Mohon tunggu...
Merlin Jaina
Merlin Jaina Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Mendengar musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika, Kebenaran, dan Nalar

4 Agustus 2024   17:00 Diperbarui: 4 Agustus 2024   17:05 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Membahas tentang etika, tentang benar-salah baik-buruk dalam kehidupa manusia , tidaklah seperti ilmu alam yang berhubungan dengan fakta, sedangkan moralitas beruhubungan dengan nilai-nilai , namun ini hanya membahas tentang memiliki opini pribadi . sebagai sebuah penyelidikan intelektual, filsafat moral berakar dalam perdebatan mengenai kebenaran dan kekeliruan etika , mengenai obyektivitas ataupun sebyektivitas etika merupakan focus dari karya filsafat plato, yang memegang keyakinan bahwa terdapat perbedaan radikal antara dunia fakta dan dunia nilai, dan tidak ada lagi konsep benar-salah memiliki makna . namun, plato sendiri juga meyakini dan menyatakan bahwa terdapat jawaban benar-salah dalam persoalan mengenai baik-buruk, dan manusia dapat mengggunkan kekuatan nalar untuk menentukan jawaban tersebut. Dengan demikian, subyektivisme dan obyektivisme merupakan filosofis yang hidup, dan ini berarti bahwa jika kita membuat keputusan rasional untuk memilih salah satu di antara keduanya, kita harus bernalar membela pilihan kita dan melawan pilihan yang sebaliknya . 

Banyak orang berpikir bahwa subyektivias moralitas adalah hal yang tidak perlu didebatkan lagi , jika demikian halnya , tentulah akan sangat mudah Menyusun argument kuat guna mendukung sudut pandang kelompok subyektivis , seperti manusia meyakini opini-opini moral yang berentangan, membuktikan superioritas suatu pandangan moral atas pandangan yang lain, manusia mustahil bisa memberikan bukti karena tidak ada fakta moral yang bisa diamati . dengan demikian, subyektiviseme sebenarnya hanyalah perluasan relativisme dari level kelompok sosial menjadi level individual , namun jika perbedaan-perbedaan moral bergantung pada individu ini seolah menyatakan bahwa Ketika menyangkut soal etika maka tidak ada lagi hal yang perlu diungkap . demikianlah , kita dapat menemukan perbedaan-perbedaan tersebut , namun penampakan semacam ini bukanah realitas , bukankah fakta menujukan bahwa terdapat banyak sekali perbedaan opini moral ketimbang dalam sains ? namun hal paling penting adalah , meski ketidakpuasan moral tampak lebih nyata , sebenarnya terdapat banyak kesepaktan moral dalam masyarakat kontmporer . terkadang , para filsuf merasa tertantang untuk mematahkan klaim tersebut dan membuat bukti-bukti moral, namun ini jarang berhasil karena bukti-bukti semacam itu sangat berpotensi diperdebatkan dan lazimnya tidak cukup meyakinkan banyak orang , namun meski telah dihapakan fakta-fakta kaum subyektivisme tidak menyerah begitu saja .

Kaum subyektivis terkadang disebut sebagai, dalam istilah yang lebih teknis, non-kognitivisme, yang berarti bukan pengetahuan! Apa yang dianggap sebagian orang sebagai kebenaran, terkadang dianggap sebagai kekeliruan oleh sebagian yang lain, dan tentu saja kedua pihak tersebut akan mengutarakan ketidaksepakatan moral seolah hal itu adalah perdebatan faktual, bagaimanakah hal yang sebenarnya. Tiga aspek keanehan yang lazim disebutkan, 1. Properti- properti seperti cahaya dan kegelapan, serta baik dan buruk dan sebagainya, 2. Seperti diutarakan gilbert harman, properti+property moral, sangat berbeda dari properti-properti fisik , 3. Poin ini berkaitan erat dengan sebuah persoalan yang secara luas disebut sebagai kekeliruan naturalistik. Kekeliruan naturalistik ini diformulasikan oleh filsuf Cambridge abad ke -20 GE Moore dalam sebuah buku berpengaruh berjudul Principia Ethcia ( prinsip-prinsip etika) . Namun jika kekeliruan naturalistik dapat menujukan pada kita bahwa kita dapat mengambil penilaian dari fakta-fakta natural dengan piranti persepsi biasa, pengenalan fakta-fakta non natural dan intuisi hanya akan menarik seluruh persoalan tersebut kedalam misteri. 

Dalam treatise hume memberikan dua ruang lingkup tempat nalar dapat beroperasi fakta dan hubungan ide-ide. Hume juga berpikir bawah relasi antar ide selalu berbentuk analisis kebenaran, atau proposisi yang benar menurut defenisi. Dengan demikian Hume benar nalar meliputi relasi anatar ide dan sekaligus salah persoalan moral dapat dinalar, karena setidaknya beberapa prinsip moral berhubung dengan relasi antar ide. Hal yanng sama juga berlaku dalam moralitas, kaum moralis rasional harus meletakkan pandangan yang menyatakan bahwa nalar merupakan peranti untuk menjawab setiap pertanyaan moral dan kekuatan untuk menangani setiap ketidaksepakatan. 

Rasionalisme merupakan bentuk dari obyektivisme yang hanya fokus pada perdebatan filosofis kuno anatara kaum obyektivis dan subyektivis, meski lazim dijelaskan sebagai oposisi sengit, disini kita bisa membedakan tidak hanya dua posisi namun empat posisi, subyektivisme kerja, subyektivisme lembut , obyektivisme keras, dan obyektivisme lembut. Dalam filsafat, hal paling penting untuk diraih ketika melakukan penelusuran filosofis adalah mendapatkan pemahaman mendalam tentang persoalan yang kita bahas ketimbang mendapatkan jawaban . Meski para filsuf dapat memberi kontribusi pada perdebatan persoalan moral tingkat pertama seperti ini, kontribusi kontribusi tersebut baru bisa terjadi ketika kita melihat nilai-nilai yang mendasari sebuah filsafat moral. 

Sumber 

Teori-teori etika

_bandung : 2014 

@Gordon Graham 

Penerjemah dari karya Gordon Graham, Eight theories of ethics 

Cetakan I : Januari 2015

Diterbitkan oleh

Penerbit nusa media 

Po Box 137 ujungberung, Bandung 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun