Di sebuah kota kecil yang terletak di sudut Indonesia, ada seorang pria sederhana yang kesehariannya dibagi antara mengajar dan memulung. Namanya Pak Alvi, seorang guru honorer di sebuah sekolah menengah yang terletak di pinggiran kota. Meskipun sebagian orang mengenalnya sebagai seorang guru yang ramah dan penuh semangat, tidak banyak yang tahu bahwa di balik senyumnya yang tulus, pak alvi menjalani kehidupan yang sangat berat. Setelah tugasnya sebagai pengajar selesai, ia memulai perjalanan sebagai pemulung, mencari barang-barang bekas yang bisa dijual untuk menambah penghasilan.
Pak Alvi tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berbalik sedemikian rupa. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang guru, profesi yang menurutnya penuh dengan nilai luhur. "Menjadi guru adalah cara saya membalas budi kepada masyarakat dan negara," ungkap pak Alvi pada video yang viral ketika seseorang berbincang di rumahnya yang sederhana. Ia menempuh pendidikan keguruan dengan semangat yang tinggi, yakin bahwa suatu hari nanti ia akan berkontribusi besar dalam membentuk generasi penerus bangsa.
Pak Alvi memulai karier sebagai guru honorer di sebuah MTs. Namun, sayangnya, realita yang ia hadapi sangat jauh dari bayangannya. Gaji yang diterima sebagai guru honorer tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama setelah ia menikah dan memiliki dua orang anak. "Gaji saya hanya sekitar Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan, tergantung ada tambahan dari mana. Jelas itu tidak cukup untuk kebutuhan keluarga," cerita pak Alvi sambil tersenyum pahit.
Meski demikian, kecintaannya terhadap profesi ini tidak pernah luntur. Ia merasa bahwa mengajar adalah panggilan hidupnya. Baginya, pendidikan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik, dan menjadi guru adalah cara terbaik baginya untuk membantu anak-anak mencapai impian mereka. "Murid-murid saya adalah inspirasi saya setiap hari. Saya ingin mereka tumbuh menjadi orang yang lebih baik, lebih pintar, dan lebih sukses dari saya.
Namun, semangat mengajar saja tidak cukup untuk menafkahi keluarganya. Gaji kecil yang ia terima sebagai guru honorer jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Istrinya sudah meninggal 3 tahun lalu karena terkena penyakit kanker payudara, jadi sekarang pak alvi hanya tinggal dengan kedua anaknya.
Setelah mempertimbangkan berbagai pilihan, Alvi akhirnya memutuskan untuk menjadi pemulung. Keputusannya ini bukanlah sesuatu yang mudah. "Pada awalnya, saya merasa malu. Bagaimana mungkin saya, seorang guru, harus turun ke jalan dan mengais barang-barang bekas? Tapi, saya tidak punya pilihan lain. Keluarga saya butuh makan, dan saya harus melakukan apa saja yang halal untuk mencukupi kebutuhan mereka," katanya dengan nada lirih.
Setiap sore, setelah selesai mengajar, pak alvi mengambil karung besar yang selalu ia bawa. dengan karung di punggungnya, ia mulai menyusuri gang-gang kota, mengumpulkan botol plastik, kardus, dan barang-barang lain yang bisa dijual ke pengepul. Meskipun pekerjaan ini berat dan melelahkan, pak alvi melakukannya dengan sepenuh hati, selalu memikirkan keluarganya di rumah.
Meskipun bekerja keras siang dan malam, pak alvi tetap menghadapi banyak tantangan. Penghasilannya dari memulung juga tidak selalu stabil. "Kadang dalam sehari saya hanya bisa mengumpulkan sedikit, hanya cukup untuk membeli beras dan lauk seadanya. Saya mendapat 50 ribu per minggu.Tapi, saya selalu bersyukur, setidaknya saya bisa membawa pulang sesuatu untuk keluarga," ujarnya.
Selain itu, menjadi pemulung juga membawa stigma tersendiri. Beberapa orang memandang rendah pekerjaannya, bahkan kadang-kadang ia harus menahan rasa malu ketika murid-muridnya atau orang tua murid melihatnya memulung di jalan. "Pernah ada murid saya yang bertanya, 'Pak, kenapa bapak jadi pemulung?' Saya menjawab bahwa ini juga bagian dari belajar kehidupan. Bahwa dalam hidup, kita harus bekerja keras, apapun itu, asalkan halal," kenang pak alvi.
Kisah Alvi mencerminkan realita yang dihadapi banyak guru honorer di Indonesia. Mereka adalah para pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja keras untuk mencerdaskan anak bangsa, namun sering kali tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Banyak di antara mereka yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk bisa bertahan hidup, seperti yang dialami oleh pak alvi.
Meski hidup dalam keterbatasan, pak alvi tidak pernah kehilangan harapan. Ia percaya bahwa masa depan akan lebih baik, baik bagi dirinya maupun bagi anak-anak yang ia ajar. "Saya berharap suatu hari nanti, pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib guru honorer seperti saya. Gaji yang layak akan memungkinkan kami untuk fokus pada tugas mengajar, tanpa harus memikirkan cara lain untuk mencari uang," harapnya.