Na!
Kita tak pernah bertemu dan bercengkerama lagi. Aku sesekali memperhatikanmu dalam perjalananku. Aku masih sering memikirkanmu saat terjebak dalam rutinitasku. Di mobil, di kamar, di toilet, di kantor, bahkan dalam meeting pun aku bisa menghabiskan semenit sampai dua jam ku memikirkanmu. Padahal aku lagi ngobrol sama klien. Aku bisa sedang tertawa terbahak-bahak saat itu. Atau bahkan sedang menahan sakit yang teramat sangat. Tetap masih, setidaknya sekilas aku memikirkanmu.
Tapi, Na, lucu sekali. Kau sering kulihat lewat dalam perjalananku, entah ke hutan, ke pantai atau ke tempat terpencil lainnya.
Ya, Na. Aku melihatmu menari di dalam hutan yang semakin sempit. Kau bisiki macan kumbang sehingga mereka tak tenang dan keluar ke kediaman manusia. Apa yang kau katakan kepada mereka Na? Manusia-manusia itu ketakutan, Na. Mereka saling bantai. Â
Kemarin malam tepi pantai juga gaduh karenamu. Para nyiur dengan berani tumbuh menyingkirkan pelepah tua yang ada di bawah mereka. Batang kelapa juga lebih suka berpelukan dengan nyiur muda yang berwarna kekuningan. Apa yang kau ceritakan pada nyiur-nyiur muda itu?Â
Ahh, Na, tadi pagi, setelah membakar pelepah-pelepah tua itu, ombak menghampiriku. Dia berbisik kalau saudaranya di pulau seberang melompat tinggi, demi mengejar kekasihnya. Katanya sehari sebelumnya kamu membawakan pesan dari kekasihnya itu. Raungan manusia dan tangisan orang-orang yang dilompatinya sangat ramai terdengar.
Na, kenapa tidak bercerita saja dengan ku? Tertawa dan marah saja bersamaku. Kita saja menciptakan cerita sedih kita. Boleh ya?
I miss you, Na!
Fa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H