Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Culture Shock Pasangan Baru Menikah: Pentingnya Terus Belajar dan Saling Menghargai

22 Mei 2024   12:21 Diperbarui: 22 Mei 2024   12:21 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun kedua usia pernikahan, tak lupa memberikan apresiasi kepada diri sendiri juga suami atas segala upaya membangun rumah tangga impian yang benar-benar mulai dari nol. 

Kata orang, di usia pernikahan yang masih seumur jagung ini belum ada apa-apanya, belum banyak ujiannya, belum merasakan pahit-pahitnya kehidupan rumah tangga, dan belum-belum yang lainnya lagi.

Jika melihat dari sudut pandang saya sendiri, siapa saja orangnya pasti mengalami ujiannya masing-masing entah itu mereka yang belum menikah, baru menikah atau sudah lama menikah. Kadarnya saja mungkin yang berbeda. 

Katakanlah memang usia pernikahan kami masih terlalu dini, tetapi cukuplah sebagai bahan refleksi kecil-kecilan. Terutama saat masa-masa awal sekali menikah, meski sebelumnya sudah saling mengenal tetapi baik saya maupun suami mengalami culture shock sebab baru sama-sama tahu kebiasaan masing-masing.

Terutama bagi saya sendiri sebagai seorang istri. Saya merupakan anak tunggal di keluarga yang jarang sekali memiliki kesibukan di dapur, kemudian kuliah lalu bekerja yang tinggalnya jauh dari orang tua juga lebih sering membeli makanan ketimbang memasak sendiri. 

Jangan tanya kemampuan memasak saya, benar-benar jauh di bawah rata-rata. Menurut suami, memasak adalah kemampuan yang bisa dipelajari pelan-pelan bukan sebuah bakat yang melekat pada seseorang sejak lahir. Di zaman sekarang, mudah saja tinggal lihat resep di internet, sosial media bahkan platform seperti YouTube. 

Jadilah sekarang saya selalu memasakkan makanan untuk keluarga (suami dan anak) setiap pagi dan malam hari, sesekali juga pernah beli atau makan di luar rumah. Kesibukan yang sebelumnya sangat jarang saya lakukan, tetapi sekarang malah menjadi kebiasaan rutin. 

Untuk saya hal ini merupakan bentuk kekurangan diri tetapi suami menerima dan menemani berbenah, itu menjadi kebahagiaan tersendiri.

Lain halnya dengan suami, ia mempunyai hobi bermain voli dan game online. Saya kerap diabaikan dan merasa bersaing dengan hobinya tersebut. 

Namun, lambat laun berusaha memahami bahwa ia pun membutuhkan hiburan untuk menyegarkan kembali pikiran setelah penat bekerja. Selain itu, suami juga tak segan membantu pekerjaan di rumah seperti mencuci piring, pakaian dan menyapu rumah. 

Selagi masih rajin bekerja, setoran bulanan ke saya lancar, ibadah wajib tidak tertinggal, perasaan-perasaan yang rasanya tidak perlu itu saya minimalisir. 

Pernah lagi terjadi perdebatan kecil seusai makan bersama. Suami tiba-tiba menegur saya dengan suara meninggi lantaran saya mencuci tangan di bekas piring makan saya. 

Ternyata ia tidak suka melihat hal tersebut dan mengaku jijik. Saya pun terkejut bukan main, perasaan tidak melakukan kesalahan dan yang nantinya mengemasi piring-piring kotor lalu mencucinya itu juga saya sendiri. 

Tentu saja saya tidak terima dibentak seperti itu atas perbuatan yang menurut saya tidak ada salahnya. Lantas tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada suami, saya jelaskan bahwa saya belum ada sebulan tinggal satu atap dengannya mana saya tahu secara menyeluruh hal-hal yang disukai maupun tidak disukai olehnya. 

Sekalipun hal yang saya lakukan pertama kali di hadapannya itu salah, haruskah dia menghardik saya? Tidak bisakah memberi tahu dengan cara baik-baik, toh saya bukan tipe orang yang bebal betul untuk dinasehati.

Suami pun terdiam, seolah menyadari perbuatannya juga tidak bisa dibenarkan. Untuk selanjutnya saya pun tidak pernah lagi melakukan hal semacam tadi saat makan bersama suami maupun makan sendirian.

Sebelum menikah saya sibuk bekerja, kemudian setiap bulannya saya menyisihkan sedikit dari gaji saya untuk diberikan kepada orang tua mengingat mereka yang sudah semakin tua dan tenaga mereka untuk bekerja tidak sekuat dulu lagi. 

Intinya sih sebagai salah satu bentuk bakti anak yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanan mereka. 

Setelah menikah dan memutuskan untuk tidak bekerja lagi, suami ternyata bersedia dan tidak keberatan menyisihkan dari gajinya setiap bulan untuk dikirimkan ke orang tua saya. Tidak banyak, namun cukuplah untuk membantu sedikit kebutuhan hidup sehari-hari keduanya. 

Tentu saja hal itu dilakukan setelah kebutuhan kami berdua tercukupi. Untuk kedua orang tuanya sendiri, suami juga sering memberikan sebagian dari penghasilannya. Selain itu, ia juga membantu biaya kuliah dari adik perempuannya. 

Alhamdulillah, penghasilan dari pekerjaan suami cukup untuk memenuhi itu semua dan masih tersisa yang dialokasikan untuk tabungan keluarga. Sebagai istri, tak hentinya saya mendoakan supaya rezeki suami rezeki keluarga kami selalu lancar dan mengalir deras.

Poin penting yang sama-sama kami tanamkan sejak awal menikah adalah jika ada yang tidak sesuai sebaiknya segera dikomunikasikan, kemudian tidak bosan dan terus belajar untuk menjadi suami juga istri yang lebih baik lagi, tidak lupa juga untuk saling apresiasi setiap usaha yang dilakukan pasangan karena dengan begitu baik suami maupun istri pastinya merasa dihargai.

Beberapa hal di atas merupakan sebagian kecil dari rupa-rupa kehidupan awal pernikahan kami. Mohon didoakan supaya kami mampu menjaga biduk rumah tangga ini dengan baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun