Mohon tunggu...
Maria Yasinta Deme
Maria Yasinta Deme Mohon Tunggu... Dosen - accounting lecturer

Hobby Menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

"Ladang Kita Tidak Selamanya Tandus, Nak.."

21 Oktober 2020   03:47 Diperbarui: 21 Oktober 2020   04:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menggauli keabsahan hidup sebenarnya sederhana saja. Cukup berdiang di samping tungku milik ibu sembari meneriaki pagi dengan menjahit daun-daun kering yang sobek dilumat angin beliung kemarin sore.

Perihal mengiyakan serta merestui sisa-sisa lumpur yang masih lengket bergelayut di uban adalah sajian nasi jagung tanpa lauk hasil racikan ibu, kerah baju ayah yang semakin kumal, plus doa-doa ibu yang tercecer di ujung kapak ayah.

Sesungguhnya, abadi dalam kedamaian yang hakiki itu layaknya segerombolan anak-anak bertelanjang dada bermain hujan dalam kebebasan, dan bukan dininabobokan oleh segudang teori yang telah dikebiri..

Subuh..
Ubun ibu yang mulai beruban..
Dan wangi daun kemangi yang mulai berbunga di ladang itu..
Purnama telah berlalu, mengendapkan mozaik lara, mengapungkan duka di atas onggok tanah yang masih ranum oleh liur-liur kemakmuran.

Di simpang titian, belulang ilalang rentan lalu retak terseret keniscayaan hidup, menjinjing lepuh di bawah selangkang kemapanan, lantas lupa mencicil AMIN yang saban hari telah dikecapi. Begitu nikmat hingga bumi terlena memanggang mimpi dalam gurun berdebu..

Menepi dari kisah lalu adalah nira yang menyadap sisi tergelap hidup dan kehidupan. Di tengah gemuruh nan pekat, ada suar menyelinap lantas mendamaikan sekumpulan gemintang yang sedang mengunyah gundah sembari menyulam jati diri yang sempat benam dalam kubangan keesaan. Suar yang didapuk kearifan itu berawal redup, niscaya dalam samar-samar, kemudian berakhir benderang dalam kepastian..

Langit..
Hujan..
Ilalang..
Buih tuak putih..
Dan wangi ubi rebus adalah doa di tepi punggung merdeka. Kepada jagat raya yang arif lagi bijaksana, marilah sujud sejenak sembari rebah memulung syukur. Niscaya ladang akan subur dan hasil akan melimpah hari ini dan senantiasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun