KREATIVITAS : TANTANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
“There is no doubt that creativity is the most important human resource of all. Without creativity, there would be no progress, and we would be forever repeating the same patterns”
(Edward de Bono)
Kreativitas begitu penting dalam hidup manusia. Tanpa kreativitas kita akan larut dan tergilas roda perubahan zaman. Tanpa kreativitas kita tidak akan mampu bertahan menghadapi perubahan yang semakin cepat. Pada dasarnya, kita semua kreatif. Selama manusia bisa berpikir dengan baik, maka dia kreatif. Namun, tidak semua orang berhasil mengaktualisasikan potensi kemampuan kreatif yang ada dalam diri. Begtu juga di tingkat negara, tidak semua negara mampu menunjukkan kemampuan kreatif yang optimal. Apakah yang membuat suatu negara menjadi negara kreatif?
Menurut Martin Prosperity Institute dalam Global Creativity Indeks atau GCI ada 3 hal yang membuat negara disebut sebagai negara kreatif yakni bakat, teknologi, dan toleransi. Global Creativity Indeks atau GCI adalah pengukuran berbasis pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan berdasarkan 3T yakni Talent, Technology and Tolerance. Penilaian Talent dapat dievaluasi dengan menggabungkan persentase orang dewasa yang memiliki gelar tinggi dan persentase angkatan kerja yang memiliki pekerjaan di industry kreatif. Penilaian Technology didasarkan pada tingkat investasi dalam penelitian dan pengembangan ditambah berapa banyak aplikasi paten per kapita masing masing negara . Penilaian Tolerance berdasarkan bagaimana masing-masing negara memperlakukan imigran, keragaman ras dan etnis minoritas dan berapa banyak warga LGBT berada di masing-masing negara.
Kreativitas global, yang diukur dengan GCI, berhubungan erat dengan ekonomi pembangunan, daya saing, dan kesejahteraan bangsa. Negara-negara yang mempunyai nilai tinggi pada GCI memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi (diukur sebagai output ekonomi per orang), daya saing, kewirausahaan, dan pembangunan manusia secara keseluruhan. Kreativitas juga berhubungan erat dengan urbanisasi, dimana negara-negara yang lebih urban mencetak kreativitas lebih tinggi.
Berdasarkan Global Creativity Indeks tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 115 dari 139 negara. Dengan nilai GCI 0.202. Dengan Peringkat Technology 67, Talent 118, dan Tolerance 115.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih rendah. Dari segi teknologi, Indonesia masih kurang dalam hal perkembangan penilitian dan pengembangan suatu teknologi begitu pula sedikit aplikasi yang dipatenkan. Sedangkan dari segi talent, Indonesia sangat rendah karena kurangnya orang yang memiliki gelar yang tinggi serta orang yang bekerja pada industri kreatif. Begitu juga dengan nilai toleransi di Indonesia walaupun Indonesia memiliki ragam etnis dan budaya namun toleransi antar umat beragama masih kurang, masih banyak pelecahan agama bahkan saling menyerang satu sama lain yang akhirnya berakhir bentrok bahkan menelan korban jiwa. Dengan adanya GCI mendorong suatu negara untuk terus saling berlomba meningkatkan kreativitas negara dalam Talent, Technology dan Tolerance sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi pemicu rendahnya indeks GCI Indonesia? Bagaimana solusi pendidikan kita agar peringkat GCI bisa naik minimal terkoreksi? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan mengingat kreativitas dan inovasi merupakan kunci, daya saing, dan kemajuan sebuah bangsa.
Rendahnya indeks GCI mengisyaratkan ada yang keliru dalam proses pendidikan kita. Semua pakar pendidikan sepakat pendidikan idealnya tidak sekadar transfer pengetahuan dari guru ke anak didik. Lebih dari itu, pendidikan mestinya menginspirasi sehingga memunculkan kreativitas dan inovasi anak didik. Sayangnya, alih-alih menginspirasi, mendorong, bahkan menciptakan iklim yang membidani lahirnya kreativitas, pendidikan kita justru menyumbat rapat.
Kurikulum kita sibuk mengurusi capaian-capaian portofolio dan lebih mementingkan pengetahuan (kognitif). Kurikulum 2013, meski sedikit menggeser orientasi belajar ke arah proses, tetap tidak menyentuh apalagi mengembangkan kreativitas dan inovasi. Kurikulum itu ternyata berdampak pada cara mengajar guru. Karena dituntut menuntaskan hasil belajar, guru pun menjadi mekanistis; ambil jadi, apa adanya dan miskin ide-ide yang menggugah imajinasi anak didik. Dapat dibayangkan kreativitas anak Indonesia manakala mereka tidak mendapatkan ruang gerak melahirkan ide kreatif baik di sekolah maupun lingkungan sosial. Ketika sistem pendidikan kita memangkas dan memacetkan kreativitas, bangsa ini menjadi sekumpulan manusia yang kering; dalam imajinasi, pemahaman hidup, ide, dan kreativitasnya.
Ruang imajinasi Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara dengan GCI tertinggi, menempatkan imajinasi begitu penting. Jepang lewat Cool Japan, misalnya, sukses mengombinasikan talenta imajinasi dengan kekayaan kulturalnya sehingga selain kreativitas anak didik terpupuk dan terasah, mereka tidak tercerabut dari naungan budaya luhur lokal yang turun-temurun. Demikian juga Korea Selatan lewat Korean Wave, memberikan ruang imajinasi yang seluas-luasnya yang diawali dari ruang-ruang kelas pengajaran.
Keberhasilan sebuah pendidikan di sekolah bukan hanya dimulai dari kebijakan, pemerataan, dan sistem yang sudah terintegrasi semata melainkan juga adalah kolaborasi dari elemen-elemen penting di dalam sekolah tersebut. Kolaborasi yang dimaksud meliputi peran dan kekuatan kepala sekolah dalam menciptakan iklim sekolah yang baik, guru sebagai pendidik sekaligus pengajar yang menjadi ujung tombak terciptanya generasi muda yang berkualitas, serta siswa sebagai subjek pendidikan yang akan berperan sebagai pemimpin dan generasi penerus di masa depan (Ramdani, 2018). Salah satu aspek yang dianggap penting dan menjadi karakteristik yang sudah seharusnya ada dalam diri elemen-elemen tersebut adalah kreativitas. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, bahwa aspek kreativitas adalah aspek yang berperan tidak hanya menjadikan pendidikan itu lebih menarik, tetapi juga menjadi indikator bahwa setiap individu di dalamnya itu aktif dan mampu mengembangkan potensi terbaiknya yang kemudian ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di masa depan (Ramdani, 2018).
Pada kenyataannya aspek kreativitas ini menjadi salah satu karakteristik yang belum sepenuhnya dibangun dalam dunia pendidikan. Studi yang dilakukan terhadap mahasiswa berprestasi menunjukkan bahwa aspek ini jauh belum banyak diperhatikan oleh mahasiswa terutama di dalam aktivitas akademik mereka (Ramdani & Fahmi, 2014). Tidak hanya pada siswa, rendahnya karakteristik dari kreativitas ini juga terjadi pada guru yang mengajar di sekolah yang ditunjukkan dengan skor paling rendah pada skala Values in Action Inventory Scales (VIA-IS) dibandingkan karakteristik lainnya seperti keterbukaan pikiran dan kecintaan terhadap belajar (Ramdani, 2018).
Oleh karena itu, pengembangan kreativitas dalam dunia pendidikan (pembelajaran kreatif, sekolah kreatif, guru kreatif, pimpinan sekolah kreatif, dan murid kreatif serta lingkungan yang kondusif terhadap penumbuhan kreatifitas) penting mengingat dunia pendidikan kita masih dihadapkan kepada persoalan mendasar, misalnya pemerataan mutu hasil pembelajaran, mutu pembelajaran, akses pendidikan bermutu bagi seluruh warga bangsa, kompetensi guru, dan sumber pendidikan serta keadaan geografis. Kemampuan mengubah persoalan atau keterbatasan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat kelas (pembelajaran) pada satuan pendidikan akan menjadi energi dan pendorong bagi pengembangan potensi kreatif (aktual) di kalangan masyarakat sekolah dan merupakan bagian penting dalam menyiapkan warga bangsa menghadapi tantangan global.
Dalam upaya menjawab tantangan permasalahan kreativitas bangsa harus melalui pendekatan secara makro dan mikro. Selain itu tentunya permasalahan kreativitas bangsa tidak bisa diselesaikan oleh salah satu elemen bangsa saja. Melainkan seluruh elemen bangsa harus berkontribusi agar kreativitas bangsa dapat tercapai. Secara malro, salah satu model yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan kreativitas bangsa adalah konsep Quadruple Helix.
Konsep Quadruple Helix merupakan pengembangan konsep triple helix dengan mengintegrasikan peran akademisi, pengusaha, pemerintah dan masyarakat (civil society) ke dalam aktivitas kreatifitas dan pengetahuan (Oscar, 2010).. Carayannis dan Campbell (2009) menyatakan pentingnya kebijakan dan praktik pemerintah, universitas dan industri serta masyarakat saling berinteraksi secara cerdas, efektif dan efisien. Dewi (2009) menjelaskan bahwa dukungan kerja sama dan interaksi antara akademisi (universitas), pebisnis, pemerintah dan masyarakat merupakan penggerak lahirnya kreativitas, ide, dan pengetahuan. Ditegaskan oleh Etzkowitz (2008) bahwa konsep triple helix yang disempurnakan menjadi Quadruple Helix akan dapat melahirkan kreativitas baru, ide dan ketrampilan serta pengetahuan baru.
Penelitian tentang pengaruh dukungan pemerintah, universitas dalam transfer kreativitas telah dilakukan oleh Xiaobo (2013), Ranga & Etzkowitz (2013) juga menjelaskan kreativitas lahir melalui keterlibatan intelektual (university), business, masyarakat dan pemerintah yang memberikan regulasi yang mendukung terciptanya atmosfer tumbuhnya perilaku kreatif dan inovatif pada pelaku usaha. Peran universitas sebagai pendukung tumbuhnya kreativitas sangat memegang peran penting (Etzkowitz, 2008) karena akademisi memainkan peran penting dalam pengembangan kreativitas dan inovasi dan melakukan transfer pengetahuan kepada pelaku bisnis dalam industri kreatif. Perubahan sosial tidak bisa dilakukan sendirian. Mengubah keadaaan harus dilakukan bersama-sama dengan banyak pihak. Hanya kolaborasi yang memungkinkan suatu masyarakat untuk dapat terus maju dan berkembang.
Model kerjasama antar banyak pihak salah satunya adalah Penta-Helix. Kolaborasi dalam konsep Penta-Helix merupakan kegiatan kerjasama antar bidang dan pihak dari Academic, Business, Community, Government, dan Media atau dikenal sebagai ABCGM. Model kerjasama Penta-Helix tersebut bertujuan untuk melakukan optimasi peran dari unsur Akademisi, Bisnis, Komunitas, Pemerintah, dan Media sebagai pendorong perubahan sosial termasuk kreativitas masyarakat yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Akademisi
Akademisi dapat berperan sebagai konseptor. Seperti misalnya melakukan penelitian dengan tujuan untuk membantu mengembangkan kreativitas baik anak didik maupun masyarakat luas. Dalam hal ini, akademisi merupakan sumber pengetahuan dari pengembangan kreativitas mencakup konsep-konsep, teori-teori, dan model-model pengembangan terbaru serta relevan dengan kondisi dan peluang yang ada.
Bisnis
Bisnis atau juga dapat disebut sebagai sektor swasta pada konteks pengembangan kreativitas ini dapat berperan sebagai enabler atau pengaktif. Sektor swasta merupakan entitas yang melakukan proses bisnis dalam menciptakan nilai tambah dan mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, sektor swasta dapat berperan sebagai enabler di dalam membantu anak didik untuk mewujudkan potensi kreatif yang dimiliki.
Komunitas
Pada konteks pengembangan kreativitas, komunitas dapat berperan sebagai akselerator. Dalam hal ini komunitas merupakan orang-orang yang memiliki minat yang sama dan relevan dengan pengembangan kreativitas yang akan dikembangkan. Bertindak sebagai perantara atau menjadi penghubung antar pemangku kepentingan untuk membantu masyarakat dalam keseluruhan proses pengembangan kreativitas dan memperlancar prosesnya. Selain itu, komunitas juga memiliki peran untuk mempromosikan hasil kreativitas berupa produk atau layanan yang diproduksi oleh anak didik maupun masayarakat.
Pemerintah
Pemerintah dalam konteks pengembangan kreativitas harus berperan sebagai regulator sekaligus kontroler yang memiliki peraturan dan tanggung jawab dalam pengembangan kreativitas tersebut. Dalam hal ini, peran pemerintah melibatkan semua jenis kegiatan seperti perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian, pengembangan dan pengetahuan, kebijakan publik, dan kemitraan antara sektor publik dengan swasta. Pemerintah juga memiliki peran sebagai koordinator bagi para pemangku kepentingan yang berkontribusi pada pengembangan kreativitas yang ingin dicapai.
Media
Media dalam konteks pengembangan kreativitas juga menjadi penting karena perannya sebagai expender. Media berperan dalam mendukung publikasi dalam promosi hasil kreativitas berupa produk dan layanan yang dihasilkan oleh anak didik maupun masyarakat. Sehingga orang lain dapat lebih mudah untuk mengakses informasi tentang pengembangan kreativitas yang sedang dilakukan oleh masyarakat. Kemudahan akses informasi itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendukung bagi datangnya para kolaborator baru yang bisa mendukung pengembangan kreativitas yang sedang dilakukan.
Sementara secara mikro, ada beberapa hal yang diperlukan untuk menumbuhkan kreativitas anak didik yaitu:
Menciptakan Iklim Kreatif
Guru adalah determinan dalam menentukan iklim belajar. Guru harus menciptakan oase-oase dalam kelas yang dapat melindungi peserta didik dari tekanan yang muncul dalam kehidupan kesehariaan (Best Thomas 2008). Penciptaan iklim atau atmosfir kreatif dimaksudkan untuk menghadirkan suasana yang merangsang munculnya kreativitas semenjak proses menjadi dari awal yakni bentuk yang paling sederhana dan fasilitasi yang terus menerus dalam penumbuhan kreatifitas hingga berkembang dan mencapai puncak kreativitas yakni karya kreatif yang memiliki nilai dan kegunaan untuk orang banyak.
Proses kreatif akan muncul pada saat seseorang berada dalam suasana (perasaan) aman, nyaman dan senang untuk menyampaikan pemikiran, mengajukan pertanyaan atau mempertanyakan sesuatu serta mengekspresikan gagasan-gagasan kreatifnya. Sebaliknya proses kreatif akan sulit berkembang apabila individu merasa tidak nyaman apalagi merasa sangat terancam atau tertekan. Untuk itu sikap, prilaku dan tindakan orang-orang yang ada sekeliling membuat individu merasa tidak aman, tidak nyaman, diabaikan, tidak dihargai, tertekan dan direndahkan perlu dihindarkan. Suasana yang kondusif sebagaimana dimaksud sejatinya dilahirkan dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Suasana yang kondusif tersebut dapat dihadirkan melalui optimalisasi fungsi dari tiga unsur utama, yaitu guru sebagai teladan kreatif (creative role model), lingkungan fisik dan lingkungan non fisik.
Guru Sebagai Teladan Kreatif (Role Model: The Creative Teacher)
Guru adalah kunci keberhasilan pendidikan. Paulo Freire (Kincheloe 2008) terobsesi dengan pendidikan yang membebaskan jiwa manusia dari segala bentuk tekanan, kekangan apalagi “penjajahan”. Orang-orang yang terbebaskan jiwanya akan dapat mentransformasi dirinya menjadi insan kreatif. Untuk itu, guru handal dapat dilihat dari keilmuaan dan komitmen terhadap pemartaban warga masyarakat sebagai praksis dari konsep pendidikan sangat diperlukan.
Dalam kaitan ini guru dituntut dapat berperan sebagai teladan kreatif (creative role model) yang mengembangkan sikap dan prilaku diri dan sejawatnya yang mendorong terbentuknya suasana kondusif bagi pengembangan kreativitas anak didik. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara keteladan kreatif dalam bentuk sikap atau berfikir kreatif (berfikir divergent) yang muncul dari sosok guru atau (mereka secara formal menyadarinya atau tidak disengaja) dengan tampilan berfikir divergent di hadapan peserta didiknya. Begitu halnya, peserta didik yang memiliki kemampuan berfikir divergent tinggi akan memiliki prestasi sangat baik dalam pembelajaran.
Hal ini juga mempunyai hubungan dengan guru yang memiliki kemampuan berfikir divergent tinggi, kendati keduanya—guru dan peserta didik— mungkin tidak begitu engeh dengan metoda atau pendekatan apa yang diterapkan untuk mendorong kemampuan berfikir divergent mereka (anak-anak didik) berkembang. Para guru yang memiliki kemampuan berfikir divergent tinggi dapat mendorong dilahirkan dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Suasana yang kondusif tersebut dapat dihadirkan melalui optimalisasi fungsi dari tiga unsur utama, yaitu guru sebagai teladan kreatif (creative role model), lingkungan fisik dan lingkungan non fisik.
Lingkungan Fisik (Physiological State)
Lingkungan fisik meliputi lingkungan fisik sekolah dan luar sekolah. Ruang/infrastruktur di lingkungan sekolah ditata menjadi lingkungan yang dapat menstimulasi siswa menjadi kreatif. Lingkungan fisik akan menstimulasi kelima indera anak didik yang menumbuhkan sikap rasa ingin tahu tinggi (curious), berpikir kritis, berpikir kreatif bahkan juga berkreasi dalam luar sekolah, misalnya taman, gedung, lapangan, rumah, fasilitas publik, play-ground, infrastruktur dan sejenisnya, ditata menjadi lingkungan yang membuat peserta didik berinteraksi. Lingkungan luar sekolah menstimulasi kelima indera anak didik melahirkan sikap atau prilaku rasa ingin tahu yang tinggi (curious), berpikir kritis, berpikir kreatif bahkan juga berkreasi dalam segala bentuk/ konten (isi/materi).
Lingkungan Non-Fisik (Psychological State)
Lingkungan yang kondusif akan menjadi enerji untuk memunculkan kreatifitas. Kreatifitas dalam kelas atau pembelajaran membutuhkan tidak hanya pengetahuan dan kemampuan guru dan peserta didik, juga lingkungan kelas yang dapat mengembangkan percaya diri dan keberanain. Para guru dapat memanfaatkan pengaruhnya untuk menciptakan suasana yang dapat melahirkan belajar kreatif. Untuk mewujudkan pembelajaran kreatif diperlukan kemampuan melahirkan gagasan dan kondisi emosional dan motivasional. Kondisi ini termasuk keinginan individu untuk memfungsikan diri secara kreatif. Lebih jauh lagi kreafitas memerlukan suatu lingkungan yang memberikan kebebasan kepada individu mengekspresikan ide, responsive terhadap gagasan baru yang memungkinkan anak didik dapat mengevaluasi secara bebas dari rasa ketakutan, ditolak atu dimaki. Untuk itu, guru dapat membantu menyingkirkan segala hambatan yang menghalangi kreatifitas muncul atau tumbuh yaitu membangun suatu suasana atau lingkungan yang memungkinkan anak didik dapat mengekspresikan idea atau fikirannya secara bebas (Crowley 1997; Best and Thomas 2008). Lingkungan non-fisik tersebut meliputi berbagai kondisi sebagai berikut: Kondisi intrapersonal yang mendukung pewujudan berfikir kreatif dikembangkan ketika guru membantu anak didik memahami kemampuan berfikir divergent dan percaya diri, kendati ada gerakan kontra pengembangan kreatifitas. Kondisi emosional untuk memunculkan kreatifitas perlu dikembangkan atau ditingkatkan ketika guru mendorong anak didiknya menyadari dan menghargai perasaan anak didik. Pada waktu bersamaan, motivational climate yang mendukung tumbuhnya berfikir divergent ditumbuhkan ketika kecemasan menurun dan perasaan merasa terancam mulai tersisih. Salah satu caranya adalah meningkatkan keadaan interpersonal yang mendukung daya berfikir kritis tumbuh. Misalnya, guru mendorong anak didik yang kreatif menyajikan gagasan yang relevan dengan tujuan orang lain. Pada waktu bersamaan, anak didik dibimbing untuk dapat mengekspresikan kritik terhadap ide orang lain dengan cara yang konstruktif dan positif. Guru tidak hanya membantu kelompok anak didik yang kreatif juga membantu orang tua mereka memahami bahwa anak-anak mereka berbeda dibanding dengan anak-anak lain (kreatif). Guru hendaknya memainkan peran untuk mengatasi faktor-faktor yang akan mengahalangi lahirnya kemampuan berfikir divergent dengan (a) mengeleminasi sanksi negative terhadap fihak yang melawan fikiran divergen; (b) mengurangi perasaan khawatir “betul atau tidak betul” ide, karya dan tindak individu; (c) mengatasi perasaan putus atas dan rasa teralinasi (atau tidak mempunyai arti=meaningless) di kalangan mereka yang memiliki kemampun berfikir divergent yang tinggi; (d) mencegah ejekan atau cercaan dari kelompok; (e) mengurangi kesalahfahaman dan rasa putus asa dengan orangtua. Iklim atau lingkungan non fisik yang mendukung kreatifitas tidak hanya memerlukan eliminasi unsur-unsur negative atau penghalang terhadap muncul atau berkembangnya kreatifitas, juga menghadirkan faktor-faktor positif, misalnya (a) sensitif terhadap perasaan dirinya; (b) menaruh perhatian terhadap pengalaman sensori; (c) terbuka terhadap gagasan baru; dan (d) menghargai gagasan baru atau gagasan aneh (Cropley 1997).
Pengajaran dan Pembelajaran Kreatifitas (Teaching and Learning Creativity)
Pembentukan perilaku kreatif termasuk berpikir kreatif membutuhkan suasana/iklim yang mendukung. Fasilitas diawali dengan pemikiran tentang software berupa perancangan modul kurikulum, tujuannya, sasaran yang akan dicapai, metode dan teknik melaksanakannya dan evaluasi pelaksanaan modul tersebut. Selain itu untuk mewujudkannya dalam aktivitas operasionalnya dibutuhkan hardware, berupa sarana pendukung fisik dan non-fisik. Sasaran dari pengajaran dan pembelajaran kreatif adalah melakukan perubahan (transformasi) terhadap sikap pasif ke bersikap, berfikir dan dan bertindak kreatif. Peserta didik diharapkan dapat mencapai perubahan sikap imelalui proses pembelajaran yang tepat, baik dalam materi, pendekatan dan metoda pembelajaran. Sikap seorang kreatif dicirikan dengan sejumlah karakter, misalnya rasa ingin tahu yang kuat untuk memperoleh jawaban akan segala hal yang diamati dan dipikirkannya, sikappdan dan pandangan terbuka ke segala fenomena yang diamati (open minded), tekun, motivasi intrinsik yang kuat dan memiliki daya tahan (endurance) untuk terus berpikir sampai mencapai hasil pemikiran misalnya berupa gagasan atau produk nyata. Juga pesera didik memiliki karakter fleksibel dalam pengertian lincah berpikir dari satu dimensi ke dimensi pemikiran lainnya, lancar dan mudah menghasilkan ide yang mengalir, menggunakan cara berpikir lateral atau divergen. Sikap kreatif merupakan proses mental yang dapat menghasilkan suatu karya kreatif atau inovatif yang bermanfaat dalam wujud benda atau non benda dengan syarat bahwa ada fasilitas lingkungan yang tersedia untuk penciptaan itu. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran siswa agar menjadi bermental kreatif, mereka perlu diarahkan untuk selalu mengasah proses mental tersebut dan diberikan pula kesempatan dan fasilitas untuk tumbuh kembangnya daya kreatifitas itu. Proses pembentukan ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan tergantung pada operasionalisai konsep kreatif dan kontek kemampuan yang ingin dicapai. Beberapa definisi yang digunakan adalah: terciptanya ide baru yang orisinil (adakalanya definisi tersebut dianggap rancu. Misalnya apakah ide yang diperoleh dari hasil modifikasi dari apa yang sudah ada sebelumnya dapat dikatakan orisinil/asli atau kreatif), suatu karya baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, kombinasi ulang (recombination) dari karya karya lain sebelumnya, dan lain sebagainya. Perbedaan pengertian ini membawa konsekuensi pada metode dan teknik yang berbeda dalam pembelajarannya. Metode dan teknik pembelajaran ini harus mempertimbangkan cara penyampaian/pemberian yang membentuk proses mental kreatif. Sebagai suatu contoh metode yang memfasilitasi terbentuknya proses kreatif melalui apa yang disebut Prinsip Kerja Kreatif. Prinsip kerja kreatif dicirikan dengan, misalnya, mengamati proses pembelajaran yang terjadi secara total antara olah raga-olah pikir-olah rasa-olah hati; terjadi secara acak dengan perjalanan mulai dari ide/gagasan – kemudian proses- sampai hasil akhir; menggunakan logika, rasa, imajinasi, intuisi; proses pernyataan (konkritisasi) dari pergumulan yang bersifat abstrak menjadi sebuah berbentuk; relatif (bahkan subyektif) sudut pandang atau perspektifnya. Kerja kreatif berorientasi pada proses yang berkesinambungan dan hasil akhir merupakan kesimpulan sementara; dan terbentuknya kesadaran baru merupakan hal yang sangat penting. Pendekatan lain misalnya metode yang disebut cooperative-holistic, yang menggunakan pendekatan Neo Humanistic Education (NHE-Learning), yang mengikuti proses bertahap dimulai dari Orientasi, Eksplorasi, Partisipasi, Interaksi, Social Skill: Kepemimpinan. Apapun pendekatan yang digunakan untuk menumbuhkan sikap dan motivasi berpikir dan berprilaku kreatif, penerapan berjalan berproses atau bertahap sesuai dengan perkembangan anak didik menurut jenjangnya (PAUD, Pendidikan dasar dan Pendidikan Menengah). Arti bertahap juga dimaksudkan sebagai adanya pertimbangan pembentukan sikap yang dimulai dari pembentukan prilaku atau sikap Kreatif sampai dengan bertindak kreatif dan menghasilkan produk kreatif. Metode dan teknik pengajaran dan pembelajaran ini harus pula didukung oleh beberapa persiapan dan fasilitas agar tujuan ‘pendidikan kreatif” tercapai, seperti kondisi eksternal seperti wahana yang memicu proses kreatif, fasilitator yang dapat menggugah proses kreatif, sarana fisik dan non-fisik yang menstimulasi siswa untuk berpikir kreatif, networking atau jejaring yang memudahkan akses untuk bertindak kreatif, dukungan orang tua, dan sistem pendidikan yang memberdayakan pengajaran pembelajaran kreatif. Juga kondisi internal dalam proses mental siswa yang mencirikan adanya perasaan rileks-bebas-bermain, proses berpikir divergen.
Dalam melaksanakan upaya-upaya memecahkan masalah kreativitas dalam pendidikan Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas tentunya melalui proses yang tidak sederhana dan mudah. Proses yang dilalui dalam upaya-upaya tersebut di atas membutuhkan effort dan waktu yang banyak. Oleh karena itu, hasil yang didapat dalam memecahkan masalah kreativitas dalam pendidikan akan sangat tergantung pada proses yang dilalui.
Daftar Rujukan
Amrullah, S., Tae, L. F., Irawan, F. I., Ramdani, Z., & Prakoso, B. H. (2018). Studi Sistematik Aspek Kreativitas dalam Konteks Pendidikan. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(2), 187–200. https://doi.org/10.15575/psy.v5i2.3533
Fachruddin, F. (2019). Dunia Pendidikan dan Pengembangan Daya Kreatif. Sukma: Jurnal Pendidikan, 3(1), 57–92. https://doi.org/10.32533/03104.2019
LUBIS, M. (2020). Peran Guru Pada Era Pendidikan 4.0. EDUKA : Jurnal Pendidikan, Hukum, Dan Bisnis, 4(2), 0–5. https://doi.org/10.32493/eduka.v4i2.4264
Ramdhani, M. A. (2019). Implementasi Quad Helix Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 39, 35–42.
Risdianto, E. (2019). Analisis Pendidikan Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0. Research Gate, April(January), 1–16.
Sumiarti. (2019). Strategi Pembelajaran Kreativitas Dalam Pnedidikan. Educreative: Jurnal Pendidikan Kreativitas Anak, 4(9), 175–186.
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan Yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Isu-Isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21, 2(2), 1–17.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H