Ada adagium lama yang tetap relevan dengan situasi ini: "orang lapar dapat menjadi orang murka, hungry man becomes angry man"
Hampir tiga bulan ini Demos, perantau asal Nias, dan isteri serta tiga anaknya makan seadanya: kadang nasi dan garam, atau sebutir telur rebus dibagi empat potongan kecil. Tak jarang sebungkus mie siap saji dibagi dua untuk dua anak balitanya. Anak ketiga seorang bayi menyusu dari isterinya dengan asupan seadanya. Lampu depan rumah kini lebih sering dipadamkan untuk mengurangi biaya pemakaian listrik.
Tak jauh dari rumah BTN sederhananya yang masih harus dicicil setiap bulan, paman dan bibinya mulai bercocok tanam ubi kayu dan talas di atas sepetak lahan yang notabene masih merupakan milik perumahan BTN.
Sebagai pengemudi Ojol, Demos telah nelangsa sejak Maret lalu. Ia berupaya alih profesi sebagai pengantar barang pesanan orang tapi terbilang amat sepi pesanan semacam itu di pemukiman desa-kota tepi Gunung Salak, Kabupaten Bogor.
Adapun Surya seorang penjaja pulsa dan token, tetangga Demos, telah terbiasa berbuka Puasa dengan takjil sekenanya, tahu dan tempe goreng. Omset penjualan pulsa dan token di sekitar perumahan BTN menurun tajam sejak Maret lalu. Kadang, Surya dan keluarganya berbuka puasa dengan nasi dan mie siap saji. Demos, pamannya dan Surya, hanyalah tiga contoh  dari jutaan keluarga orang miskin baru (OMB) pasca mewabahnya Covid-19 dan segala dampaknya.Â
Bagi Demos, Surya dan beberapa keluarga miskin baru di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor ini, virus Covid-19 laksana "mahluk gaib dan dampak dari perseteruan perang dagang antara Amerika Serikat dan China".
Dengan kata lain, mereka melihat pagebluk 2020 seperti pertarungan persekongkolan China dan kawan-kawan vis--vis Amerika Serikat dan kawan-kawannya. Teori Konspirasi ala orang miskin baru. Kami lebih khawatir "perut lapar dan garong yang marak" dan entah kapan akan mereda.
Jika menggunakan tolok ukur Badan Pusat Statistik versi 2019, orang atau keluarga tergolong miskin adalah mereka yang hanya dapat membelanjakan sekitar Rp. 14.800 per hari per orang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Demos dan Surya, misalnya, sehari-hari dalam tiga bulan terakhir kadang dapat 30-50 ribu sehari kadang nihil sama sekali keesokan harinya. Ibarat orang terendam dalam air hingga hidung, ombak kecil sekalipun akan menenggelamkan mereka. Katup pengaman rakyat desa-kota berupa sepetak tanah, misalnya, telah banyak terjual, mereka tak punya tanah lagi lantaran dimiliki pemodal asal luar pemukiman, pemilik vila dan swasta, termasuk beberapa yayasan yang berkerabat dengan usaha keluarga inti penguasa Orba masa lalu. Sekarat lah para OMB ini.
Ada adagium lama yang tetap relevan dengan situasi 2020 ini: "orang lapar dapat menjadi orang murka, hungry man becomes angry man".
Karena itu, PSBB dan mitigasi pagebluk yang maha mendesak saat ini adalah: merakyatkan aksi dan segala macam idiom mitigasi Covid-19 agar berbasis kampung, berbasis warga, berbasis desa-hutan. Jika tidak, negeri ini dapat mengalami sekarat kolektif.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H