Mohon tunggu...
Merlinda Rahmah Syafitri
Merlinda Rahmah Syafitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meruntuhkan Dinding-Dinding Patriarki: Menuju Kesetaraan Gender yang Inklusif dan Adil

25 April 2024   15:00 Diperbarui: 25 April 2024   15:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini kita bersama-sama merayakan Hari Kartini. Raden Ajeng Kartini, atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Kita Kartini, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Dilahirkan pada tahun 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Ibu Kita Kartini tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan tradisi patriarki. Meskipun demikian, Kartini memiliki semangat yang kuat untuk melawan norma-norma tersebut dan memperjuangkan kesetaraan gender serta pendidikan bagi perempuan.

Praktik patriarki telah ada sejak milenium kedua sebelum masehi di Babel. Menurut Gerda Lerner dalam buku The Creation of Patriarchy (1986), saat itu ada pembagian kerja di mana seksualitas perempuan sepenuhnya dikendalikan oleh pria. Patriarki juga ditemukan di Timur Dekat Kuno sekitar 3100 SM, dengan bentuk dominasi seperti pembatasan kapasitas reproduksi perempuan dan pengucilan dari proses representasi sejarah. Sebelum abad ke-19, penjelasan biologis tentang peran gender menyebut patriarki sebagai "tatanan alam," mengambil inspirasi dari ide evolusi Charles Darwin dalam bukunya "The Origin of Species" (1859).

Selama patriarki masih ada di Indonesia, pandangan kolot juga pasti ada. Di kota Indonesia yang terpencil masih banyak perempuan yang tidak punya kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan selalu ditekan untuk menjadi ibu rumah tangga saja daripada berkarir. Tentu hal ini sangat miris, perempuan terus menerus dibelenggu oleh budaya kolot yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Kita ambil contoh istri memasak, mencuci, mengepel, dan menyetrika dianggap hal biasa. Sedangkan ketika suami yang melakukan hal tersebut dianggap luar biasa. Padahal kegiatan-kegiatan seperti itu adalah hal basic dan sederhana sehingga siapapun bisa melakukan hal tersebut. Karena kodrat perempuan hanya tiga: menstruasi, melahirkan dan menyusui. Sebenernya patriarki juga bisa merugikan laki-laki, seperti hal nya suami yang mungkin lebih telaten mengurus anak serta pandai memasak akan kalah dengan laki-laki breadwinner. Dinilai dari kekayaan, dilarang lemah, harus bisa memimpin, semua itu adalah bentuk efek patriarki terhadap laki-laki.

https://baktinews.bakti.or.id/artikel/mengakhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-bagaimana-laki-laki-berperan-mewujudkan-kesetaraan
https://baktinews.bakti.or.id/artikel/mengakhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-bagaimana-laki-laki-berperan-mewujudkan-kesetaraan

Isu kesetaraan gender bukan semata hanya untuk perempuan saja tetapi semua baik laki-laki, organisasi dan institusi di Indonesia terus berkomitmen untuk tetap memperjuangkannya. Keseteraan gender adalah masalah yang nyata dan serius. Perempuan memiliki banyak sekali potensi untuk mengekspresikan minat serta bakatnya tetapi terhalang oleh ketimpangan dan kurangnya akses serta support yang menjadikan kontribusinya kurang maksimal. Kesetaraan gender adalah perjuangan kita untuk mendapatkan hak yang sama rata, selayaknya sebagai sesama manusia yang sama di mata hukum dan masyarakat untuk dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.

Oleh sebab itu, mengatasi kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat. Perempuan dan laki-laki dapat mengentaskan diskriminasi sehingga semua orang mempunyai sumber daya, kesempatan dan pengetahuan yang seimbang. Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB juga mengedepankan isu ini dan menjadi salah satu tujuan untuk menciptakan kesetaraan di segala bidang kehidupan di dalam masyarakat.

Untuk mewujudkan tercapainya tujuan kesetaraan gender ini, maka dibuat prinsip-prinsip yang mendasari yaitu konvensi mengenai penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Konvensi ini telah disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1979 dan hingga saat ini telah diratifikasi oleh 186 negara anggota PBB

Dengan demikian, setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap suara yang kita dengar, dan setiap tindakan kecil yang kita lakukan memiliki dampak yang besar dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Melalui persatuan dan kerjasama, kita dapat meruntuhkan dinding-dinding patriarki yang menghalangi kemajuan kesetaraan gender. Mari kita terus menginspirasi satu sama lain, mendukung satu sama lain, dan bersama-sama membangun dunia di mana setiap individu, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Mari sama-sama mempertahankan apa yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini demi menyongsong masa depan perempuan dan laki-laki yang setara dalam bermasyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun