Mohon tunggu...
Mercury Nila
Mercury Nila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas PGRI Madiun

Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas PGRI Madiun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Siapa Anak Saya?" Menghadapi Kebingungan Orang Tua Terhadap Perilaku Anak yang Berbeda

13 Januari 2025   23:30 Diperbarui: 13 Januari 2025   23:29 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagian orang tua mungkin merasa asing dengan anak-anak mereka, bahkan hampir tidak mengenalinya. Seringkali ditemui orang tua yang terkejut melihat anak-anak mereka memiliki kepribadian atau perilaku yang berbeda di lingkungan yang berbeda, baik dirumah atau sekolah. Ketika guru memuji perilaku anak yang aktif, rajin, sopan dan berkarakter baik di sekolah, orang tua memandang dengan perspektif yang sebaliknya, yang mana seorang anak yang terlihat penuh energi di sekolah terkadang bisa menjadi pribadi yang pendiam di rumah. Perbedaan ini seringkali menjadi kontradiksi di mata orang tua, bahkan membuat mereka bertanya, "Siapa sebenarnya anak saya?". Fenomena ini tidak hanya mencerminkan masalah dalam dinamika keluarga tetapi juga berkaitan dengan proses belajar dan pembelajaran yang dialami oleh anak.

Salah satu permasalahan dari fenomena ini melibatkan seorang anak berusia 20 tahun bernama Fifi (nama samaran), mahasiswi semester 3 di sebuah Perguruan Tinggi. Fifi lebih suka (betah) berkegiatan di luar rumah daripada membantu orang tua dirumah. Hal ini sudah terjadi pada Fifi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Beberapa orang mungkin menganggap Fifi durhaka bahkan orang tua Fifi sendiri karena Fifi seringkali menghindari pekerjaan rumah.

Apakah kejadian seperti ini ada penyebabnya? Tentu saja ada.

Bermula ketika Fifi menginjak bangku SD kelas 2. Fifi dituntut belajar terus-menerus dibawah tekanan sang Ibu untuk meraih juara kelas, bahkan Fifi tidak diizinkan bermain keluar rumah bersama teman-teman. Apabila ingin bermain, teman-teman Fifi hanya boleh datang ke rumah. Fifi lebih menghabiskan waktu untuk belajar bersama Ibunya. Ibu Fifi kerap membentak Fifi yang mana Ia kurang memahami soal-soal pada sebuah materi pembelajaran. Bahkan seringkali Ibunya melontarkan kata-kata kasar seperti "bodoh", "anak tidak berguna", dan lain-lain. Tidak hanya bentakan yang Fifi terima, bahkan tamparan, jeweran, dan hukuman fisik lainnya. Anak sekecil itu tentu menangis kesakitan, sementara sang Ibu masih saja memarahi Fifi karena lebih banyak menangis daripada memikirkan jawaban atas soal-soal yang diberikan. Memang benar setelah menjadi juara, Fifi diberi hadiah atas pencapaiannya. Namun, Fifi membutuhkan apreasi. Fifi lebih diapresiasi guru ketika di sekolah. Di sisi lain, ia sering di hujani kritik terhadap hal-hal positif yang ia lakukan.

Fifi dianggap biang masalah oleh sang Ibu. Hampir setiap hari Fifi dibentak atas kesalahan-kesalahan kecil yang dia lakukan, seperti memecahkan piring, tidak becus membantu pekerjaan rumah, menumpahkan minuman dan lain-lain. Fifi hanya bisa menangis dan kebingungan, apa yang harus ia perbuat apabila terjadi hal semacam ini. pernah suatu ketika terjadi peristiwa dimana sang Ibu kehilangan uang dalam jumlah yang terbilang besar di rumah. Fifi menjadi tersangka atas kejadian ini, karena faktor dari uang saku Fifi yang dibatasi, Fifi dianggap mencuri. Sang Ibu seenaknya menuduh Fifi dengan nada tinggi. Fifi sudah mencoba menjelaskan apa yang ia ketahui. Namun, Ibunya tutup telinga. Mengetahui pendapatnya tidak didengar, Fifi mencoba menggunakan nada lebih tinggi lagi. Bukannya malah memperhatikan penjelasan Fifi, Ibunya menganggap Fifi anak yang durhaka. Beberapa hari kemudian, ternyata uang tersebut berada di saku kantong celana Ibunya sendiri. Dia hanya tersenyum tanpa meminta maaf kepada Fifi. Kesalahan-kesalahan yang Fifi lakukan selalu saja dihakimi, sementara ketika Fifi menegur sang Ibu, ia tidak peduli dan tidak ingin disalahkan.

Fenomena yang dialami Fifi hampir terjadi setiap hari ketika masa Sekolah Dasar (SD) bahkan terus berulang-ulang hingga Fifi menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada akhirnya, apapun yang ia lakukan, Fifi lebih memilih menjadi pendiam di lingkungan rumah sejak saat itu. Diamnya seorang Fifi adalah contoh dari akibat gangguan mental yang dialaminya sejak masih kecil hingga beranjak remaja. Berikut beberapa penyebab gangguan mental yang terjadi pada anak menurut para ahli :

  • Pengaruh Trauma. 

Menurut Dr. Joan Luby (2020), ahli psikiatri anak ini meneliti pengaruh trauma masa kecil terhadap perkembangan otak. Ia menemukan bahwa trauma seperti pelecehan atau penelantaran dapat meningkatkan risiko gangguan mental, termasuk depresi dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Dalam kasus Fifi, ia mengalami trauma di rumah atas perlakuan sang ibu terhadapnya sedari kecil (SD) sehingga ia lebih merasa nyaman di luar rumah karena lingkungan luar lebih mengerti Fifi.

  • Polah Asuh Otoriter

Menurut Dr. Sarah Bren (2019). Fokus pada peran lingkungan keluarga dan pola asuh terhadap kesehatan mental anak. Dr. Bren menyebutkan bahwa pola asuh otoriter atau permisif dapat memengaruhi regulasi emosi anak.  Seperti ditunjukkan pada apa yang dialami Fifi, ia sulit mengekspresikan emosi ketika di rumah. Ia cenderung cuek dan pendiam. Ditambah, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga juga menjelaskan bahwa masa transisi remaja menuju dewasa, ditambah dengan stereotip yang menganggap remaja tidak memiliki masalah dibandingkan orang dewasa, membuat mereka rentan terhadap gangguan mental. Beberapa jenis gangguan mental pada remaja :

  • Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorders) : Remaja sering mengalami rasa cemas berlebihan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Tekanan akademis, sosial, dan ekspektasi dari lingkungan sekitar dapat menjadi pemicu utama.
  • Depresi : Ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan, kehilangan minat pada aktivitas yang disukai, dan perubahan pola tidur atau makan. Depresi pada remaja dapat berdampak signifikan terhadap perkembangan dan kualitas hidup mereka.
  • Gangguan Perilaku (Conduct Disorder): Remaja dengan gangguan ini cenderung menunjukkan perilaku agresif, melanggar aturan, dan kurang empati terhadap orang lain. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam hubungan sosial dan akademis.
  • Gangguan Emosional : Meliputi perubahan mood yang ekstrem, seperti mudah marah atau perasaan putus asa. Gangguan ini dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan kesejahteraan umum remaja.
  • Menyakiti Diri Sendiri dan Bunuh Diri : Tindakan menyakiti diri sendiri atau pikiran untuk bunuh diri merupakan tanda serius dari masalah kesehatan mental yang memerlukan perhatian segera. 

Dari jenis-jenis tersebut,terbukti bahwa gangguan mental sangat merugikan diri sendiri dan orang lain. Apalagi masa remaja sangat rentan terkena gangguan mental. Beruntung Fifi masih memiliki seseorang yang peduli terhadapnya seperti Ayahnya walau bekerja sangat jauh, keluarga sepupu sebagai rumah yang membuatnya nyaman, dan teman-teman organisasi di sekolah semasa SMP membuat ia merasa dicintai sehingga membuat Fifi aktif dan belajar banyak hal ketika di luar rumah. Fifi dirumah dianggap seseorang yang pendiam, pemalas, dan cuek oleh keluarganya, sedangkan di luar rumah, ia gadis yang periang dan suka bersosialisasi. Fifi cenderung leluasa belajar berbagai hal yang ada di luar rumah seperti belajar berkomunikasi dengan baik, belajar aktif, belajar untuk menghargai orang lain dan lain-lain, yang mana lebih mendukung perkembangannya, daripada ia belajar di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal ini menjadi bukti bahwa kejadian yang menimpa Fifi semasa kecilnya dapat memengaruhi proses belajar.

Apa itu proses belajar? menurut Slameto (2018) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan setiap individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan pertama dan utama bagi seorang anak adalah keluarga. Menurut Khrisna (2019): Keluarga adalah kelompok orang yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh ikatan pernikahan atau adopsi dengan tujuan untuk menciptakan, memelihara kebudayaan, serta meningkatkan pertumbuhan fisik, mental, emosional, dan sosial dari masing-masing anggota keluarga. Keluarga bagi seorang anak adalah seseorang yang dekat, pemberi kasih sayang, rasa aman serta dukungan emosional.

Dalam konteks ini, dinamika keluarga memainkan peran penting dalam meningkatkan perkembangan anak. Menurut Nurhudaya (2020) dalam bukunya "Dinamika Keluarga Pada Masa Pandemi COVID-19", Nurhudaya menjelaskan bahwa dinamika keluarga mencakup interaksi antara anggota keluarga, komunikasi, peran, dan pola yang berkembang dalam hubungan tersebut. Pola asuh, adaptasi terhadap perubahan, dan respons terhadap situasi krisis, seperti pandemi, menjadi bagian integral dari dinamika ini. Apabila terjadi ketidakstabilan dalam dinamika keluarga, seperti terjadi konflik, kurangnya komunikasi, dan ketidakhadiran peran emosional orang tua, dapat menghambat proses belajar dan pembelajaran sehingga anak tidak mampu berkembang, baik dalam aspek sosial, emosional maupun akademis. Akibatnya, anak cenderung tidak nyaman secara emosional yang membuat mereka pasif di rumah, tetapi berperilaku aktif di luar rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun