Mohon tunggu...
Bonifasius Merkel
Bonifasius Merkel Mohon Tunggu... Ilustrator - saya suka gambar, bukan nulis

lebih mending disuruh nulis dari pada gambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Omongan Itu Doa

4 April 2022   11:44 Diperbarui: 4 April 2022   11:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di masa tua ini seringkali aku bertanya-tanya, apa yang masih layak untuk kulakukan? Fisikku yang sudah rapuh, napasku yang sudah terengah-engah karena terlalu sering mendapat cerutu, serta suaraku yang tidak setegas yang dulu, apakah masih pantas bagiku untuk menikmati dunia ini lebih lama lagi? Yang bisa kulakukan hanyalah membuat secangkir kopi pahit yang agak kepanasan dan menyeruputnya sedikit-sedikit, sambil memandang langit sore dari bangku teras rumah. 

“Sruput.. hahh.. Apakah aku masih pantas untuk hid..” 

“Pah! Jangan ngomong gitu ah, omongan itu doa Pa.”, tegur anakku yang secara tiba-tiba datang mengganggu sambil membawa buku tugas matematika dan pensilnya. 

“Iya, iya deh putri kecil papa emang pinter. Ada apa kok repot-repot jalan dari kamar ke depan?”, jawabku dengan nada yang sedikit dimain-mainkan. 

“Nggak Pah, cuman mau minta tanda tangan buat tugas matematika.”. 

“Nggak apanya (sambil membuat tanda tangan), nih! Balik kamar sana!”, sautku. 

“Hehe, makasih pah!”, kubalas ucapan terimakasih dari Puteri dengan senyuman lalu lanjut menyeruput kopi yang sudah mulai agak dingin. 

“Oh iya pah! Jangan mati ya!”, “Hush, kok ngomongnya gitu ke Papa, ngeri tau.”. “Soalnya omongan itu doa , Pah. Temenku di sekolah juga begitu, pensilnya hilang gara-gara bohong kalo dia nggak punya alat tulis.”, ujarnya dengan ekspresi yang agak cemberut. 

“Iya, iyadeh si Puteri emang pinter.”

“Hehe…”

Pembagian rapor sekolah si Puteri diadakan besoknya setelah perbincangan penting di teras kemarin, dan ketika aku melihat rapor anakku sendiri aku sampai tak percaya karena melihat sederet angka seratus di masing-masing mata pelajaran di sekolah. Padahal aku yakin PR matematikanya kemarin tidak mencapai rata-rata. Karena masih tak percaya dengan nilai-nilai si Puteri, aku menghampiri bapak wali kelas dan bertanya apakah Puteri pernah terlihat berbuat curang selama jam pelajaran. Namun, jawaban yang kuperoleh justru sangat di luar dugaan, wali kelas puteri justru memuji-mujinya karena merupakan anak tercerdas di sekolah, dan bahkan Puteri dikatakan pernah menjuarai lomba akademi tingkat provinsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun