Mohon tunggu...
Meridianto Syahidan
Meridianto Syahidan Mohon Tunggu... -

Pendiri Komunitas Belajar Wikischool

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kembali Kepada Kodrat Manusia Sebagai Makhluk Spiritual

15 November 2014   04:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:47 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini bersumber dari tulisan-tulisan mereka yang sangat menginspirasi saya. Sangat menginspirasi saya karena apa yang saya pikirkan tentang bangsa di mana saya menumpang hidup, keluarga dan para sahabat yang saya cintai, Yayasan Putera Indonesia Malang tempat saya bekerja, seolah-olah saya mendapat seberkas cahaya terang di dalam kegelapan. Lebih-lebih karena basic saya adalah ekonomi yang selama 4 tahun di Perguruan Tinggi bergelimang dengan teori kapitalisme karya-karya pemikir seperti Adam Smith, John Stuart Mill, Fredrick Taylor.

Situasi Dunia Bisnis Saat Ini

Dunia bisnis, di mana kita hidup di dalamnya, dibangun atas asumsi-asumsi yang bersumber dari kapitalisme modern. Kapitalisme modern memiliki dua asumsi dasar tentang manusia. Pertama, umat manusia pada dasarnya adalah makhluk ekonomi, dengan sifat yang disebut oleh Adam Smith sebagai kecendrungan alamiah untuk melakukan pertukaran. Kedua, manusia akan selalu bertindak demi mengejar kepentingan rasionalnya sendiri, atau setidaknya mengejar apa yang diprediksi akan menguntungkan. (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Pada inti kapitalisme dan bisnis pada umumnya, bersemayam sebuah definisi yang sangat sempit tentang apa arti manusia dan apa arti usaha manusia. Manusia diukur lewat dahaganya akan keuntungan dan lewat kapasitas konsumsinya. Karyawan diukur dari kapasitas produksi yang bisa dikonsumsi orang lain. Para pelanggan dan karyawan hanyadipandang semata-mata sebagai konsumen. Mereka tidak dilihat sebagai manusia yang menghargai hal-hal tertentu, yang mempunyai loyalitas dan semangat, yang berusaha keras dan bermimpi, dan yang mencari kualitas hidup tertentu. Para konsumen besar (orang kaya) lebih bernilai ketimbang konsumen kecil (orang miskin). (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Asumsi kapitalisme bahwa kita akan senantiasa bertindak demi mencapai keuntungan kita sendiri mengandung asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya egoistik sehingga kita selalu bertindak untuk menjadi “nomor satu”. (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Diperkuat oleh hasilkarya intelektual yang menyertai Kapitalisme Modern seperti teori “survival of the fittest” Darwinian, hukum gerak kapitalisme (kompetisi, maksimalisasi laba, akumulasi kapital) telah menjebak bisnis pada umumnya dalam sebuah perburuan keuntungan kompetitif yang kejam, pada sebuah dunia yang sumber dayanya terus-menerus berkurang. Tidak mungkin ada keberlanjutan yang damai dan sejahtera bagi umat manusia dengan kondisi yang terus-menerus seperti ini. (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Asumsi bahwa manusia pada dasarnya adalah konsumen, memenangkan para konsumen besar atas konsumen kecil. Semua ini telah membuahkan ketidakmerataan yang terus meningkat dalam distribusi kekayaan dunia, bukan saja diantara bangsa-bangsa dan wilayah-wilayah geografis, tetapi kerapkali di dalam masyarakat yang kaya itu sendiri. (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Asumsi bahwa manusia semata-mata adalah makhluk ekonomi yang hidup demi menghasilkan uang telah meningkatkan stres dan kelelahan di pihak “pemenang” yang menjalankan sistemnya. Nilai-nilai lain, waktu bersama keluarga, waktu untuk bersantai, waktu untuk memenuhi kebutuhan batin, waktu untuk menikmati kekayaan yang telah terkumpul, kesempatan untuk menemukan kepuasan batin dalam kerja yang kita lakukan, kesadaran akan tujuan fundamental dalam hidup, dikorbankan demi mengejar keuntungan yang lebih banyak dan pertumbuhan moneter yang lebih besar lagi. (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Pemimpin-pemimpin sebuah perusahaan yang sukses mungkin terdorong untuk bertanya, “Untuk apa dan kepunyaan siapa bisnis itu sebenarnya? Apakah kita yang bekerja dalam bisnis-bisnis ini adalah instrumen bisnis belaka atau sesuatu yang lebih daripada itu?” .

Penyebab utama stres pada sebagian besar kehidupan kita saat ini adalah hilangnya makna. Ada perombakan manajemen, perampingan, restrukturisasi, kontrak jangka pendek, kontrak jangka panjang, dan berkurangnya loyalitas, komitmen, kepercayaan dalam kontrak-kontrak tersebut. Itu semua baru sekedar stres dalam bisnis. Dalam kehidupan pribadi, kita mengalami erosi moral dan religius, perubahan dalam hubungan keluarga dan hubungan antar manusia, rutinitas yang monoton, kehilangan, perceraian, dan kematian orang yang kita cintai.

Stres yang disebabkan oleh ketidakbermaknaan hidup, adalah penyebab utama penyakit di dunia maju saat ini. Penyakit-penyakit seperti depresi, keletihan, kepenatan, alkoholisme, penyalahgunaan obat, dan bunuh diri sangat terkait dengan stres. Stres dan keletihan sangat buruk bagi orang yang mengalaminya. Keduanya menyebabkan penyakit dan kematian dini. Namun, orang-rang yang stres dan letih juga tidak baik bagi bisnis. Mereka menurunkan kreativitas dan produktivitas secara keseluruhan; mereka rentan menderita penyakit dan sering absen kerja; mereka merugikan keuangan perusahaan dan ekonomi nasional.

Bisnis yang hanya mengharapkan dan mementingkan uang, tidak akan berkelanjutan karena telah membawa krisis kepemipinan (korupsi - monster yang memakan institusinya sendiri). Perusahaan-perusahaan harus menghasilkan uang. Mereka merumuskan kerja sebagai mengejar uang. Namun, kita, manusia, pada dasarnya adalah makhluk spiritual (pencari makna). Kita berada dalam pencarian  panjang akan makna. Jadi, kehidupan bisnis kita menyingkirkan apa yang menjadi kepedulian sejati kita yaitu Makna.

Para pemimpin besar biasanya ingin menangani perkara besar, ingin agar kehidupan dan kerja mereka memiliki arti atau pengaruh yang signifikan dalam hidup ini. Mereka jarang ditemukan di puncak perusahaan-perusahaan besar. Banyak orang yang meninggalkan perusahaan untuk bekerja di organisasi-organisasi sosial atau nirlaba. Ketiadaan pemimpin besar adalah hal yang tidak menguntungkan bagi bisnis. Setelah menghilangnya orang-orang yang berpotensi menjadi seorang pemimpin besar, dengan hanya menyisakan para pemburu uang belaka, bisnis segera menjadi bisnis yang kotor (manipulasi dan korupsi).

Bisnis yang semata-mata mengejar maksimalisasi laba tidak dapat menggunakan kecerdasan optimalnya. Jika bisnis berfokus pada uang yang bisa diraih dalam jangka pendek maka keseluruhan perspektif bisnis menjadi sempit. Bisnis akan menggunakan kecerdasan rasional, linear dan solusi jangka pendek untuk memecahkan problem-problem yang menghalangi bisnis meraih uang dengan cepat. Bisnis menjadi buta terhadap isu-isu yang lebih luas seperti keberlanjutan jangka panjang umat manusia di muka Bumi, bahkan keberlanjutan jangka pendek masyarakat, karyawan dan keluarga.

Kita semua, yang menyadari dampak negatif dan sifat ketidakberlanjutan dari bisnis (kapitalis modern) ini pasti berharap-harap cemas, “Semoga ada jalan lain!”. Asumsi-asumsi yang keliru bahwa manusia pada intinya adalah makhluk ekonomi, dan yang karenanya mementingkan diri sendiri, tidak sejalan dengan harapan-harapan kemanusiaan. Asumsi-asumsi itu tidak menjawab kerinduan yang dirasakan budaya kita untuk mengentaskan dirinya dari rawa materialis tempat kita terjebak selama ini.

Kita mengharapkan sebuah visi bisnis yang mau ikut bertanggung jawab atas dunia tempat ia beroperasi dan yang darinya ia memperoleh kekayaannya. Kita mengharapkan hadirnya Pemimpin-Pengabdi (servant leader), para pemimpin yang tidak hanya melayani para pemegang saham (pemilik), kolega, karyawan, produk, dan pelanggan, tetapi pemimpin yang juga melayani masyarakat, lingkungan bumi, umat manusia, masa depan, dan kehidupan itu sendiri; yaitu para pemimpin yang berani “melihat ke dunia luar”.

Paradigma Modal (Capital)

Kapitalisme yang berjalan saat ini merupakan hasil formulasi segelintir filosof zaman pencerahan di Inggris yang memperoleh inspirasi dari fisika Newtonian. Karya-karya pemikir seperti Adam Smith dan John Stuart Mill, orang-orang yang mengagumi karya Newton, pada gilirannya memberikan kontribusi pada paradigma teori manajemen ilmiah dari Fredrick Taylor. Mereka melihat bisnis individual sebagai bagian dari mesin ekonomi raksasa yang dilumasi oleh uang. Mereka memahami modal semata-mata sebagai modal materiil, modal yang bisa diukur dengan uang. Akan tetapi capital memiliki makna yang lebih luas. Dalam oxford English Dictionary, capital didefinisikan sebagai sesuatu yang memberikan kekayaan, laba, keuntungan, atau kekuasaan. Kapitalisme, doktrin ekonomi yang melandasi bisnis sebagaimana biasanya, memberikan definisi-definisi paling sempit pada semua istilah ini. kekayaan disamakan dengan uang sehingga kekayaan yang membuat dunia berputar adalah kekayaan materiil, dan laba adalah laba materiil. keuntungan adalah sesuatu yang memberikan keuntungan materiil, yaitu keuntungan yang ditakar dengan uang atau berdasarkan kekuasaan untuk memanipulasi orang atau lingkungan demi memaksimalkan kepentingan pemiliknya (kepentingan yang berbasis uang). (Danah Zohar & Ian Marshall, 2005)

Pandangan semacam itu menjerumuskan bisnis sehingga bisnis memangsa dirinya sendiri dan juga semua hal yang kita hargai dalam kemanusiaan kita. agar bisa terbebas darinya, kita perlu memperluas konsep kita tentang kekayaan. Kita butuh konsep tentang kekayaan yang memperkaya jiwa manusia (bukannya memiskinkan jiwa manusia), sebuah pemahaman tentang kekayaan yang mengilhami orang untuk memberikan yang terbaik untuk mencipta kekayaan itu. Untuk melenyapkan sisi gelap dan buram kapitalisme, kita membutuhkan pemahaman tentang kekayaan yang tumbuh dari kebersamaan yang penuh tanggung jawab dan cinta kasih terhadap orang-orang tak berpunya dan dari niat yang sungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Selain itu, kita, yang berkecimpung dalam bisnis, juga butuh pemahaman tentang kekayaan yang mencerminkan kehidupan kerja dan personal yang penuh makna dan memberikan kepuasan. Kekayaan dalam arti luas yang dapat mewadahi bahwa harta, intelektual, human dan spiritual termasuk dalam makna kekayaan (modal/capital/aset).

Era Spiritualisme

John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000“  mengatakan bahwa  era milenium seperti sekarang merupakan era kebangkitan agama dan nilai-nilai esoteric (aspek dalam batin). Bagi manusia modern, akses-akses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi akan mampu diproteksi oleh kearifan esoteric sebuah relegiusitas.

Para pengusaha besar, eksekutif dan manajer perusahaan yang sukses ternyata adalah para spiritualis. Pada abad ke-21 para pengusaha besar yang sukses akan menjadi pemimpin yang spiritual. Inilah kesimpulan akhir dari hasil pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh Gay Hendricks dan Kate Ludeman selama 25 tahun terakhir termasuk wawancara intensif terhadap para pengusaha sukses di Amerika selama lebih dari seribu jam.

Para spiritualis korporat ini, kata Hendricks dan Ludeman, telah berhasil memperagakan sejenis spiritualitas yang hidup dalam kegiatan sehari-hari dan bukan sekedar berwujud kata-kata. Spiritualitas mereka adalah pengalaman bukan tentang ajaran agama yang selalu terkait dengan spiritualitas yang terorganisasi. Mereka lebih tertarik kepada nilai, esensi dan manfaat spiritualitas, bukan kepada kepercayaan akan spiritualitas itu sendiri. Mereka tidak terperangkap dalam teologi dan kepercayaan spiritualisme yang justru berpotensi memecah-belah dan memporak-porandakan komunikasi interpersonal. Lebih jauh mereka menyadari sepenuhnya bahwa sebuah perusahaan adalah merupakan penjelmaan sekumpulan jiwa (spirit), yakni jumlah keseluruhan jiwa orang-orang yang bekerja di perusahaan itu. Dengan demikian, perusahaan yang ditangani dan dijalankan oleh para spiritualis korporat ini menganut manajemen bisnis yang egeliter (bukan otoriter) dan menghargai kesetaraan. Egalitarianisme ini bisa dilihat, misalnya, dari tipisnya kesenjangan remunerasi (pembagian honorarium/gaji) yang diberikan antara karyawan yang paling tinggi dan yang paling rendah.

Spiritualisasi manajemen bisnis; Sebuah trend baru yang melanda dunia bisnis internasional dalam beberapa tahun terakhir terjadi bukan semata-mata karena Barat akhir-akhir ini sedang dilanda krisis kemanusiaan yang berupa krisis eksistensi, krisis spiritual ataupun kehampaan makna hidup, keterasingan dan kegelisahan. Tetapi lebih jauh lagi karena spiritualitas adalah roh (spirit) yang bisa menggerakkan bisnis menuju muara kesuksesan besar. Tidak hanya secara finansial, tetapi juga secara moral dan spiritual.

Penilaian serupa tentang spiritualisme juga dilontarkan oleh pakar Marketing Indonesia, Hermawan Kertajaya. Dalam makalahnya compassionate  marketing, Hermawan Kertajaya menyimpulkan bahwa praktek bisnis dan marketing bergeser dan mengalami transformasi dari   level  intelektual   menuju    ke  emosional,    dan akhirnya    ke  spiritual.  Level intelektual   ditandai  dengan    penggunaan     tool  –  tool  marketing    ampuh    seperti marketing mix, branding, positioning, dan sebagainya.

Lalu sejak sekitar sepuluh tahunan yang lalu konsep emotional marketing muncul dan kini makin mendominasi praktek pemasaran yang dijalankan oleh para pelaku bisnis. Saat ini varian dari  emotional marketing ini  sudah berkembang demikian luas dan telah menjadi buzzword marketing yang popular. Beberapa diantaranya  seperti   :  customer   relationship   management,      experiential  marketing, emotional branding, dan sebagainya.

Tapi kini  dan  di   masa  datang eranya akan bergeser kearah  spiritual. Sehebat apapun  strategi bisnis yang dipunyai, secanggih apapun tool marketing yang dijalankan, semuanya tak akan ada gunanya kalau tidak dilandasi spiritualitas yang kokoh. Sebagai buktinya adalah Enron, raksasa energi yang praktis habis dalam semalam karena tidak jujur kepada stakeholders-nya. Apapun bisnisnya, rohnya akan terletak pada kejujuran dan etika.

Spiritual dan Bisnis Dapat Hidup Berdampingan

Bagaimanapun, tugas bisnis adalah meningkatkan kekayaan dengan menciptakan laba. Bisnis memang merupakan mekanisme masyarakat untuk menciptakan kekayaan. Organisasi dan komunitas yang melakukan sesuatu dengan berangkat dari kesadaran yang mendalam akan makna, visi yang kaya, rasa tanggung jawab yang besar dan seperangkat nilai yang fundamental yang dimiliki bersama sangatlah berpeluang untuk menikmati keuntungan kompetitif jangka panjang dibandingkan mereka yang memfokuskan diri hanya pada kepentingan diri sendiri. Tindakan-tindakan yang baik bagi masyarakat, kemanusiaan, bumi, atau entitas eksternal lain apa pun bisa pula berujung pada meningkatnya kekayaan materiil bagi orang atau organisasi yang berpartisipasi dan pada meningkatnya kekuatan duniawi dalam masyarakat yang telah memperluas kriterianya tentang kekayaan dan kekuatan.

Harvard Business School, tanggal 11-12 April 2002, telah mengadakan seminar dengan tema, “Does Spirituality Drive Succes In Business ?” (Apakah spiritual dapat menghasilkan kesuksesan ?). Para praktisi bisnis dunia berkumpul dan mendiskusikan tentang spiritual. Laporan dari hasil seminar tersebut menyebutkan bahwa Spirituality akan menghasilkan Integritas, Energi, Inspirasi, Wisdom dan Keberanian.

Berikut ini adalah beberapa Perusahaan yang telah membuktikan bahwa spiritual dan bisnis dapat hidup saling berdampingan:

1.Van City, koperasi pinjaman terbesar di Vancouver, menyalurkan dana pinjaman kepada nasabah dan proyek-proyek yang dipinggirkan oleh bank-bank utama.

2.Coca-cola, mendistribusikan vaksin polio di India dan obat AIDS di Afrika tanpa biaya tambahan, mendirikan klinik kesehatan di pedalaman Cina dan Asia Tenggara.

3.Starbuck, rantai kedai kopi berskala global yang mensejahterakan petani kopi di berbagai pelosok dunia, termasuk di Aceh.

4.Merck, perusahaan Farmasi terbesar di Amerika, memproduksi dan memberikan Mectizan (senilai $250 Juta) secara cuma-cuma kepada negara-negara berkembang dan siapa saja yang membutuhkannya.

5.Soichiro, pendiri Honda Motor, memimpin 43 perusahaan di 28 negara, tidak memiliki harta pribadi, tinggal di rumah sangat sederhana, tidak memberikan warisan kepada anak-anaknya kecuali membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri

6.Kyoto Ceramics, omset US$ 400 juta. Keuntungan bersih 12%. Cara hidup sederhana, memandang rendah kemewahan.

7.Konosuke Matsushita, diakhir hayatnya menyumbangkan US$ 291 juta dari pribadi dan US$ 99 juta dari kas perusahaan. Meninggal usia 94 tahun (th. 1990). Filosofi; Life is not only for bread.

8.Bill Gates, 40% penghasilan bersihnya disumbangkan untuk kemanusiaan.

9.Google, berawal dari niat tulus untuk memberikan akses terhadap informasi bagi jutaan orang di seluruh dunia.

10.Body Shop, berawal dari niat ikhlas mengedukasi dan mendorong semangat kewirausahaan ibu-ibu rumah tangga di berbagai pelosok Inggris.

11.Dan masih banyak yang lainnya

Manusia adalah Makhluk Spiritual Sejak Lahir

Secara Ilmiah, ternyata dapat dibuktikan bahwa Spiritual merupakan sesuatu yang secara alamiah telah dibawa oleh manusia sejak lahir. Perangkat spiritual telah dibenamkan oleh Sang Maha Pencipta di dalam otak manusia. Menjelang akhir tahun 1990-an, diumumkan bahwa para pakar neurosains telah menemukan adanya Titik Tuhan (God Spot) dalam otak manusia. God Spot adalah sekumpulan jaringan syaraf yang terletak di daerah lobus frontal temporal otak, bagian yg terdapat di balik pelipis. Jaringan saraf ini berfungsi untuk membuat kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental seputar makna eksistensi (Misalnya; siapakah aku?, apakah tujuan hidupku?, dimanakah aku berada?, apa makna kehadiranku di dunia ini?) dan membuat kita mencari jawaban-jawaban fundmental. Titik Tuhan membuat kita berhasrat pada sesuatu yang lebih tinggi, memimpikan masa depan yang lebih baik. Bagian ini juga sangat aktif ketika kita mendapatkan pengalaman spiritual, rasa cinta yang mendalam, rasa kesatuan eksistensi, dan keindahan yang mendalam. Kita dapat mengembangkan saraf God Spot dengan stimulus yang tepat atau justru membiarkannya mati dengan tidak memberi stimulus (misalnya; membiarkan diri dalam kebiasaan berperilaku salah).

Innamal A’maalu Bi-niyat (Sesungguhnya perilaku manusia ditentukan oleh Niat)

Untuk melakukan kehidupan dan bisnis yang bermakna (Spiritual), kita harus mempunyai motivasi-motivasi (niat) yang lebih tinggi dalam menggerakkan perilaku kita sebagai manusia. Ini merupakan proyek yang membutuhkan kegigihan dan komitmen. Menumbuhkan motivasi-motivasi dalam hidup kita merupakan hal yang sangat penting untuk mewujudkan pergeseran budaya yang diinginkan oleh sebagian besar dari kita.

Pertanyaannya, sebagai renungan, Apakah motivasi (Niat) kita masih sama untuk tahun-tahun mendatang ?; Maukah kita menaikkan motivasi hidup kita sehingga meningkat dari sejenis kera yang berpikir menjadi manusia yang seutuhnya ?; Apakah kita menunggu sambil berharap adanya perubahan situasi-kondisi yang lebih baik dari hasil karya orang lain atau ikut serta dalam irama spiritualisme..?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun