[caption caption="Noda perekrutan pendamping desa 2015 diulas Metro Realitas"][/caption]
Rencana seleksi pendamping desa 2016 oleh Kemendes semakin dimatangkan. Pasca penutupan tahap pendaftaran pada 16 Mei 2016 lalu, kini pengumuman seleksi tes tulis mulai mendekati hari. Dalam beberapa kesempatan, pihak Kemendes terus meyaqinkan publik bahwa seleksi tajun ini akan berjalan lebih baik dan transparan.
Namun Benarkah apa yang dikatakan kemendes itu. Benarkah seleksi pendamping desa tahap 2 tahun 2016 ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya yang menghasilkan kader-kader partai dan pekerja sampingan? Ataukah justru seleksi tahap dua ini menjadi etape akhir dari skenario bumi hangus pendamping desa dari Eks PNPM? Ternyata tidak.
Pada ulasan sebelumnya telah nampak adanya celah-celah yang berpotensi besar menjadi ajang 'permainan' orang dalam Kemendes dalam seleksi pendamping desa. Lebih lanjut baca : Mengungkap Celah 'Permainan' Kemendes Dalam Seleksi Pendamping Desa 2016 Bagian 1
Celah berikutnya yang mengindikasikan potensi permainan dalam seleksi pendamping desa 2016 adalah:
4. Seleksi tanpa ada tahapan focus group discussion (FGD)
Pada seleksi pendamping Desa 2015, Kemendes banyak disorot publik karena mencabut tahapan Focus Group Discoussion (FGD) dan pelatihan dalam seleksi aktif pendamping desa. Penghapusan FGD ini diduga kuat karena motif meloloskan calon-calon yang tidak qualivied dan minim pengalaman. ( Baca disini )
Meski tahun lalu menuai protes akibat menghapus FGD, namun tidak serta merta menjadikan kemendes mengevaluasi diri. Pada seleksi pendamping desa 2016 kali ini, kemendes tetap tidak menggunakan FGD sebagai salah satu tahapan seleksi.
Menilik Permendesa nomor 3 tahun 2015 tentang pendamping desa, pasal 24 menyebutkan bahwa kompetensi pendamping Desa sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi yang salah satunya mampu melakukan teknik fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat Desa dalam musyawarah Desa.
Manfaat seleksi FGD, selain untuk mengetahui kapasitas penguasaan materi, juga dapat menguji Tingkat kemampuan teknis peserta dalam memfasilitasi diskusi kelompok dan musyawarah desa yang merupakan kualifikasi minimal bagi pendamping desa. Tanpa melalui FGD, tentu siapapun tidak dapat mengukur kemampuan teknis seseorang dalam memfasilitasi forum musyawarah desa.
Apakah Profesor di kemendes juga tidak membaca pasal 24 Permendesa Nomor 3 tahun 2015 yang merupakan produk peraturannya sendiri? Sehingga lalai mengukur kompetensi bidang kemampuan teknis fasilitasi muades melalui seleksi FGD. Atau jangan-jangan disengaja tidak ada FGD agar mereka yang belum pernah memfasilitasi pelaksanaan forum musyawarah bisa lolos? Atau biar tidak ada pengawasan partisipatif sesama peserta seleksi atas kemampuan masing-masing peserta, sehingga Jika ada yang lolos tidak akan mengundang kontroversi? Entahlah.