Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Bandar Udara

9 April 2024   16:09 Diperbarui: 9 April 2024   16:24 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay/Skitterphoto

Beberapa tahun yang silam, bandar udara menjadi tempat favorit dan menyenangkan untuk dikunjungi. 

Aku bahkan rela menukarkan waktuku sampai berjam-jam lamanya hanya untuk duduk dan diam seraya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sana. 

Segala hal tentang bandara terekam sangat rapi dalam kepala---tepatnya sengaja ditata sedemikian rupa. 

Tentang kedatangan juga kepergian, dan keriwehan orang banyak serta wajah-wajah cemas dalam penantian.

Luang saja hariku, aku tak keberatan tidak mengunjungi tempat-tempat wisata atau mesti rela membatalkan tiket nonton film di bioskop bersama teman-teman. Ke bandara saja cukup, rasanya sukmaku yang semula redup seketika kembali hidup.

Aku belajar banyak dari sini. Tentang kedatangan juga kepergian seseorang yang sudah digariskan takkan mampu kita cegah sekeras apapun usaha kita untuk menahannya. 

Bayangkan saja, perasaan sudah berkecamuk di dalam dada---hanya ditenangkan oleh kata-kata kalaulah berjodoh nanti kita akan bertemu jua akhirnya. Terdengar klise dan ironis sekali ya.

Banyak lagi yang riweh, hanya sibuk mengurusi kepentingan-kepentingannya sendiri. Orang-orang di sekelilingnya tak banyak memberi arti. 

Benar saja, untuk apa banyak-banyak berinteraksi sedang kita tidak pula saling mengenali. Seringkali kepandaian menjaga dan membawa diri dipertanyakan di sini.

Aku juga menemukan wajah-wajah cemas dari orang-orang yang sedang menunggu. Menunggu itu berasal dari kata tunggu tanpa tanda seru. 

Antara membuang-buang waktu dan membayar rindu untuk bertemu nyaris tak terlihat lagi garis batasnya. Cemas itu akan menghilang ketika orang yang dinantinya telah tiba, dan juga sebaliknya. 

Bagaimana jika yang ditunggu tidak akan pernah datang? Tidakkah terkira apa saja yang sudah terbuang dengan sia-sia? Percayalah, masih ada yang dengan tulus memberikan itu semua. 

Manusia-manusia tabah yang menyerahkan dirinya bergelut dengan harapan. Walaupun dengan kemungkinan yang benar-benar kecil, ia mendekapnya erat-erat. 

Barangkali perasaannya hebat, hanya berbekal keyakinan yang terbaik pasti menghampiri cepat ataupun lambat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun