Sagu. Siapa tak kenal? Sagu selalu identik dengan Papua. Dulunya, sagu merupakan makanan pokok, sumber karbohidrat, sebagian besar masyarakat pesisir Papua. Sagu dapat diolah menjadi beragam jenis makanan, sebut saja sagu bakar, sinole, dan tentu saja yang paling favorit: papeda!
Belakangan, pengembangan lahan persawahan untuk padi di Papua membuat eksistensi sagu sebagai makanan pokok tergeser oleh beras. Di lain sisi, hutan sagu justru tergerus oleh arus pembangunan. Pengembangan sawah plus pasokan dari luar membuat beras dengan cepat mendominasi pasar ketimbang sagu, juga ubi-ubian sebagai makanan pokok.
Tetapi, keadaan itu tak lantas membuat sagu kehilangan pamor. Penggemar makanan berbahan sagu juga tak berkurang, tidak hanya masyarakat asli Papua, namun juga oleh para migran. Barangkali itu yang membuat para petani sagu memelihara semangatnya. Itu pula yang yang membuat kita masih mudah menemukan sagu di pasar-pasar tradisional. Dan… jangan kaget, sekarang, ketika berbelanja di supermarket, Anda kemudian menemukan sagu dalam kemasan berbentuk tepung.
Salah satu merek tepung sagu yang berhasil menembus pasar modern di Kota Jayapura adalah Tepung Sagu Meteo. Meteo merupakan kreasi dari seorang mama Papua bernama Marice Waromi, yang akrab di sapa Mama Ice.
Beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan mengunjungi pabrik pengolahan tepung sagu milik Mama Ice di bilangan Kotaraja, Kota Jayapura, Papua.
Menurut Mama Ice, tidak gampang memulai usahanya itu hingga sekarang bisa menembus pasar modern. Katanya, ia mulai menggeluti pengolahan tepung sagu sejak tahun 2015. Ketika itu, permintaan masih sangat minim, namun Mama Ice tak patah arang.
Ia terus saja menjalankan usaha sambil berusaha memperbaiki kualitas produknya. Seperti uji laboratorium untuk memperoleh izin resmi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
“Uji lab pertama menyatakan, kandungan airnya masih banyak,” ungkap Mama Ice, awal bulan ini kepada penulis.
Oleh BPOM, Mama Ice diberitahu jika tepungnya terlalu banyak mengandung air, dalam jangka waktu tertentu, akan menimbulkan bakteri yang dapat memicu kanker bagi yang mengonsumsinya.
Setelah kegagalan itu, perempuan usia 51 tahun ini terus berupaya berbenah, dan hasilnya pada uji laboratorium kedua, produknya dinyatakan layak konsumsi.
Tetapi bukan itu saja tantangan yang dihadapi Mama Ice dalam enam tahun terakhir. Pada dasarnya, ia tak punya keahlian khusus membuat tepung, apalagi berbahan sagu. Ia belajar otodidak, berbekal sedikit uang sebagai modal awal. Semuanya dikerjakan manual, sagu dijemur lalu diayak menggunakan kawat has.
“Ribet, kita jemur, terus beberapa kali tapis baru menghasilkan tepung, tapi itu pun hasilnya kasar.”
“Lalu kami gunakan lagi tapisan yang dari toko, biasanya untuk kelapa, tiga kali tapis, hasilnya belum maksimal. Baru bisa untuk bahan papeda, ongol-ongol, atau pudding. Sementara untuk cake, tidak bisa, kuenya tidak mengembang,” tutur Mama Ice.
Ketika itu, produksi tepungya baru dijual di pasar-pasar tradisional. Tahun 2017, berbekal izin dari BPOM, Mama Ice memberanikan diri untuk menawarkan produknya ke salah satu toko besar di Kota Jayapura. Tidak langsung diterima, manajemen toko mengajukan beberapa syarat, seperti standar ukuran kemasan, berikut harus kedap udara. Syarat itu dipenuhi Mama Ice. Supaya terlihat elegan, Mama Ice mencetak kemasan berikut stiker sendiri, dilengkapi tanggal kadaluarsanya. Dan tepung sagu merek Meteo pun mulai dikenal, dapat ditemukan di toko-toko.
“Syukurnya kami diterima di sana dan proses pembayarannya juga bagus sekali, per dua minggu, begitu pun di toko lain, tidak ada masalah,” aku Mama Ice.
Dibantu empat pekerja yang bertugas untuk penjemuran dan produksi, dalam sebulan, Mama Ice sanggup menyiapkan 500 bungkus tepung yang satunya seberat 900 gram. Per bungkus dibandrol seharga 20 ribu rupiah.
Untuk memproduksi 500 bungkus tepung, Mama Ice membutuhkan 10 karung sagu mentah. Sagu mentah itu ia peroleh dari petani di Genyem, Kabupaten Jayapura.
“Kami sudah punya langganan di sana,” ujarnya.
Lalu, dari mana ide untuk membuat usaha ini? Rupanya, Mama Ice dulunya suka mengikuti pelatihan yang digelar dinas perindustrian, sekitar tiga tahunan. Bukan pelatihan pengolahan sagu, justru Mama Ice dan rekan-rekan dijejali dengan peluang bisnis besar-besaran oleh pemateri yang didatangkan dari Jakarta.
Tetapi, buat Mama Ice, bisnis yang dipresentasikan itu ibarat menjangkau bulan, terlalu muluk.
Dari situ, Mama Ice mulai melirik komoditi lokal. Sempat pula ia berniat menjadi pengepul pinang, lalu mengekspornya.
“Saya berpikir, apakah saya ekspor pinang, karena itu kan banyak di Papua. Pinang ini kan mereka buat untuk kosmetik, kopi, jamu.”
Di tengah tuntutan ekonomi yang kian mendesak, Mama Ice mengurungkan niat itu, sebelum memutuskan berpindah ke sagu.
“Saya tidak mau ilmu yang saya pelajari tiga tahun itu sia-sia, kemudian melihat sagu, mengapa saya tidak coba?,” kisahnya.
Awalnya, Mama Ice belajar di sebuah kelompok, ia bertugas di bagian pemasaran. Kemudian ia bertekat untuk memulai usaha sendiri, dengan begitu, Mama Ice menangani produksi hingga distribusi dan pemasarannya sendiri.
“Saya coba dengan modal awal satu juta untuk beli sagu, sudah termasuk kayu dan seng untuk jemuran. Kembalinya, saya dapat modal Rp. 1.500.000.”
Memperkaya ilmu, ia juga pergi belajar ke salah satu pengusaha, Mama Suebu, yang telah lama menggeluti bisnis sagu.
“Sebagai orang baru, saya merasa perlu belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman, jadi sering ke tempat Mama Suebu di Sentani untuk diskusi terkait tepung sagu. Beliau ini cukup lama lebih dulu berkecimpung di dunia sagu,” tutur mantan karyawan Pertamina ini.
Dari mana nama “Meteo” berasal? Menurutnya, dalam bahasa masyarakat Ambai, Serui, Meteo secara harafiah berarti “kau bilang apa?”.
“Bapak datang langsung ke tempat saya di Dok 5, melihat rumah penjemuran sagu yang apa adanya, akhirnya beliau membantu dengan rumah sungkup.”
Tahun ini juga, beberapa kelompok sudah datang belajar di tempat Mama Ice sebut saja Lemasko (Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro) dari Timika, juga Boven Digoel. Ada pula mahasiswa dari Universitas Cenderawasih Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mereka belajar proses produksi hingga pemasaran.
“Masuk ke Vanimo, di sana supermarketnya kan besar, itu target saya,” ujarnya optimis.
Tak lupa, ia dan krunya bersiap menyambut perhelatan olahraga terbesar di Indonesia, Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021, Oktober mendatang. Ia berupaya meningkatkan jumlah produksi agar dapat memenuhi kebutuhan ole-ole bagi tamu yang datang ke Papua. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H