Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Manusia Indonesia di Kaki Gunung Andong

11 Juli 2017   12:01 Diperbarui: 11 Juli 2017   20:57 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"And then I realized, adventures are the best way to learn"
-- Anonymous

Salah satu keuntungan dari sering melakukan perjalanan ke alam adalah kita mengenal beberapa teman yang sama keranjingan jalan-jalan dan "ayukable". Cerita berawal dari ajakan seorang teman, sebut saja MJ, untuk menghadiri resepsi pernikahan sahabatnya di Solo pada tanggal 25 Maret 2017. "Ga ahh," jawaban yang serta merta meluncur dari bibir ini. "Resepsi" dan "Pernikahan". Dua kata yang berarti harus nyiapin baju, dandan, dan pastinya pake high heels... ditambah lagi harus jauh jauh ke Solo... Ga make sense. MJ hanya tersenyum dan mulai berhitung sembari memberi saya kesempatan untuk berpikir (maklum, suka telat).

Tadaaaaa.... Ternyata tgl 28 Maret 2017 adalah hari libur nasional, Nyepi. Langsung kontak HRD, cuti diajukan dan disetujui atasan. Jadilah long weekend dari 24 sampai dengan 28 Maret 2017.

Rencana pun disusun. Berhubung harpitnas, tiket pesawat, tiket kereta, dan tiket tiket lainnya sudah full booked, maka kami (saya, MJ dan Boy) memutuskan untuk melakukan perjalanan dengan mobil pribadi. Itinerary disepakati, dari Jakarta langsung ke Solo dan dilanjutkan dengan eksplor Magelang dan sekitarnya. Perjalanan kami rencanakan via darat dimulai dari Jakarta, dengan mengendarai mobil pribadi dan memanfaatkan jalur tol Cipali serta mengandalkan GPS demi mengurangi resiko tersesat dan mengukur waktu perjalanan.

Kami juga sudah bersiap dengan resiko melakukan perjalanan dadakan di long weekend, sehingga sudah prepare dengan tenda dan sleeping bag. Dan karena kita melintasi Pulau Jawa, kita yakin akan mendapatkan toilet dan tempat mandi yang layak di pom-pom bensin yang tersebar di Pulau Jawa. Hal yang sangat berharga kalau sedang "Living on the Street". Kami merencanakan untuk explore Magelang dan sekitarnya setelah menghadiri resepsi di Solo.

Mendekati hari H, salah satu teman perjalanan membatalkan berangkat bersama dari Jakarta, karena diharuskan mudik ke Surabaya sehari sebelum keberangkatan. Tapi dia baru akan bergabung kemudian saat eksplore Magelang. Jadilah kami berangkat berdua saja. Saya dan MJ.

Namanya long weekend pasti kakak-adek sama macet yang luar biasa. Terbukti dalam 4 (empat) jam perjalanan kami baru mencapai Tol Bekasi Timur dari Jakarta Barat. Begitulah. Liburan keluar kota saat long weekend memang sedang menjadi lifestyle di Jakarta. Tak betah rasanya berdiam di Jakarta dengan keruwetannya selagi ada kesempatan untuk berlibur. Terlihat dari ramainya mobil-mobil plat B sepanjang perjalanan kami. Dan hasilnya kami baru sampai di kota Solo pukul 12.00 WIB, tepat saat acara resepsi selesai. Yasudahlah, yang penting masih bisa foto dengan pasangan pengantin dan bertegur sapa dengan teman-teman lainnya yang sudah bersiap-siap pulang.

Kelelahan, kami memilih beristirahat di rumah Kentung, seorang teman di Boyolali. Kegagalan mengabadikan foto acara akad dan resepsi membuat MJ tidak puas hari itu. Lalu tercetuslah ide untuk berburu timelapse sunrise di Gunung Andong. Gunung yang sedang tenar di kalangan anak remaja se-Indonesia, yang katanya tidak terlalu tinggi tapi punya view yang bagus buat diabadikan. Setelah bincang-bincang dengan Kentung, kami memutuskan untuk tektok saja, alias melakukan perjalanan naik dan turun gunung dalam satu hari saja. Ketinggian 1726 mdpl, tidak terlalu tinggilah buat didaki, pertimbangan kami seperti itu.

Sore itu juga kami meluncur menuju Dusun Sawit, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Bermodalkan GPS kami melewati jalanan sepi dan lebar jalan yang pas-pasan. Lampu jalannya sedikit, berkelok-kelok dan kiri kanan jalan kebanyakan ladang dan persawahan. Sekitar pukul 7 malam, kami sampai pada ruas jalan dengan plang "Pendakian Gunung Andong". Okelah, kita sudah di jalan yang tepat. Sampai di sebuah pertigaan, saat GPS menyarankan untuk jalan terus kami dicegat sekumpulan warga yang memang terlihat mengelompok di pertigaan tersebut.

"Mau ke mana, Mas?" tanya salah satu warga. "Mau ke basecamp Andong, Pak" jawab MJ. "Ohh, lewat Sawit atau Pendem?" tanya warga lagi, entah warga yang mana karena sudah mulai banyak yang mengerubuti mobil kami saat itu. "Lewat Sawit, Pak," kali ini saya yang menjawab karena MJ sudah memandang saya dengan pandangan yang "Hadeuh, males gue yang kayak-kayak gini!". "Ohh, belok kiri mas, ngikutin jalan, trus ketemu SD belok kanan, bla...bla...bla..." seorang warga mencoba menjelaskan.

Kami hanya saling berpandangan dan agak bingung karena arah yang ditunjukkan Si Bapak tidak sesuai dengan GPS. Melihat kami yang antara yakin dan tidak yakin, Si Bapak langsung mengambil sepeda motornya dan bilang "Ayo, mas, saya anter," pungkasnya sambil langsung memimpin jalan di depan.

"Aelaaah, duit lagi dah ini!" keluh MJ yang saya setujui juga. Dalam hati mengomel sendiri, kenapa tempat yang ramai dikunjungi selalu saja menjadikan penduduk setempat menjadi komersil. Apa-apa duit, tidak bisa melihat orang bingung sedikit langsung dimanfaatkan. Ya sudahlah...sudah terlanjur sampai sini, lanjut saja.

Singkat cerita Si Bapak memandu jalan kami menuju Basecamp Sawit, dan sesampainya di Dusun Sawit, setelah melewati pos penjagaan desa, si Bapak berhenti di depan parkiran motor yang ramai, dan berbicara dengan seorang yang lebih muda. Lalu orang muda itu mendekati mobil kami dan mengarahkan posisi parkir. Dalam pikiran kami, nambah lagi nih biayanya.

"Sekalian aja tanyain penginapan, nanggung sekalian bayar," cetus MJ, yang langsung saya setujui dalam hati.

Setelah selesai parkir, saya menanyakan kemungkinan untuk penginapan untuk sewa kamar. Pemikiran saya karena kami akan mendaki subuh, sementara barang-barang kami banyak yang harus ditinggal dan membutuhkan ruangan yang dapat dikunci demi keamanan.

"Penginapan ada Mba, warga sini menyediakan gratis, paling bayar nanti buat ngopi-ngopi dan makan saja," sahut orang muda tadi sambil menunjuk ke salah satu warung yang di depannya terparkir banyak motor. Tempat penginapan gratis yang dimaksud ternyata berupa ruangan luas yang diberikan alas karpet untuk tidur beramai-ramai. Saya kekeuh minta disediakan kamar dan bersedia membayar sewa kamar, daripada gratis tapi tidak ada tempat penyimpanan barang.

Permintaan saya disampaikan ke warung tadi dan datanglah seorang ibu tergopoh memandu kami ke arah kamar yang dia pakai.

"Aduh, mba, ada kamar memang, tapi yaa belum dibersihkan, aduuh, saya malu...apa harus di kamar ya mba, jelek loh mba kamar saya, maklum orang kampung," ujar Si Ibu.

"Tidak apa-apa bu, saya butuh kamar yang terkunci dan kuncinya bisa saya bawa naik, untuk simpan barang-barang kami," jawab saya cepat.

Si Ibu mengobrol dengan beberapa orang dalam warung, lalu keluar dan menawarkan kamar saudaranya yang sedang tidak ada di desa yang langsung kami setujui. Lalu kami dipandu jalan menuju rumah yang dimaksud.

Setelah mendapat kamar "seadanya", kami baru sadar bahwa Bapak yang memandu jalan tadi telah hilang entah ke mana. Tapi karena sudah kelelahan, kami memilih berbenah barang bawaan dan mandi daripada mencari tahu tentang Si Bapak tadi.

"Mba, kalau kedinginan, mandinya pakai air panas saja, saya jerang dulu airnya," kata Si Ibu sambil menunjukkan letak kamar mandi. Berhubung saya merasa gerah dan tidak terlalu kedinginan, saya menolak halus tawaran Si Ibu.

Kamar sebelah kami terbuka dan muncullah seorang perempuan tua yang sepertinya terbangun karena kedatangan kami.

"Eh, ada tamu, mau nginap sini ya?" sambut nenek itu dengan sumringah. Kami hanya tersenyum sambil mengangguk menjawabnya. "Oh, yaa, gapapa...isirahat saja," nenek yang belakangan kami panggil Mbah, itu pun kembali masuk ke dalam kamarnya sambil tersenyum lebar kepada kami.

Setelah mandi dan memilah barang-barang yang akan kami bawa besok subuh untuk naik, kami langsung menuju pos pendakian. Karena kami akan naik pagi buta, maka kami berpikir untuk malam itu membereskan administrasi pendakian, supaya besok paginya langsung naik.

Petugas posko pendakian di Sawit terletak persis di awal jalur pendakian. Malam itu ramai sekali yang naik, mereka kebanyakan para penduduk Magelang dan sekitarnya. Namun tidak sedikit juga yang dari Jawa Barat. Rata-rata usia remaja dengan perlengkapan pendakian yang beberapa malah tidak memenuhi safety gear untuk mendaki. Tapi yasudahlah, toh petugas poskonya tidak ada komentar apa-apa, jadi kami diam saja.

Di posko pendakian kami membayarkan biaya pendaftaran pendakian sebesar Rp 46.000,-. Dengan rincian: parkir mobil Rp 20.000, administrasi pendakian untuk 2 orang Rp 26.000,. Administrasi tersebut untuk Perhutani Rp. 10.000 dan untuk penduduk Rp 3.000.

Beres urus administrasi pendakian, kami mendekati warung untuk memesan makan malam. Ternyata warung tersebut dikelola secara bersama-sama oleh keluarga Si Ibu. Beberapa wanita paruh baya tampak sibuk di dalam dapur warung memenuhi pesanan para pendaki yang numpang beristirahat dan makan di warung tersebut. Saat melihat kami Si Ibu langsung mengingatkan kami untuk kunci pintu rumah. Yang disambut dengan percakapan dalam bahasa daerah setempat oleh ibu lainnya. Kira-kira, sepemahaman saya artinya begini, Kenapa harus dikunci, biasanya juga tidak dikunci tidak apa-apa. Lalu Si Ibu menjelaskan kalau tamunya ini barangnya ada banyak, dan ngeri kalau kenapa-kenapa. Kira-kira begitu terjemahan bebas saya.

MJ kembali ke rumah untuk memastikan kunci pintu, sementara saya memesan makanan dan minuman di warung tersebut. Pada saat ditanya harga, si Ibu langsung menyahut, "Sudah mba, nanti saja, makannya di rumah saja nanti saya antar."

Sebenarnya saya ingin mendebat untuk memastikan harga makanan dan minuman kami. Tapi sudah terlalu lelah dan ingin cepat-cepat istirahat, yasudahlah. Saya iyakan saja. Kami kembali ke rumah menunggu makanan dan minuman diantarkan. Tak lama makanan dan minuman yang kami pesan diantarkan. Kami makan, minum dan langsung tidur.

Keesokannya, kami bangun tepat pukul 03.00 WIB dan langsung bersiap-siap untuk naik. Si Mbah terbangun juga, dan bertanya, "Mau munggah sekarang?"

"Iyaa, Mbah, biar dapat sunrise di atas," jawabku asal, entah Si Mbah mengerti apa itu sunrise atau tidak.

"Oalah, masih pagi sekali," kata Si Mbah sambil berjalan keluar.

Ternyata Si Mbah mengecek keadaan Gunung Andong di belakang rumahnya, lalu kembali kepada kami dan berkata, "Cerah, hati-hati yaaa," kata si Mbah sambil mengiringi kami sampai keluar pintu dan berangkat.

Pendakian Gunung Andong ternyata sangat nyaman. Treknya jelas dan di beberapa tempat yang licin sudah dibuatkan bertangga-tangga kecil dengan batu sebagai penahan langkah. Perjalanan menuju Puncak Andong cukup singkat. Dalam waktu 2 jam, kami sudah sampai di puncak Andong, lalu sebentar membeli kopi dan teh di warung yang masing-masing hanya seharga Rp 3.000. Gunung Andong, bagian atasnya terlihat seperti pungung sapi.

Jadi bagian puncak gunung ini bisa disusuri dan sepertinya, bisa dilalui dengan cara lintas. Naik dari sisi satunya lalu turun melalui sisi lainnya. Di setiap puncak terdapat 1 warung, jadi tidak perlu khawatir soal logistik jika naik Gunung Andong pas weekend. Kami menyusuri puncak Gunung Andong sampai ke Puncak Alap-alap di bagian paling timur Gunung Andong. Sepanjang jalur, dalam gelap kami memastikan tali yang saling melintang, karena tenda-tenda pendaki keseluruhannya didirikan di jalur. Terkadang posisinya menghabiskan seluruh jalur, sehingga kami harus benar-benar melipir tepi jurang.

Pemandangan sunrise kami hari itu agak berkabut, meskipun begitu, kami mendapatkan timelapse yang memuaskan. Seperti pendakian gunung pada umumnya, kami saling bertegur-sapa dengan orang-orang disepanjang jalur pendakian dan selama di puncak gunung juga. Saling bertukar cerita dan pengalaman, dan karena kami berdua, banyak yang nanyain, "Jadi ini mas ama mbaknya pacaran atau sudah menikah?". Kami tertawa dan menjelaskan kalau kami bukan pasangan, kami itu teman yang sama-sama klik buat backpackeran dan jalan bareng. Jawaban kami cuma disambut dengan senyum dan tatapan mata ga percaya. "Ternyata masih susah ya di sini untuk menerima kalau cowok dan cewek itu bisa dekat sebagai teman ya mak?" celetuk MJ. Lalu mengalirlah diskusi kami sambil menunggui kamera mengambil timelapse.

Pertama, bapak yang mengantar kami saat pertama kali sampai di pertigaan menuju basecamp. Ternyata sampai malam berakhir pun bapak tersebut tidak menampakkan diri, dan belum ada tanda-tanda akan meminta bayaran untuk jasa yang diberikannya.

Kedua, permintaan kami yang sedikit "memaksa" disediakan kamar. Dari sudut pandang orang dusun dan adat ketimuran, sebenarnya mereka bisa saja mempertanyakan kami itu pasangan dengan hubungan apa? Tapi Si Ibu dengan tulus menyediakan kamar, dan saat dia katakan malu, itu si Ibu benar-benar malu dengan kondisi kamarnya, sementara kami entah karena alasan capek dan pengen cepat-cepat beristirahat melihat itu sebagai ketidakmengertian Si Ibu dengan permintaan kita dan menjelaskan bahwa barang-barang kita banyak dan butuh kamar yang terkunci.

Secara tidak langsung, pagi itu, kami berpikir sebenarnya Si Ibu, bahkan orang sekampung itu patut tersinggung dengan perlakuan kami, menilai tidak aman berada di desa itu. Padahal sebenarnya, ruangan terkunci pun bisa dibobol kalau memang ada yang berniat untuk mengambil barang-barang kami. Tapi tidak. Ibu tersebut malah mengusahakan kamar dan bahkan menanyakan kebutuhan kami, mulai untuk mandi, makan malam dan juga mengkhawatirkan barang-barang kami juga. Sifat positif yang sudah jarang ditemui di Jakarta.

Ketiga, Mbah, dia begitu menyita perhatian kami. Kami datang malam hari tentunya di desa yang minim hiburan malam tersebut, Si Mbah pasti sudah tidur. Tapi begitu mengetahui ada orang lain yang datang untuk menginap di rumahnya, Mbah bangun untuk menyapa dan menyambut dengan senyum lebar yang tulus. Mbah baru benar-benar tidur saat kami sudah tidur. Sepanjang kami masih kasak-kusuk keluar-masuk rumah, Mbah juga keluar masuk kamar, memastikan kami kalau-kalau butuh bantuan. Subuhnya juga, Si Mbah juga yang mengantarkan kami berangkat menuju Gunung Andong. Benar-benar seperti keluarga sendiri.

Mbah (source : Koleksi Pribadi)
Mbah (source : Koleksi Pribadi)
"Nanti kita lihat aja, mak, berapa harga makanan kita selama di sini. Tapi kalau dibilang kamar gratis, bingung juga kalau mau kasih bayar sewa kamar ya. Takutnya jadi ide baru buat mereka bahwa tempat tinggal mereka bisa dijadikan sumber pendapatan dan jadinya komersial. Alih-alih ngasih apresiasi buat semua keramahan mereka nanti malah kita merusak mindset orang-orang desa yang polos menjadi money oriented," pungkas MJ.

Timelapse selesai, kami memutuskan untuk turun. Baru berjalan beberapa langkah hujan turun disertai angin. Kami memutuskan tetap turun karena sudah terlanjur basah dan jika berhenti atau berteduh malah kedinginan. Jadi kami tetap bergerak. Tenda-tenda terlihat bergoyang-goyang menahan hempasan angin, karena memang keadaan puncak Gunung Andong adalah padang rumput. Tidak terdapat pepohonan sebagai penahan angin.

Kami basah kuyup saat sampai di desa. Sebelum ke rumah, kami memesan makanan lagi, dan seperti sebelumnya, si Ibu akan antar makanan ke rumah.

Sampai di rumah kami disambut Si Mbah, lalu kami pamit untuk bongkar-bongkar barang-barang kami yang kuyup dan menggelarnya di ruang tamu. Si Mbah mengijinkan, malah menawarkan untuk menggelar sepatu kami yang basah juga di dapur dekat tungku, manawarkan plastik untuk bungkus-bungkus peralatan yang basah, sampai menawarkan berkali-kali untuk memasakkan air agar kami mandi dengan air hangat. "Nanti sakit," kata Si Mbah, karena kami lebih memilih mandi air gunung saja, supaya tidak terlalu kedinginan setelah mandi.

Akhirnya, setelah selesai packing, dan bersiap pulang, saya menanyakan si Ibu, berapa harga makanan kami semuanya dan dalam hati berniat untuk melebihkan pembayaran. MJ sempat mewanti-wanti, "Jangan sampai niat buat ngelebihin bayar bikin mereka jadi komersil loh ya!"

"30 ribu mba semuanya," kata Si Ibu. Sempat bingung mau bayar berapa. Akhirnya, saya memberikan lembar 50 ribuan dan menyampaikan agar Si Ibu ambil saja kembaliannya.

"Oalah, mba, jangan, saya tidak menyewakan kamar, mba sama mas nya nyaman bertamu di sini saja saya sudah senang kok," kata Si Ibu menolak.

"Oh, bukan bu, bukan sewa kamar, ini buat terima kasih kami saja, sudah dijamu kaya di rumah sendiri. Buat nambah-nambahin di dapur Ibu saja," saya tetap memaksa si Ibu untuk menerima.

Setelah ekel-ekelan sebentar akhirnya Si Ibu setuju untuk menerima kembalian uang tersebut. Kami pamit dengan Si Ibu dan Si Mbah yang langsung meninggalkan tampah biji buncisnya untuk menyambut tangan kami untuk pamit dan tak lupa mendoakan kami selamat dalam perjalanan kami.

Ah, pengalaman di sini benar-benar memanusiakanku kembali. Kota Jakarta tempatku ternyata telah membentuk persepsi bahwa semua tindakan baik dan perhatian adalah sebuah "layanan" semata yang layak diterima dengan harga yang sesuai. Jadi kalau mau mengurangi budget bisa diakali dengan menolak beberapa "layanan" sehingga tidak perlu membayar. Secara tidak sadar, kami telah menilai manusia dan perhatiannya dengan rupiah. Seperti sebaliknya, kami juga sudah mengharapkan bayaran atas setiap "layanan" yang kami berikan. Hukum timbal balik, permintaan dan penawaran, teori ekonomis yang terbolak balik di sebuah desa bernama Dusun Sawit di kaki Gunung Andong.

Pada akhirnya, sebuah perjalanan tidak melulu tentang keindahan alam, eksplorasi tempat wisata yang menarik, namun juga ternyata menggali lagi nilai-nilai asli Indonesia yang telah tergerus oleh arus modernisasi. Mengembalikan manusia pada hakikatnya sebagai makhluk sosial, tidak melulu teguh dengan keyakinan "homo homini lupus".

Satu hari nanti, jika saya kembali merasa jenuh dan muak dengan suasana modernitas yang tidak manusiawi, Desa Sawit akan menjadi pilihan berkunjung berikutnya. Bertemu lagi dengan suasana kampung yang tenang, tidak menuntut dan apa adanya.

Terima kasih, Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun