Dia, seorang Libra yang lahir di tanggal 10 Oktober, hadir di hidupku bagai sebuah paradoks. Tidak romantis, cuek, dan jauh dari kata puitis. Namun, pesonanya yang unik mampu membuatku jatuh cinta setiap hari. Dia adalah seorang filsuf, pemikir ulung yang setiap katanya dipenuhi dengan makna mendalam. Dunianya dipenuhi pertanyaan eksistensial, perdebatan ontologi, dan pencarian makna hidup.
Aku mengenalnya melalui dunia maya, Facebook, ketika aku tengah menempuh studi S2 di Malang, jauh dari kampung halaman di Bajawa. Awalnya, percakapan kami hanya sebatas basa-basi, membahas budaya Bajawa yang sama-sama kami kenal. Namun, lama-kelamaan obrolan kami semakin intens, menyelami pemikirannya yang dalam dan kritis.
Dia adalah seorang mantan frater, mantan mahasiswa Ledalero Maumere, sebuah seminari tinggi yang terkenal dengan pendidikan filsafatnya. Keputusannya untuk meninggalkan kehidupan religius dan memilih menjadi awam mungkin mengejutkan banyak orang, tetapi bagiku, itu adalah sebuah bukti keberaniannya untuk mengikuti kata hatinya.
Aku, yang saat itu masih terluka karena patah hati, merasa menemukan oase di tengah gurun pasir. Dia hadir dengan segala keunikannya, memberiku perspektif baru tentang hidup, tentang cinta, dan tentang arti kebahagiaan. Dia tidak berusaha menjadi orang lain untuk membuatku terkesan. Dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan justru itulah yang membuatku semakin jatuh hati.
Setiap kali telepon berdering dan namanya muncul di layar, aku tahu bahwa aku akan diajak berpetualang dalam dunia filsafat. Dia akan bercerita tentang Nietzsche, Sartre, atau Camus, tentang eksistensialisme, absurditas, dan kebebasan. Awalnya, aku merasa sedikit kewalahan, terlalu berat, terlalu rumit. Namun, lama-kelamaan aku mulai menikmati diskusi-diskusi kami. Aku belajar banyak darinya, tentang cara berpikir kritis, tentang cara melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Dia memang tidak romantis. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata manis atau memberikan hadiah-hadiah mewah. Tapi, dia menunjukkan cintanya dengan caranya sendiri. Dia selalu ada untukku, mendengarkan keluh kesahku, memberikan dukungan dan semangat ketika aku merasa down. Dia mengajarkanku untuk berpikir mandiri, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidupku sendiri.
Aku ingat suatu malam, ketika aku merasa sangat putus asa karena tugas kuliah yang menumpuk. Aku meneleponnya, mencurahkan semua kekesalanku. Dia mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah aku selesai bercerita, dia tidak langsung memberiku solusi atau nasihat. Dia malah bertanya, "Menurutmu, apa yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi masalah ini?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Aku terbiasa diberi solusi instan, diberi jalan pintas. Tapi, dia justru menantangku untuk berpikir sendiri, untuk menemukan jalan keluar dari masalahku sendiri. Dan pada saat itulah aku menyadari, dia tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghormatiku sebagai individu yang mandiri dan mampu.
Dia juga seorang kutu buku. Rak bukunya dipenuhi dengan karya-karya filsafat, sastra, dan sejarah. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan atau toko buku, menjelajahi dunia melalui halaman-halaman buku. Kadang-kadang, dia akan membacakan kutipan-kutipan favoritnya untukku, mengajakku merenungkan makna di balik kata-kata.
Meskipun dia cuek, dia selalu memperhatikan detail-detail kecil. Dia ingat makanan kesukaanku, warna favoritku, bahkan hal-hal sepele yang pernah aku ceritakan padanya. Dia menunjukkan perhatiannya dengan cara yang sederhana, tapi tulus.
Hubungan kami tidak selalu mulus. Ada kalanya kami bertengkar, berdebat tentang hal-hal sepele. Tapi, kami selalu berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Kami belajar untuk saling menghargai pendapat masing-masing, meskipun berbeda.