Peribahasa ini, saya pribadi merasa "biasa" saat peribahasa ini diucapkan entah oleh orangtua atau handai taulan, dan malah dijadikan bercandaan dalam pergaulan sehari-hari. Sudah tidak istimewa di telinga atau mungkin sudah bebal karena dalam hati berpendapat "aaah...sudah tau kok".
Kemudian, saya mulai bertualang. Berkunjung dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia. Melihat secara langsung  keseharian dan adat-istiadat dari masyarakat yang nyata-nyata berbeda dengan daerah asal saya. Berinteraksi langsung dan merasakan sendiri keanekaragaman yang selama ini saya hanya bisa lihat dan baca melalui buku Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) atau melalui mesin pencarian dalam jaringan.
Sekarang, saya mulai merasa kalau bangsa ini sedang terancam ke"Bhineka"annya, keberagamannya. Ancaman itu sebenarnya datang dari internal bangsa ini sendiri. Dari mindset kita dan bahkan mungkin juga "program pemerataan" kesejahteraan yang sedang digalakkan oleh Pemerintah. Saya sangat setuju dengan pembangunan yang seharusnya dilakukan dari Sabang sampai Merauke. Tapi sekarang, saya mulai mempertanyakan pembangunan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan di Sabang? Lalu pembangunan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan di Merauke?
Kita tahu, faktor alam merupakan hal utama penyebab keberagaman bangsa Indonesia. Kontur alam, cuaca dan musim yang khas dari tiap provinsi itu berbeda. Manusia yang tinggal di pegunungan tentu bertahan hidup dengan cara yang berbeda dengan manusia yang tinggal di tepi pantai. Demikian juga manusia yang tinggal di tanah berrawa berbeda dengan manusia yang tinggal tanah tandus dan gersang. Karena itu muncul kearifan lokal, sebuah cara hidup, budaya, bahasa dan adat istiadat yang ditemukan oleh para pendahulu dan dianggap terbaik untuk mereka melangsungkan kehidupan yang sejahtera. Kearifan ini kemudian diturunkan turun temurun ke anak cucu sampai saat ini.
Konsep kesejahteraan dari nenek moyang kita tergambar paling jelas dari rumah adat dari masing-masing daerah. Terlihat jelas bagaimana nenek moyang kita membangun tempat tinggal yang aman untuk ditinggali dan juga nyaman berdampingan dengan keadaan alam di sekitarnya.
Rumah adat di Aceh, yang biasa disebut Rumah Krong Bade, berbentuk panggung dengan tiang yang tingginya 2,5 sampai 3 meter dari permukaan tanah. Atapnya dari bahan daun rumbia dan daun enau yang dianyam, lantainya terbuat dari bambu. Rumah ini akan hangat di malam hari dan segar di siang hari. Dan karena Provinsi Aceh terdiri dari hutan tropis dan pesisir pantai, bentuk rumah ini melindungi penghuni dari gangguan binatang buas ataupun pada saat terjadi rob.
Muncullah konsep kesejahteraan modern. Dengan sanitasi yang sangat memadai, bangunan yang kokoh terbuat dari batu bata, semen dan pasir. Atap genteng atau seng, ventilasi yang memadai, berlantaikan semen atau marmer. Siapa saja yang sudah memiliki rumah yang demikian barulah dapat dikatakan hidupnya sejahtera dan beradab.
Lalu apa yang terjadi? Para manusia Indonesia mulai berlomba-lomba mengumpulkan rupiah untuk mendapatkan rumah yang sesuai dengan konsep kesejahteraan modern tersebut. Mereka mulai berdagang, bekerja dengan digaji, melakukan apapun profesi mereka dengan tujuan membangun rumah batu yang megah.
Program pembangunan Pemerintah juga sangat mendukung penyebaran konsep ini. Sehingga saat berkunjung ke provinsi manapun di Indonesia, akan terlihat bangunan rumah batu di perkampungan kecil sampai di perkotaan. Masih tetap akan ada sentuhan daerah, tapi itu hanya sentuhan saja.