Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Rumah di Rantau

20 Mei 2024   21:08 Diperbarui: 20 Mei 2024   21:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahun-tahun sudah lamanya kami sekeluarga pindah ke tempat ini, menempati rumah-rumah di dalam hutan. Jika tidak karena pane dan bune, mungkin aku tak akan sampai berada di sini.

Jarak yang cukup jauh untuk sampai ke jalanan yang ramai. Tidak ada kendaraan umum yang berlalu lalang, benar-benar seperti jauh dari peradaban.

Perkara jaringan telekomunikasi sangat memprihatinkan. Jangan pikirkan tentang 3G dan 4G, bisa menelepon tanpa terputus-putus saja rasanya sudah lebih dari cukup.

Belum lagi ketersediaan air bersih yang hanya 2x dalam seminggu diberikan, hanya cukup untuk keperluan dapur.

Sedangkan urusan mandi dan mencuci pakaian, berlapang dadalah menggunakan air gambut yang warnanya tampak kemerah-merahan serupa air teh.

Anak-anak para pekerja yang menengah ke bawah lebih banyak yang tidak bersekolah padahal masih kecil-kecil. Mereka didoktrin sedari dini harus mau membantu orang tua supaya ekonomi keluarga tercukupi dan bisa makan enak.

Alhasil, mindset yang tertanam di kepala mereka adalah hidup untuk kerja, kerja, dan kerja. Tidak ada keinginan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi apalagi melihat dunia yang begitu luas sekali.

Kedua orang tuaku pun demikian adanya. Bekerja dari pagi selepas subuh hingga sore hari menjelang magrib. Ditambah ketika hujan lebat bersambut petir turun, mereka masih di tengah sawitan menuntaskan target harian. Anekdotnya---rumah hanya sebagai tempat untuk beristirahat semalam.

Tapi tidak, pane tidak serupa kebanyakan orang-orang di sana. Katanya, aku harus bersekolah, menggapai sarjana dan melek dunia. Bune menimpali, "kami meridhai anak kami memiliki kehidupan yang lebih baik suatu hari nanti".

Bagaimana rasanya hidup di rantau? Jangan ditanya lagi. Semuanya kami rasakan---kami tenggak habis tanpa sisa. Mengeluh hanya akan menambah keadaan semakin susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun