Tambak udang sudah seperti napas dan dunia kami, yakni saya, suami juga putri kami. Sebelum menikah, suami memang sudah bekerja di tambak sebagai teknisi yang mengurusi segala hal seputar budidaya udang mulai dari persiapan hingga masa panen tiba.Â
Setelah menikah, saya pun turut serta menemaninya mencari nafkah di sana. Di tambak, kami saling menguatkan satu sama lain demi kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.Â
Lokasi tambak udang ini umumnya jauh dari pemukiman penduduk. Jauh dari pemukiman berarti jauh dari keramaian, interaksi dan sosialisasi kami bersama masyarakat pun menjadi minim. Jangankan bisa akrab, bertemu saja bisa dihitung jari.Â
Benar saja, di tambak kami hidup dengan memeluk kesepian. Terlebih saya sebagai seorang istri yang jarang sekali keluar rumah jika tidak ada keperluan.Â
Selain suami, juga ada beberapa orang lagi yang bekerja di tambak yang pasti semuanya adalah laki-laki. Bisa dibilang saya baru akan melakukan percakapan dengan mereka jika memang ada hal yang mendesak untuk dibicarakan.Â
Dari tambak ke tambak yang kami singgahi, saya belajar banyak hal baru. Suasana yang kami tinggali memang sunyi dan jauh dari keramaian, namun bukan alasan untuk tidak bisa menjadi produktif.
Kegiatan saya sehari-hari sama seperti halnya ibu rumah tangga kebanyakan, yakni memasak, membersihkan rumah, mengurusi suami juga anak.Â
Di luar itu, saya menyempatkan untuk membaca buku, menulis sedikit-sedikit, dan menemani anak bermain di luar rumah. Tidak jauh-jauh, hanya di lingkungan sekitar tambak atau sesekali ke pantai karena lokasi tambak udang yang kami tinggali berada tidak jauh dari laut.
Memang timbul perasaan tenang dan nyaman melakukan berbagai kegiatan di dalam rumah. Namun tak dapat dipungkiri, tentulah ada kejenuhan karena melakukan aktivitas yang itu ke itu saja setiap harinya.
Beruntungnya memiliki suami yang pengertian, setidaknya sebulan sekali beliau mengajak kami refreshing kecil-kecilan dengan bersilaturahmi ke rumah teman atau mengunjungi tempat wisata yang letaknya tidak jauh-jauh amat dari tambak dan bisa pergi-pulang dalam sehari.Â
Tak hanya itu, setiap selesai satu siklus budidaya ia juga akan memboyong saya dan putri kami berkunjung ke rumah mertua atau orang tua saya secara bergantian.
Begitu saja pola kehidupan yang saya jalani pasca menikah. Walaupun terdampar di kesunyian, tetap ada banyak hal yang tidak henti-hentinya membuat kami bersyukur.Â
Misalnya, kami diberikan fasilitas cuma-cuma rumah layak huni, listrik, air, beberapa perlengkapan rumah juga dapur, dan kendaraan berupa sepeda motor. Meski statusnya hanya inventaris, setidaknya kami tidak memikirkan biaya bulanan seperti dalam keadaan mengontrak.Â
Ternyata di balik suasana yang kurang kita inginkan, ada kebaikan yang ruah. Hamdalah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H