memaafkan lalu melupakan ini membuat saya berusaha keras mengingat-ingat lagi berbagai kejadian di masa lalu yang sempat menerbitkan luka.Â
Topik pilihan Kompasiana yang bertajukUmumnya luka itu berasal dari orang-orang terdekat bahkan sangat dekat. Namun, pada akhirnya saya memaafkan dan mungkin melupakan seiring berjalannya waktu.
Salah satu kejadian yang ingin saya utarakan di sini adalah perlakuan ibu di masa kecil. Ketika itu, saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 1 meminta ikut bersama ibu yang hendak melaksanakan shalat tarawih di masjid.Â
Ibu pun menyetujui dengan syarat saya duduk anteng di pelataran masjid menunggunya selesai shalat. Namun, belum separuh rakaat ibu shalat, saya menangis-nangis sambil menarik-narik mukena yang dikenakannya tanpa peduli keadaan di sekitar. Entah apa sebabnya saya tidak begitu mengingatnya.Â
Merasa cukup terganggu dengan tingkah saya, ibu berusaha menenangkan saya. Bukannya menjadi tenang, yang ada saya menangis lebih kencang lagi dan mengundang perhatian jama'ah lain di masjid itu. Melihat itu, ibu tak segan-segan memarahi, memukul saya dengan sajadah dan menyeret ke teras masjid.Â
Saya yang kadung tidak terima dengan perlakuan ibu malah semakin tantrum menjadi-jadi hingga memutuskan lari ke jalan raya dengan maksud pulang ke rumah sendiri. Ternyata ibu mengejar saya di belakang, seketika saya berlari semakin kencang lagi karena ketakutan akan dipukuli lagi.Â
Sesampainya di rumah, saya masih menjadi sasaran empuk untuk meluapkan amarah ibu yang kian membara karena ulah saya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut saya menjadi pemurung di rumah juga di sekolah. Peristiwa tersebut masih selalu terngiang di kepala saya dan seringpula saya tangisi hingga SMP. "Kok ibu tega memukuli dan menyakiti tubuh saya," batin saya pada masa itu.Â
Kini usia saya sudah 28 tahun, rasanya tidak lagi pernah terlintas di pikiran kejadian di masa kecil saya itu jika tidak ada yang menyinggungnya. Kalaulah dipikir-pikir lagi, saya masih menilai wajar ibu menjadi marah dan lepas kontrol hingga tak segan memukul saya sebab ulah saya yang memancing emosi membuat orang-orang di sekitar jadi terganggu. Namanya juga masih bocah.
Setelah merasakan sendiri menjadi sosok seorang ibu, saya pun kerap naik spaning jika mendapati anak menangis dan tantrum tak henti-henti. Namun, sebisa mungkin saya berusaha mengontrol diri untuk tidak melakukan hal-hal di luar batas kepada anak sendiri.
Itu hanya salah satu contoh perlakuan buruk dari ibu di masa kecil saya. Tak hanya ibu, bapak pun tidak jarang menorehkan perasaan sedih dan ketakutan kepada saya. Pernah suatu kali, tak tahan dengan suara tangisan saya yang tak kunjung berhenti, bapak mengangkat dan meletakkan saya ke tengah jalan raya yang cukup ramai dilalui kendaraan.
Ketika beranjak remaja lalu menginjak dewasa, saya tak pernah lagi mendapat perlakuan kasar dari ibu maupun bapak. Meskipun terjadi di masa kanak-kanak karena mungkin susahnya untuk dinasihati, namun peristiwa-peristiwa seperti itu bisa menjadi kenangan pahit yang menimbulkan luka dan traumatis mendalam.