Pertiwi hanya bisa terduduk di lorong rumah sakit. Dia bersidekap. Air matanya mengalir, bibirnya terkatup rapat. Pertiwi menangis tanpa suara.
"Kami sudah berupaya semaksimal mungkin,Bu, mohon maaf, kami tidak dapat menyelamatkan nyawa anak Ibu," tiga dokter berseragam hijau muda berbicara dengan sangat pelan. Salah satu dari mereka menggenggam tangannya dengan penuh simpatik. Jiwa Pertiwi runtuh.
Tak akan ada lagi anaknya yang bernama Krismanto. Rasanya jantungnya terhujam beribu sembilu. Sakit dan perih sekaligus. Kehilangan anak ternyata sangat menyakitkan. Pikirannya berteriak-teriak memanggil-manggil Krismanto, seperti saat dia berteriak ketika melihat anaknya itu bermain di sungai sepulang sekolah. Berharap Krismanto berpaling dan langsung berlari mendekatinya dan menurut saat diajak pulang.
Hatinya bermohon, andai bisa Pertiwi menggantikan posisi Krismanto. Biarlah Krismanto tetap hidup, biarlah Pertiwi saja yang tiada. Ah, Tuhan, Kau mengambilnya dengan cara yang sangat menyakitkan.
Sebuah tangan memeluk Pertiwi dari belakang.
"Ibu, aku akan mengurus pemakaman Krismanto. Istirahatlah, Bu, kau sudah teramat sangat lelah dan terpukul," Juang, anak tertuanya berbisik lembut. Ya, anak sulungnya ini selalu bisa diandalkan. Sudah sejak lama dia menjadi tulang punggung keluarga kecil ini.
Pelukan Juang mengembalikan Pertiwi ke dunia nyata. Memaksa Pertiwi untuk menyingkirkan kehilangannya atas kematian Krismanto.
"Jam berapa ini?" tanyanya kepada Juang.
"Hampir tengah malam, Bu," jawab Juang.
"Kau uruskan tentang Krismanto. Aku harus ke kantor polisi!" Pertiwi bergegas berdiri, membereskan kainnya yang semrawut sambil sekedarnya menyisir rambutnya dengan kelima jarinya. Juang hanya bisa menatap langkah Pertiwi, Ibunya, dengan mata berkaca-kaca.
******