. Merelakan harapan untuk memilih tempatnya sendiri.

Ini akan mudah, Ara. Begitu kata hati kecilku. Yah, ini akan mudah!, bolehkah aku memelukmu untuk pertama dan terakhir, Han ?.

Rintik hujan yang sendu, sepi kota yang nelangsa. Aku kira, luka dan kecewa butuh dewasa.

Semoga kau sehat dan bahagia, Han. Terimakasih. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun