Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Sambatan Seorang Ibu Anak Satu Pasca Persalinan SC Eracs

8 April 2024   19:54 Diperbarui: 8 April 2024   20:41 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya perempuan berusia 27 tahun yang baru saja melahirkan seorang anak ke dunia dengan jalan persalinan sc eracs.

Barangkali tidak hanya di lingkungan tempat tinggal saya dimana orang-orangnya menurut saya masih banyak yang menganut paham primitif.

Bukannya saya sudah merasa paling pintar dalam hal mengasuh anak, namun apa yang dianjurkan oleh orang-orang di sekitar saya memang seringkali di luar nalar. Sebagian besar akan saya uraikan satu persatu dalam tulisan uneg-uneg ini.

Orang tua saya sendiri tidak begitu mengintervensi soal bagaimana saya dan suami dalam hal mengurus anak. Mereka memahami bahwa saya dan suami sudah dewasa dan cukup memiliki wawasan juga mengerti bahwa mengasuh dan mendidik anak pada zaman dahulu tentulah berbeda dengan masa kini. 

Paling hanya berbagi cerita bahwa dulu seperti ini, tapi sekarang kayaknya sudah tidak ada lagi. Tidak banyak ikut campur, tetapi selalu siap siaga jika kami membutuhkan bantuan dan pertolongannya.

Siapa yang paling banyak ngomong di sini? Nah, itulah mereka para tetangga saya. Orang-orang yang sudah mempunyai anak lebih dari satu bahkan ada pula yang telah memiliki cucu. 

Kalau mereka sudah berbicara dengan berbagai bahasa tubuhnya, seakan-akan mengatakan, “Dengerin nih kami, orang yang sudah berpengalaman mengurus anak bertahun-tahun. Kamu mah baru kemarin sore punya anak.

Untuk sekali dua kali sih it's okelah, bodo amat. Tapi ya namanya tetangga, rumahnya dekat ketemunya setiap hari ngobrolnya pun lancar kayak sepur, apa tidak menyebalkan jadinya?

Ungkapan ‘ibu sejati' hanya ditujukan kepada perempuan yang melahirkan secara normal

Lantas saya apa? Ibu jadi-jadian begitu? Tetangga saya mengatakan, semua perempuan itu mendambakan persalinan normal karena dengan begitu mereka akan menjadi ibu sejati. Bukan dengan cara operasi, sesar, sc eracs atau apalah sekarang itu namanya.

Saya hehe-in aja walau dianggap bukan ibu sejati. Meski demikian, tetangga saya tetap mendoakan yang terbaik supaya kondisi saya segera pulih agar secepatnya bisa mengurus anak sendiri dan tidak merepotkan orang tua.

Sebenarnya ya itu alasan saya melahirkan di rumah orang tua, agar lebih dekat dengan ibu saya yang pastinya banyak membantu mengurusi segala keperluan saya juga buah hati kami yang baru lahir. 

Orang tua saya bahkan tidak merasa keberatan samasekali, keduanya malah tampak bahagia karena saya memang anak mereka satu-satunya dan anak saya merupakan cucu pertama yang kerap dielu-elukan.

Aturan mengenakan bedak, gurita hingga MPASI dini sampai tutorialnya

Saya dan suami berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan cara orang tua dulu dalam merawat anak yang sudah tidak direkomendasikan lagi pada masa kini. 

Misalnya, bayi tidak perlu dipakaikan bedak karena khawatir serpihannya akan terhirup dan membahayakan si bayi.

Lalu pemakaian gurita pada bayi sekarang ini benar-benar sudah tidak dianjurkan bahkan dilarang oleh Kemkes, IDAI maupun WHO sejak dari dilahirkan karena dapat menyebabkan bayi menjadi sesak nafas yang tentu saja hal ini juga membahayakan keselamatan bayi. Pemakaian gurita dengan tujuan supaya perut bayi tidak menjadi buncit itu tidaklah benar.

Kemudian MPASI dini, tentu saja dilarang karena aturan pemberian MPASI pada bayi secara umum dimulai sejak berusia 6 bulan ke atas atau 180 hari. 

Bayi yang telah menginjak usia 6 bulan dinilai sudah mampu mencerna makanan dengan baik ditunjang dengan kondisi kepalanya yang sudah tegap dan mulai bisa duduk tegak meski dengan bantuan. 

Itupun tidak langsung mengonsumsi makanan orang dewasa pada umumnya melainkan makanan dengan tekstur lembut seperti bubur lalu naik tahap demi tahap setiap bulannya hingga sama seperti makanan orang dewasa.

Namun tetangga saya dengan nyinyirnya memerintahkan untuk memakaikan bedak pada bayi saya supaya terlihat segar setelah mandi, juga gurita untuk menghindari perut bayi menjadi buncit. 

Dan yang saya tidak habis pikir, tidak hanya sekadar berbicara tetapi tetangga saya sampai mencontohkan bagaimana cara memakaikan bedak pada bayi hingga memasak makanan MPASI yang lembut dan mudah ditelan bayi yang bahan-bahannya dibawakan dari rumahnya.

Saat itu bayi saya baru berusia kurang dari 1 bulan. Tetangga saya beranggapan saya ini egois, tidak pandai memasak masakan bayi juga tidak mau belajar sehingga bayi saya seperti sudah sangat kelaparan tetap rewel meski sudah diberikan ASI dan kerap terbangun tengah malam.

Menurut saya, bagian ini benar-benar menyebalkan. Argumentasi mengapa saya menerapkan aturan yang sudah ada samasekali tidak didengar. 

Bahkan saya juga orang tua saya di rumah merasa tersinggung dengan perlakuan tetangga saya itu. Barangkali tujuannya menunjukkan kepedulian tetapi caranya yang sungguh sudah keterlaluan.

Jika tidak sepaham dengan cara kami mengasuh anak, ya silakan saja. Tapi memaksakan pemahaman sendiri untuk diikuti orang lain dapat menciptakan suasana yang tidak nyaman dan tentu saja hal tersebut sangat membuat saya terganggu.

Jangan keluar rumah membawa bayi sebelum melewati selapanan

Mayoritas masyarakat Jawa menganggap selapanan sama dengan 35 hari. Sebelum melewati masa selapan tersebut, dilarang membawa bayi keluar dari rumah. 

Dalam pemikiran saya, berarti saya gugur dong dari aturan tersebut karena pas melahirkan saja sudah di rumah sakit yang jarak tempuhnya cukup jauh dari rumah. 

Setelah 3 hari menjalani masa pemulihan, barulah saya pulang ke rumah bersama bayi saya.

Tapi tidak menurut tetangga saya, masa saya di rumah sakit sampai pulang ke rumah itu pengecualian. 

Bayi saya tetap dilarang keluar rumah sebelum selapanan, batasnya hanya sampai teras. Entah apa faedahnya dari aturan yang tak cukup saya mengerti ini.

Di tempat tinggal saya selalu diadakan posyandu balita sebulan sekali yang ketika itu bertepatan dengan usia 1 bulan bayi saya. 

Saya sudah berniat untuk pergi supaya bayi saya mendapatkan imunisasi tanpa peduli dengan selapanan si tetangga. 

Namun saat hari posyandu berlangsung, saya jatuh sakit hingga bidan setempat mengunjungi rumah saya untuk imunisasi bayi saya.

Apa kata tetangga saya? “Sudah dikatakan jangan pergi-pergi bawa bayi sebelum selapan, kok ndableg tenan.” Kalimat tersebut saya dengar dari tetangga saya secara tidak langsung. 

Sebelumnya saya sempat menyanggah pendapatnya dengan menyampaikan bahwa imunisasi untuk bayi itu sangat penting supaya bayi tidak rentan sakit.

Bukannya dipahami, penyampaian saya itu malah ditepis mentah-mentah. Doi dengan gamblang memamerkan bahwa dulu anak-anak hingga cucunya tidak ada yang di imunisasi tapi semuanya sehat-sehat dan tidak gampang sakit. 

Duh Gusti, lelah sekali meladeni manusia semacam tetangga saya ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun